Dinamika Suku Tengger, Antara Toleransi dan Pindah Keyakinan

Kades Islam atau Kristen, Yang Penting Merakyat

Rabu, 08 Oktober 2008 – 07:35 WIB
Warga Tengger usai menggelar sunatan massal.

Indahnya toleransi beragama bisa dilihat pada suku Tengger, salah satu komunitas tradisional yang terkenal dengan upacara KasadaDulu suku itu identik dengan Hindu

BACA JUGA: Hadiah Lebaran Tak Terlupakan saat Reuni Pemilik Hati Baru

Kini, semakin banyak yang memeluk Islam (mualaf)
Meski demikian, mereka yang berbeda keyakinan itu tetap saling toleran

BACA JUGA: Minum Kopi di Dalam Kurungan Burung Raksasa

Bagaimana komitmen tersebut bisa dijaga?

SURYO EKO P., Lumajang

MASYARAKAT Jawa Timur tentu tak asing dengan suku Tengger
Mereka adalah sekelompok orang yang tinggal secara turun-temurun di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, dengan tradisi Hindu yang sangat kuat

BACA JUGA: Warning Australia, Tak Punya Firasat Lebaran Terakhir

Keberadaan mereka menyebar di wilayah yang berbatasan dengan empat Kabupaten: Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang
Khusus suku Tengger di wilayah Kabupaten Lumajang, ada fenomena menarikTepatnya, mereka yang tinggal di Kecamatan SenduroDi sana sejak setahun lalu, jumlah suku Tengger yang menjadi mualaf semakin banyakBahkan, suku Tengger yang telah mualaf terbanyak berada di kecamatan tersebut
Menurut catatan KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan Senduro, sebanyak 227 orang suku Tengger pada 17 Mei 2007 mengikarkan diri menjadi muslimDi antara jumlah itu, jika dirinci, 111 pria dan sisanya perempuan (116 orang)”Pembaiatan kami lakukan secara masal di Masjid Baitussalam, Senduro,’’ kenang Ketua KUA Senduro Nanang Muryanto.
Ratusan orang suku Tengger yang dibaiat tersebut berasal dari 3 di antara 12 desa di Kecamatan SenduroTiga desa itu adalah Argosari, Wonocepokoayu, dan BurnoMualaf suku Tengger terbanyak berasal dari Desa Argosari (125 orang)
Setelah pembaiatan pada Mei itu, beberapa bulan kemudian, ada pembaiatan lagi yang diikuti puluhan warga suku Tengger lainnyaSalah satunya Ngatiyo, warga Dusun Pusung Duwur, Argosari”Saya jadi mualaf dan dibaiat setelah Lebaran Haji lalu (sekitar Desember 2007),” kata pria 36 tahun itu
Sejak menjadi mualaf, beberapa warga dari suku Tengger itu mengaku harus banyak menyesuaikanMisalnya, yang dirasakan Sutiyo”Kami kalau beribadah tak pernah dengan posisi kaki ditekuk, melainkan bersilaKetika salat, kaki harus ditekuk saat duduk tahiyat akhirSaya masih sering kesemutan,” kata Sutiyo”Terkadang kalau kesemutannya parah, duduk tahiyat saya pakai bersila,” lanjut pria 35 tahun yang tinggal di Desa Argosari itu
Dia menceritakan, ujian awal terberat sebagai mualaf dijalani selama enam bulan pertamaKarena hawa dingin di pegunungan Tengger yang menusuk tulang, dia kerap meninggalkan salat SubuhBegitu juga salat DuhurSebab, kebiasaan berladang warga suku Tengger dilakukan hingga soreDengan demikian, di awal-awal itu, jarang sekali mualaf Tengger yang salat Jumat
Menurut Manajer Program dan Pendayagunaan Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Jawa Timur, Ihya Ulumuddin, jumlah mualaf Tengger di Kecamatan Senduro semakin banyak sejak dua tahun terakhirBahkan, dia mengklaim, jumlahnya kini mencapai 1.600 orang lebih’’Jumlah sekian itu berdasar pendataan terakhir kami menjelang penyaluran zakat fitrah 2,5 ton beras,’’ terang Ihya
BMH, kata Ihya, terus melakukan pendampingan kepada para mualaf tersebutMereka menggandeng aparat kecamatan setempatAgustus lalu, mereka mengadakan khitanan masal, khusus mualaf TenggerYang menarik dalam acara yang diikuti 40 orang itu, usia peserta tertua 70 tahunYang termuda 12 tahun’’Kebetulan, ajaran Hindu dan Islam memang ada kemiripanHindu juga mengajarkan khitan dengan memotong sebagian kecil sajaSetelah masuk Islam, mereka setidaknya dikhitan sesuai syariah Islam,’’ lanjut Ihya.
Dia menjelaskan, selama hampir dua tahun terakhir, pihaknya melakukan berbagai program Bina Desa BerkelanjutanDi antaranya, pipanisasi dari sumber air ke tandon desa’’Warga Argosari kalau mengambil air harus berjalan kaki sampai 4 kmSemoga pipanisasi sepanjang 5 km dapat mengubah perilaku mereka yang jarang mandi,’’ ujarnya.
Meski di antara suku Tengger kini ada yang beragama selain Hindu, toleransi tetap terjaga di komunitas tradisional itu”Mereka yang Hindu tetap menghargai yang telah berpindah keyakinan ke IslamBegitu pula sebaliknya,” kata Markatun, kepala desa Argosari yang menjadi mualaf sejak lima tahun laluSebelumnya, dia Hindu
Jika kepala desa Argosari beragama Islam, kepala desa Ranupani di Kecamatan Senduro beragama KristenDia adalah Thomas Hadi, juga dari suku TenggerKedua orang tuanya masih beragama HinduKarena itu, di Desa Ranupani, selain terdapat pura (tempat ibadah umat Hindu), sanggar (tempat khusus di sekitar rumah untuk sembahyang umat Hindu), musala dan masjid, juga terdapat gerejaLokasi tempat ibadah itu pun saling berdekatanPemandangan yang sama bisa disaksikan di Desa Senduro dan ArgosariHanya, di Desa Argosari, tidak ada gereja
’’Kami memilih kepala desa bukan karena latar belakang agamaMelainkan figurnya yang merakyat,’’ ungkap Astono, warga Desa Senduro yang menjadi pemuka Hindu dan koordinator pengelola harian Pura Mandhara Giri Semeru Agung
Pura Mandhara Giri Semeru yang terletak di Desa Kandang Tepus, Senduro, itu berdiri cukup megah di atas lahan seluas sekitar empat hektareMenurut Astono, pura tersebut terbesar kedua setelah Pura Besakih di Karangasem, BaliYang menarik, pura itu berdiri di tengah permukiman warga yang mayoritas muslim, meski sama-sama dari suku Tengger
Setiap ada upacara agung di pura tersebut, umat Hindu dari luar daerah (kebanyakan dari Bali) banyak menginap di rumah-rumah warga muslimSebab, penginapan yang ada di Senduro tak memadaiHotel Somanake, satu-satunya penginapan di Senduro, hanya berkapasitas 65 kamar
Semangat toleransi juga terjaga di suku Tengger yang tinggal di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten ProbolinggoDi desa itu, terdapat belasan pasangan yang menikah, meski berbeda keyakinanMisalnya, pria muslim dari luar suku Tengger menikah dengan wanita Hindu dari suku TenggerMereka menetap di Ngadisari
”Sistem kekerabatan yang ada pada suku Tengger yang bisa menjaga perbedaan itu,” kata Supoyo, kepala desa NgadisariMenurut dia, suku Tengger punya prinsip mengayomi siapa sajaDengan demikian, sebagai orang Tengger, mereka dituntut melestarikan adat istiadat dan budaya tanpa melihat latar belakang agama(kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyambut Bayram, Idul Fitri di Negeri Turki


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler