Diusulkan, Polisi Jangan Ikut Usut Kasus

Selasa, 15 Desember 2009 – 18:53 WIB

JAKARTA - Praktisi hukum Dr Jazuni menegaskan,  berakhirnya kasus Bibit Samad Riyanto-Chandra Hamzah jangan diartikan bahwa berbagai penyelewengan praktek hukum sudah berakhirMenurutnya, tragedi hukum yang menimpa Bibit-Chandra itu baru satu dari ribuan praktek penyelewengan hukum yang terungkap ke permukaan.

"Di Cikarang misalnya, Polisi dan Jaksa setempat berusaha meloloskan seseorang yang diduga menipu ratusan juta rupiah dengan cara menolak laporan korban dengan alasan belum memenuhi unsur-unsur tindak pidana

BACA JUGA: Sepakat Anti Korupsi, Beda Pendapat Soal Isi

Kejadiannya berlangsung 18 Mei 2009 lalu," ungkap Jazuni dalam diskusi di press room DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/12)
Bersama Jazuni, hadir narasumber pakar hukum tata negara Margarito Kamis, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Ruhut Sitompul, koordinator Indonesia Police Watch Netta S Pane dan Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti.

Kembali ke cerita kasus di Cikarang, Jazuni menjelaskan, setelah diterangkan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang sanksi bagi polisi yang berupaya menolak laporan tindak pidana, lanjutnya, pada 25 Juni 2009 polisi baru bersedia mengeluarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL)

BACA JUGA: Mendagri Minta BPK Periksa Perda

"Anehnya pada hari yang sama polisi menawari pengembalian uang Rp250 juta dengan syarat pelapor mau berdamai dengan terlapor."

Tiga bulan berselang, tepatnya 30 September 2009, berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Cikarang
Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan berkasnya belum lengkap dan meminta dilakukan konfrontir antara keterangan saksi korban, saksi-saksi dan tersangka "Petunjuk JPU itu janggal karena bukannya mengarahkan pada pemenuhan unsur pidana

BACA JUGA: RPP Penyadapan Harus Sesuai Keinginan KPK

Diduga JPU hanya mencari alasan untuk mengulur waktu."

Belajar dari cara-cara Polisi dan JPU di Kabupaten Bekasi itu dalam menangani sebuah perkara, ini melahirkan dugaan, jangan-jangan penjahat besar lolos dari jeratan hukum karena membagi-bagikan hasil kejahatannya kepada aparat penegak hukum yang korup, imbuh Jazuni.

Menyikapi cara-cara penegak hukum dalam memproses banyak perkara, Margarito Kamis mendesak agar kepolisian tidak diberikan kewenangan melakukan penyidikanInstitusinya tetap menjadi publik service dengan tugas utama menjaga ketertiban umum“Namun posisinya di atas setingkat Satpol PP, dengan demikian dia bisa ditempatkan di Departemen Dalam Negeri atau Departemen Hukum dan HAM,” kata pakar hukum tatan negara dari Universita Khoirun itu.

Menurutnya, penyelenggaraan hukum Indonesia sudah sangat parah dan tidak akan selesai dengan cara-cara Presiden SBY dengan membentuk satgas-satgas, atau semacamnyaKalau Presiden SBY serius akan memperbaiki hukum, ia bisa panggil Kapolri, Jaksa Agung dan Menkum dan HAM untuk diberi tugas dan tanggung jawab memperbaiki institusi penegak hukum“Panggil mereka bertiga untuk diberi tantanganSaya yakin dalam hitungan hari, mafia-mafia hukum tertangkapTindakan itu jauh lebih efektif ketimbang SBY membentuk satgas maupun pos pengaduan pemberantasan korupsi,” ujarnya.

Berbekal dari pengalamannya berurusan dengan kepolisian dan kejaksaan, dalam kesempatan sama Jazuni tetap mendesak agar petinggi kedua institusi hukum itu, yakni Kapolri dan Jaksa Agung untuk mundur dari jabatannya karena tidak mampu melakukan pembenahan di institusi yang dipimpinnya“Saya nilai tidak ada pembenahan institui Polri maupun KejaksaanJadi kalau Kapolri dan Jaksa Agung punya rasa malu, pasti mereka akan mundur saja,” kata Jazuni.

Ketika menyinggung soal adanya wacana pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dilontarkan oleh Presiden belum lama ini, Jazuni mempertanyakan efektifitas lembaga tersebutSementara selalu ada resistensi pimpinan institusi penegak hukum terhadap laporan kebobrokan aparat di institusinya“Masihkah ada harapan pembenahan dilakukan dari dalam? Ataukah perbaikan hanya bisa diharapkan dari luar, seperti maraknya gerakan antikorupsi yang disuarakan rakyat, yang malah ditakuti oleh presidennya sendiri?” ujarnya.

Sementara Ray Rangkuti menilai upaya presiden membentuk berbagai satgas lebih karena reaksi sekedar menjawab tuntutan masyarakat"Pernyataan SBY yang menyebut dirinya akan berjihad lawan korupsi tidak dalam sebuah perspektifTapi itu cara menjawab tuntutanIbarat berobat, kita hanya diberi penghilang rasa sakit," ujarnya.

Saat ini hukum di Indonesia tengah menunggu keajaiban dari Tuhan karena tingkat korupsi sudah di puncak"Keajaiban mulai terjadi yang ditandai dengan maling teriak malingSatu per satu mulai mengungkap kesalahannya, mulai dari penyelewengan pajak sampai kepada penyalahgunaan wewenang," ujar Ray(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bupati Brebes jadi Tersangka di KPK


Redaktur : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler