Dokter Edi S. Tehuteru; Terapkan Hospital-Schooling untuk Penuhi Hak Pasien Kanker Anak

Tergugah saat Hadi Minta Buku Pelajaran dari Pontianak

Kamis, 30 April 2015 – 17:17 WIB
TELATEN: Dokter Edi Tehuteru memantau pembelajaran kepada pasien kanker anak di RS Kanker ’’Dharmais’’ Jakarta, Selasa (28/4). Foto: Raka Denny/Jawa Pos

jpnn.com - Masa pengobatan kanker yang panjang sering menghambat pasien anak untuk mendapatkan hak belajar. Hal itu menjadi perhatian dr Edi Setiawan Tehuteru dari RS Kanker ’’Dharmais’’ Jakarta. Dia lalu menggagas hospital-schooling dan pendekatan psikososial untuk pasien kanker anak.

Laporan Nora Sampurna, Jakarta

BACA JUGA: Mendagri Ingatkan Ahok Soal Apartemen Jadi Lokalisasi Prostitusi

''ONEtwothree,'' ucap Rizky Maulana, 3, pelan-pelan menirukan ucapan Fatini Bong, volunter yang mengisi kelas, Selasa pagi itu (28/4). Meski awalnya malu-malu, Rizky akhirnya mau menyebutkan angka dalam bahasa Inggris. Di depannya, Luna, bocah perempuan 3 tahun 10 bulan, asyik mewarnai kertas gambar.

Rizky dan Luna merupakan pasien leukemia yang dirawat di bangsal anak RS Kanker ''Dharmais'' Jakarta. Meski sedang berjuang melawan penyakit berat, senyum dan semangat anak-anak tersebut untuk belajar tidak pudar.

BACA JUGA: Mendagri Ingatkan Ahok Jangan Sembarangan

Aktivitas belajar itu dilakukan di dalam ruangan yang di-setting seperti perpustakaan dengan buku-buku pelajaran serta bacaan anak yang tersusun di rak. Dinding ruangan dilukis dengan warna-warna ceria, berkonsep friendly ward (bangsal ramah) yang membuat anak-anak makin betah. Kegiatan yang sedang berlangsung itu merupakan penerapan hospital-schooling dan metode psikososial yang dicetuskan dr Edi Setiawan Tehuteru SpA (K) MHA IBCLC.

Menurut Edi, pasien anak harus tetap mendapatkan hak untuk terus menjalani proses tumbuh kembang. ''Kita harus memperhatikan dan menyediakan fasilitas agar mereka tetap bisa belajar dan bermain,'' ujarnya.

BACA JUGA: Ketua Fraksi PPP DPRD DKI: Lulung Masih Saksi

Sebab, kata Edi, pengobatan kanker anak-anak tidak hanya berfokus pada mengatasi kankernya semata, tetapi juga membantu anak untuk tetap bisa menjalani kehidupan normal sesuai dengan tingkat usia mereka.

Menyelesaikan pendidikan dokter umum di Universitas Trisakti Jakarta dan spesialis anak di Universitas Indonesia, Edi kemudian mengambil pendidikan tambahan tentang onkologi anak di Amsterdam Medical Center, Belanda. Di sana, dia mendapat ilmu bahwa penanganan pasien kanker anak tidak cukup hanya secara medis. Tetapi, unsur psikologis dan sosial mereka juga harus mendapat perhatian agar pengobatan makin menyeluruh.

Sepulang dari Belanda pada 2006, Edi memprakarsai metode pendekatan psikososial tersebut terhadap para pasiennya di RS Kanker ''Dharmais''. Jalannya memang tidak mudah. Apalagi pada era itu belum ada fasilitas pengobatan seperti BPJS atau jamkesmas yang memberikan kemudahan serta keringanan bagi pasien kurang mampu. Meski begitu, Edi mendapat momentum yang membulatkan tekadnya untuk mengaplikasikan gagasan tersebut.

Pada 2006, ada pasien anak asal Pontianak bernama Hadi. Dia masih duduk di kelas 5 SD. Di tengah pengobatan leukemia yang dijalani, Hadi tetap bersemangat untuk belajar. Dia bahkan rindu bersekolah. Sampai-sampai, dia meminta dibawakan buku-buku pelajarannya dari Pontianak.

''Saya lalu ingat pernah belajar tentang hospital-schooling di Belanda. Dari situlah tercetus ide untuk menerapkannya di sini,'' ucap ayah empat anak tersebut.

Awalnya, Edi dibantu dua guru TK untuk mengajar pasien anak. Dia juga menggandeng rekannya yang seorang psikolog, Erwin Fauzi, untuk mengembangkan metode hospital-schooling, menggantikan proses belajar di sekolah selama pengobatan di rumah sakit. Erwin-lah yang diminta menyusun silabus pengajaran serta metode pendampingan secara psikologis.

Untuk mendapat relawan tenaga pengajar dan lembaga yang mau men-support secara finansial, Edi lalu mendirikan Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia (YPKAI). Menurut dokter berkacamata tersebut, sejumlah negara maju melakukan program yang sama untuk memenuhi hak pasien anak. Jepang, misalnya. Di sana, ada guru yang ditempatkan di rumah sakit untuk mengajar. Bila sewaktu-waktu dibutuhkan, guru itu akan menjalankan tugasnya mengajar pasien anak tersebut.

''Tapi, hal itu masih sulit di sini karena kita tahu gaji guru berapa. Karena itu, di sini masih mengandalkan relawan,'' ucapnya.

Edi sudah mengajukan konsep tersebut ke Kemendiknas. Namun, kendalanya, di Indonesia belum ada ketentuan yang mengatur hak belajar anak yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit. ''Padahal, seharusnya jangan sampai anak tertinggal pelajaran terlalu lama,'' tuturnya.

Lain lagi di Singapura. Di sana sudah ada sekolah khusus untuk pasien kanker anak-anak. Ketika si pasien sudah menyelesaikan pengobatan dan kembali bersekolah, dia akan lebih terlindungi. Sebab, anak-anak dengan kanker mempunyai daya tahan tubuh yang rendah.

''Kalau di sekolah umum, ketika ada murid sakit demam, orang tua pasien kanker anak akan khawatir anaknya bakal tertular. Sebab, infeksi sangat berisiko bagi anak-anak pasien kanker,'' jelas Edi.

Apabila cara itu bisa diwujudkan di sini, sekolah khusus untuk anak-anak kanker yang berafiliasi dengan sekolah asalnya tentu akan sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup anak-anak kanker.

Tentu, ada penyesuaian-penyesuaian untuk proses belajar di rumah sakit. Disesuaikan dengan tingkat usia dan kondisi tiap anak. Untuk usia prasekolah, cukup belajar hal-hal yang fun seperti mewarnai, menempel gambar, atau membuat prakarya.

Untuk anak usia SD, SMP, hingga SMA, pengajaran disesuaikan dengan pelajaran yang mereka ambil. Saat masa ujian nasional, mereka akan difasilitasi untuk tetap menjalani ujian. ''Kami jemput gurunya untuk menguji si pasien anak itu di rumah sakit,'' terangnya.

Edi kerap takjub melihat semangat belajar para pasiennya yang luar biasa. Misalnya, Yudi Nugraha, pasien leukemia asal Sukabumi yang meraih NEM tertinggi SMP sekabupaten pada 2014. ''Itu jadi bukti bahwa anak-anak ini luar biasa. Kanker bukan halangan bagi mereka untuk tetap rajin belajar dan meraih cita-cita.''

Fatini Bong, salah seorang relawan Pita Kuning, punya pengalaman mengharukan mengikuti program yang digagas Edi tersebut. Suatu saat, ada pasien anak berusia 4 tahun yang menjadi muridnya. Sayangnya, kanker telah merenggut nyawa si anak tersebut.

''Orang tuanya bilang kepada saya, 'Terima kasih, anak saya sudah bisa membaca di surga. Terus ajari anak-anak yang lain ya'. Aduh, itu bikin saya sedih dan terharu,'' tutur perempuan asal Singkawang, Kalbar, yang akrab disapa Cik Tini tersebut.

Fatini bergabung dengan Pita Kuning sejak 2010. ''Apa yang dilakukan dokter Edi sangat besar manfaatnya untuk anak-anak kanker. Sejak mengajar di sini, saya merasa punya ikatan batin dengan mereka,'' ungkap guru bahasa Inggris, mewarnai, baca tulis, dan storytelling untuk anak-anak balita itu.

Kanker pada anak mencapai 2–3 persen dari kanker secara keseluruhan atau sekitar 4.100 kasus kanker anak baru setiap tahun. Di antara jumlah itu, kata Edi, leukemia masih menjadi penyebab kanker paling banyak pada anak. Disusul retinoblastoma, limfoma, dan kanker tulang. Prinsipnya, kanker bisa disembuhkan selama diketahui pada stadium awal.

Metode hospital-schooling serta pendekatan psikososial sangat berperan dalam menunjang pengobatan. Edi mencontohkan pasien osteosarkoma (kanker tulang) pada stadium lanjut yang harus diamputasi.

''Kalau berpikir klinis aja, tinggal bilang, 'Besok kakinya dipotong ya'. Kebayang nggak, bagaimana psikologis anak tersebut?'' katanya.

Bukan hanya itu. Pasien kanker anak yang menjalani kemoterapi harus dihibur hatinya. Jangan sampai mereka merasa stres karena obat kemoterapinya tidak bisa bekerja efektif.

''Salah satunya, mereka harus tetap bisa belajar dan bermain. Mereka kalau nggak belajar malah sedih lho,'' ungkap penulis buku Waspada & Kenali Kanker pada Anak sejak Dini itu.

Untuk memberikan suasana yang menyenangkan bagi pasien anak, bangsal rawat inap mereka dibuat bernuansa ceria. Misalnya, dindingnya dilukis pemandangan alam dengan aneka binatang serta pepohonan. Model itu mengadopsi konsep yang diterapkan di Amsterdam Medical Centre.

Nama-nama ruang perawatan juga dibuat dekat dengan dunia anak. Misalnya, ada ruang semangka, anggur, apel, kacang polong, serta ruang gajah, kancil, dan beruang.

''Ini bukan hanya kerja saya, tetapi kerja banyak orang. Sebab, untuk mewujudkan treatment yang menyeluruh terhadap pasien kanker anak, perlu sinergi banyak pihak. Selain medis, juga dari sisi pendidikan, psikologi, dan aspek-aspek lain,'' ujar anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang juga kerap bergabung dengan tim bantuan medis darurat untuk bencana tersebut.

Edi berharap metode psikososial dan hospital-schooling itu bisa diterapkan di seluruh rumah sakit untuk memenuhi hak pasien anak dalam memperoleh pendidikan. ''Ini menjadi bagian dari pelayanan untuk pasien anak kanker di rumah sakit,'' tandas dia. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mantan Sekretaris Komisi E DPRD Bantah Terlibat Kasus UPS


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler