Dibutuhkan Orang Bertangan Besi

Jumat, 04 September 2015 – 17:03 WIB
Prof Yohanes Surya PhD. Foto: Mesya Mohammad/JPNN.com

jpnn.com - DARI segi alokasi anggaran, pendidikan di Indonesia sudah lumayan bagus lantaran mendapat jatah 20 persen dari total APBN. Namun, kondisi pendidikan di tanah air belum juga menggembirakan. Biaya sekolah mahal, termasuk kuliah, masih dirasakan banyak kalangan. Perguruan Tinggi Swasta masih megap-megap untuk urusan dana riset.

Bagaimana harusnya pemerintah bersikap untuk memajukan pendidikan di Indonesia?  Berikut penuturan Bapak Fisika Indonesia, Prof Yohanes Surya PhD, saat diwawancarai wartawan JPNN Mesya Mohammad, Kamis (3/9).

BACA JUGA: Kalau Perlu Kami Boikot

Bagaimana Prof melihat pendidikan di Indonesia?

Dari kacamata saya mulai ada kemajuan, dibuktikan dengan prestasi siswa-siswi di tingkat internasional seperti olimpiade, seni tari, ‎seni lukis, teater, dan lain-lain. Hanya saja masih ada kurangnya. Pemerintah masih kurang memperhatikan pentingnya riset. Riset tetap ada hanya saja kurang terekspos. Akibatnya, hasil riset hanya sebatas pada konsumsi kalangan tertentu saja. Mestinya pemerintah mengekspos hasil riset dari siswa dan mahasiswa kita ke jurnal internasional, seperti yang kami lakukan di Universitas Surya. Ada 28 riset mahasiswa kami yang diekspos di jurnal internasional di Chicago.

BACA JUGA: Honorer Main Belakang

Selama ini pemerintah sudah mengalokasikan dana riset, tapi hasilnya belum banyak yang spektakuler. Bagaimana tanggapan Prof?

Bagaimana bisa kita tahu temuan periset kita spektakuler atau tidak, wong hasilnya cuma disimpan perpustakaan universitas. Ini sangat berbeda dengan Thailand, yang bisa menjadi negara eksportir buah-buahan terbesar di Asia. Anda lihat, Duren Montong, Jambu Bangkok, Pepaya Bangkok, itu produk Thailand yang mendunia.

BACA JUGA: Importir Sudah Puyeng

Apa rahasianya? Rahasinya ada di riset, pemerintah Thailand mengalokasikan sepertiga dana dari kas negara untuk riset, sepertiga dari swasta. Selain itu figur kepemimpinan sangat besar. Di Thailand, putri Raja Thailand lah yang menjadi wanita bertangan besi. Kebetulan putri raja ini seorang doktor di bidang agriculture. Putri raja inilah yang menetapkan agar pemerintah memperbesar alokasi dana riset. Karena Thailand adalah negara agraris seperti Indonesia, makanya riset ditujukan menciptakan produk-produk berkualitas super. Hasilnya luar biasa, Thailand bisa menjadi leader di bidang agriculture.

Indonesia sendiri hanya menjadi negara pengimpor. Padahal, Indonesia lebih kaya sumber daya alamnya. Penyebabnya apa? Karena dana riset di Indonesia sangat kecil tidak sampai satu persen atau hanya 0,1 persen dari dana APBN.

Berapa sebenarnya dana riset yang harusnya dialokasikan pemerintah?

Kalau ingin Indonesia menjadi negara yang berdaulat dari sisi ketahanan energi dan pangan, pemerintah mestinya mengalokasikan dua sampai tiga persen dari dana APBN‎ untuk riset.  Satu lagi, dana riset ini harus dibagi merata ke seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta yang betul-betul fokus pada riset. Selama ini, ada sikap pilih kasih pemerintah kepada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Sefokus apapun PTS itu dalam m‎embangun Indonesia dengan riset-risetnya tidak diberikan suntikan dana sepeser pun. PTS mencari dana sponsor sendiri, seperti halnya Universitas Surya yang mengembangkan risetnya dengan menggandeng sponsor, baik dari pemda, TNI AL maupun swasta.

Saat ini Universitas Surya berhasil menemukan spirulina, sejenis algae yang berprotein tinggi dan bisa dicampurkan dalam produk mie instan. Indofood sudah‎ menyatakan ketertarikannya dan akan memproduksinya. Sebab selama ini mie instan tidak mengandung protein. Kami juga melakukan riset untuk bahan bakar yang ramah lingkungan.

Prof yakin dengan riset Indonesia bisa maju dan lepas dari ketegantungan impor?

Saya sangat yakin, karena riset itu penting. Hanya saja untuk mencapai itu, butuh orang yang bertangan besi seperti yang terjadi di Thailand di mana sang putrilah yang memaksa harus riset. Tanpa orang bertangan besi, cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara mandiri, berdaulat untuk pangan dan energinya  hanya sebatas mimpi saja.

Bagaimana dengan program Indonesia Pintar?

Ini program yang sangat bagus, tapi kalau hanya sebatas slogan, apa gunanya? Untuk menjadikan Indonesi‎a Pintar, pendidikan harus merata. Sementara yang terjadi sekarang, hanya anak-anak mampu dan tinggal di kota yang bisa mengenyam pendidikan tinggi. Anak-anak pedalaman, nelayan, gunung, terpencil, terisolir hanya bisa gigit jari. Bagaimana mereka bisa mengenyam bangku sekolah, uang untuk makan saja pas-pasan. Untuk itulah, pemerintah pusat harus mendorong pemda menyekolahkan anak-anak tersebut. Saya yakin, anak-anak pedalaman ini memiliki talenta luar biasa.

Kami sudah membuktikannya dengan menggandeng pemda. Kami didik anak-anak daaerah, pemda yang biayai, hasilnya anak-anak ini berprestasi.

Apa harapan Prof terhadap pemerintah?

Kami hanya minta pemerintah tidak membedakan PTS dan PTN. Banyak PTS yang berkualitas juga dan serius membangun Indonesia.‎ Karena pembedaan inilah yang membuat PTS susah berkembang. Meski kami baru dua tahun berdiri, mahasiswa kami sudah 1.200 orang. Mereka tahu Universitas Surya misinya jelas dan berkualitas. Ini dilihat dari program studi di Universitas Surya yang misinya ke depan, seperti Agribisnis, ekonomi hijau, entrepeneurship, ilmu komunikasi, teknik fisika, teknik kimia, teknik lingkungan, biologi, informatika, teknologi pangan. Akan dibuka progrm studi baru psikologi, aktuaria, ilmu kelautan, fisika.‎ Kami juga fokus ke anak-anak daerah terutama pedalaman. ‎Tujuannya satu, ingin anak-anak pedalaman ini membangun daerahnya masing-masing dengan ilmu dan riset yang dia miliki. (esy/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dolar Naik, Pengembang Kelas Atas Panik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler