Diplomat Diusir, Rusia Bersumpah Balas Dendam

Jumat, 16 Maret 2018 – 16:59 WIB
Bendera Rusia. Foto: Reuters

jpnn.com, LONDON - Keputusan Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May mengusir 23 diplomat Rusia dari negerinya menuai beragam reaksi. Negara adikuasa sekaliber Amerika Serikat (AS) pun sampai terbelah. Presiden Donald Trump semula menganggap May terlalu gegabah.

Namun, Sarah Sanders, juru bicara Gedung Putih, mementahkannya. Dia menyebut pengusiran diplomat Rusia itu wajar. Bukan hanya Inggris, negara lain pun pasti akan mengambil langkah yang sama.

BACA JUGA: Get Out!! Inggris Usir 23 Diplomat Rusia

”Apa yang Rusia lakukan (terhadap Inggris, Red) adalah perilaku yang bertentangan dengan aturan internasional. Itu juga bentuk pelecehan kedaulatan dan keamanan bangsa lain,” kata Sanders sebagaimana dilansir BBC kemarin, Kamis (15/3).

Sebelumnya, Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley juga menegaskan bahwa AS akan selalu mendukung Inggris. ”Sebagai sekutu dekat yang punya hubungan sangat baik, AS akan selalu ada di pihak yang sama dengan Inggris,” katanya.

BACA JUGA: Sambut Pangeran Mohammed, Warga Inggris Gelar Demonstrasi

Prancis, yang saat pertama mendengar sanksi itu sempat kecewa, kemarin juga berubah pikiran dan mendukung penuh kebijakan May.

Sehari setelah mengumumkan sanksi untuk Rusia, kemarin May melawat Salisbury di selatan Inggris. Dia berkunjung ke lokasi Sergei Skripal terkulai lemas pada 4 Maret lalu.

BACA JUGA: Gencatan Senjata Omong Kosong ala Rusia di Eastern Ghouta

Mantan mata-mata Rusia yang membelot, lalu bekerja sama dengan intelijen Inggris, itu ditemukan tak berdaya di sebuah bangku. Di dekatnya, sang putri, Yulia, juga ditemukan dalam kondisi yang sama.

Sampai sekarang, Skripal dan anak perempuannya itu masih koma. Inggris yakin mereka diracun dengan Novichok. Pada era Uni Soviet, racun tersebut dikembangkan oleh militer.

Dirancang menjadi racun paling mematikan. Tidak hanya sulit dideteksi dan tidak ada penawarnya, Novichok juga bisa dipisah menjadi dua senyawa tak beracun sehingga memudahkan pelaku membawanya ke mana-mana.

”Lewat kasus itu, Rusia hendak mengatakan kepada dunia bahwa siapa pun yang melawan rezim (Presiden Vladimir Putin, Red) akan berujung dengan kematian,” kata Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson sebagaimana dikutip Associated Press.

Namun, menurut dia, dunia tidak mempan dengan gertakan. Karena itu, Inggris pun melawan.

Dari Moskow, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyayangkan sikap Inggris. Menurut dia, ultimatum yang May sampaikan pada awal pekan menjadi preseden buruk bagi hubungan diplomatik kedua negara.

”Kami pasti akan bekerja sama dengan senang hati seandainya menerima permintaan formal dari Inggris melalui Chemical Weapons Convention (CWC),” ungkapnya.

Sesuai standar CWC, batas waktu klarifikasi adalah 10 hari. Karena Inggris terlalu tergesa-gesa, Moskow malah curiga.

Mereka menduga Inggris memiliki maksud tersembunyi dengan mengultimatum Rusia dan mengusir para diplomatnya.

”Kami jelas akan membahas pengusiran itu. Segera,” tegas Sergei sebagaimana dilansir RIA Novosti kemarin.

Rusia, lanjut dia, berjanji mengusir diplomat-diplomat Inggris dari negerinya dengan ”elegan”. Yakni lewat pemberitahuan resmi ke London sebelum publikasi ke media.

Sejak Rusia disebut-sebut sebagai dalang di balik insiden yang bisa saja merenggut nyawa Skripal dan putrinya, hubungan London dengan Moskow merenggang.

Apalagi, penyelidikan Kepolisian Metro London semakin mengarah pada keterlibatan Rusia dalam kasus yang menggemparkan penduduk Salisbury tersebut.

”Hubungan Rusia dengan Inggris menjadi luar biasa dingin,” kata Menteri Pertahanan Inggris Gavin Williamson. (hep/c11/pri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemiskinan Paksa Warga Rusia Jadi Serdadu Bayaran di Syria


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler