jpnn.com - Oleh Jan Prince Permata, SP, M.Si
Alumnus Pascasarjana Ilmu Ekonomi IPB
BACA JUGA: Memperkuat Sektor Usaha Rakyat
Dalam hitungan jam kita akan memasuki tahun 2019. Melihat ke belakang selama 365 hari berbagai dinamika kehidupan berbangsa mewarnai perjalanan kita. Sektor ekonomi merupakan salah satu yang paling dinamis dan penuh tantangan.
Tahun 2018 pertumbuhan ekonomi Indonesia ada pada kisaran 5,2 persen. Angka itu lebih rendah dari proyeksi APBN sebesar 5,4 persen. Mirip dengan kondisi 2017, konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama pertumbuhan.
BACA JUGA: Kepahlawanan dan Tantangan Berbangsa
Setelah krisi satu dekade lalu, pada 3 Oktober 2018, untuk pertama kalinya nilai tukar rupiah menembus level psikologis Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat. Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut disebabkan faktor internal dan eksternal yang semuanya berakar dari tren globalisasi dan integrasi ekonomi dunia yang tak mungkin kita hindari.
Bagaimana dengan 2019? Harapan mayoritas kita tentu ekonomi menjadi lebih baik di tengah penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden yang untuk pertama kalinya dilakukan bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif.
BACA JUGA: Merawat Sumpah Pemuda Pada Generasi Milenial
Menko Perekonomian Darmin Nasution bahkan meyakini pertumbuhan ekonomi 2019 mencapai 5,4 persen, lebih tinggi dari proyeksi APBN 5,3 persen.
Sikap optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi haruslah tetap kita pegang. Ini sejalan dengan ekspektasi rasional sebagai salah satu komponen penting dalam teori ekonomi modern. Namun, sikap dan pandangan optimistis tersebut semestinya berangkat dari realitas ekonomi kekinian.
Dan salah satu yang penting dijaga adalah daya beli masyarakat. Karena daya beli atau konsumsi tetap menjadi kunci penggerak ekonomi. Di awal 2018 lalu, publik dan ekonom terlibat polemik daya beli. Ada yang menyebut daya beli anjlok. Namun, sebaliknya, ada yang menyebut daya beli justeru kuat, yang terjadi pola konsumsi masyarakat mulai beralih dari pola tradisional/luring menjadi daring/online. Sekeras apapun polemik yang ada, yang pokok adalah pemerintah harus mampu menjaga daya beli rakyat itu sendiri.
Di tengah polemik daya beli, Indonesia sebenarnya punya potensi menjadi kekuatan baru ekonomi dunia. McKinsey Global Institute jauh-jauh hari telah memprediksi Indonesia akan masuk dalam 7 (tujuh) besar kekuatan ekonomi dunia pada 2030 mengalahkan Jerman dan Inggris. Hal ini disebabkan dari sisi kependudukan, akan tumbuh kelas menengah Indonesia dari 45 juta orang di 2010 menjadi 135 juta orang pada tahun 2030. Pertambahan kelas menengah akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Sebelumnya, Bank Dunia pada Mei 2014 mencatat ekonomi Indonesia berada pada peringkat 10 dunia berdasaran GDP (Produk Domestik Bruto) Purchasing Power Parity (tingkat daya beli). Capaian ini menempatkan Indonesia berada di bawah Amerika Serikat, China, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brasil, Prancis dan Inggris. Pencapaian ini sangat menggembirakan mengingat 15 tahun sebelumnya, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang hebat.
Namun di balik itu semua, Indonesia sedikitnya mengahadapi lima masalah mendasar sektor ekonomi. Pertama, kemiskinan. Data BPS per Maret 2018 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 9,82 persen atau 25,95 juta orang, yang jika dirinci di perdesaan sekitar 15,81 juta orang dan di perkotaan 10, 14 juta orang. Kedua, pengangguran. BPS mencatat data pengangguran di Indonesia pada Agustus 2018 mencapai 5,34 persen atau 7 juta orang. Pengangguran terbuka dengan angka seperti ini wajib dan harus diantisipasi serta dicari jalan keluarnya.
Ketiga, ketimpangan. Ketimpangan di Indonesia saat ini bisa dilihat antara lain dari tingginya gini-ratio pendapatan yaitu 0,389 per Maret 2018. Jika lebih diperinci gini ratio diperkotaan mencapai 0,401 dan gini ratio di perdesaan 0,324.
Data BPS, juga menunjukkan tingginya ketimpangan penguasan aset dan tanah. Ketimpangan di Indonesia juga bisa kita lihat melalui kesenjangan antara desa dan kota, kawasan maju dan tertinggal, pusat (central) dan pinggiran (pheripheri). Ketimpangan juga bisa dilihat dari kesenjangan akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan jasa keuangan yang masih tinggi.
Keempat, utang. Bank Indonesia (BI) merilis data terbaru utang luar negeri Indonesia pada Agustus 2018 yang mencapai US$ 360,7 miliar atau sekitar Rp 5.410 triliun dengan asumsi satu dollar AS setara 15 ribu rupiah. Utang yang disertai bunga pada waktunya akan jatuh tempo ini tentunya akan membebani perekonomian nasional.
Kelima, ketergantungan yang tinggi terhadap luar negeri. Semakin eratnya kerterkaitan pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan internasional seiring dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak 14 Agustus 1997 menyebabkan perekonomian Indonesia rentan terhadap gangguan eksternal, termasuk arus modal dalam jumlah besar maupun jumlah ekspor dan impor.
Inilah tantangan-tantangan ekonomi yang nyata kita hadapi sekarang dan masa-masa yang akan datang.
Tantangan dan dinamika ekonomi ini semestinya dilihat sebagai peluang untuk semakin memperkuat tatanan dan arah kebijakan ekonomi nasional yang tidak hanya fokus pada penyelesaian masalah-masalah di dalam negeri, tetapi juga harus mampu melihat jauh ke depan mengantisipasi perubahan politik ekonomi global yang kian dinamis.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jatimnomics, Pendekatan Kesejahteraan Tahan Krisis
Redaktur : Tim Redaksi