Dokter Sandi Suwanda, Orang Indonesia yang Sukses Kembangkan Akupunktur di Swiss

Pindah Kewarganegaraan agar Bisa Buka Praktik

Selasa, 12 Oktober 2010 – 12:12 WIB

Dr Med Univ (A) Sandi Suwanda adalah orang Indonesia yang sukses mengembangkan praktik akupunktur di EropaSaat ini, dia memimpin Chinese Medicine Department di Spital (Rumah Sakit) Zollikerberg, Swiss.

====================
AGUNG PUTU I., Jakarta
====================

SELAIN menjadi pimpinan pengobatan Tiongkok, lelaki yang karib dipanggil Suwanda itu menjadi presiden Swiss Association of Acupuncture and Chinese Medicine

BACA JUGA: Muhammad Ponari, Dukun Cilik dari Jombang, Kondisinya Kini

Dia juga menjadi profesor kehormatan di Beijing University TCM

 
"Di rumah sakit (Zollikerberg), yang banyak berobat justru orang Eropa

BACA JUGA: Luis Suarez Asyik dengan BB, Jupe pun Dicuekin

Mereka sudah memercayai akupunktur
Orang Asia cuma satu persen," ujar Suwanda saat ditemui di sela-sela simposium tentang laserneedle alias akupunktur laser yang diadakan Perhimpunan Dokter Akupunktur Medik Indonesia (Hidami) di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr Saryanto di Jalan M.T

BACA JUGA: Boleh Tenggak Bir sampai Mabuk, tapi Tak Boleh Berkelahi

Haryono, Jakarta, Sabtu (9/10).

Lelaki 61 tahun itu masih terlihat bugarDia juga sangat energik dan bersemangat membagikan keahlian akupunktur di hadapan pesertaMengenakan kemeja cerah garis-garis, Suwanda mengawali paparannya dengan melempar kelakar"Saya masih ingat sedikit-sedikit bahasa IndonesiaTapi, nanti maaf ya kalau ada yang keliru sedikit," ujarnya dengan bahasa Indonesia yang lancarPeserta pun tertawa.

Suwanda memang tak lagi berdomisili di IndonesiaSejak lulus SMA pada 1966, dia hijrah ke Eropa dan mengembangkan akupunktur di benua biru tersebut"Tapi, bukan karena kondisi politik di Indonesia lho ya," ujarnya saat ditemui Jawa Pos setelah presentasi lantas tersenyum.

Bapak dua anak tersebut menuturkan, saat itu dirinya sangat ingin menjadi dokterNamun, kesempatannya sangat terbatasSebab, Universitas Indonesia (UI) hanya mampu menerima 200 mahasiswa kedokteran tiap tahunPadahal, perguruan tinggi lain belum memiliki jurusan kedokteran yang mumpuniAkhirnya, dia mengalihkan pilihan untuk belajar kedokteran di Eropa.

Pilihan awal adalah universitas di JermanAlasannya sederhanaDi negeri tersebut, dia memiliki saudaraNamun, tampaknya, Suwanda tidak ditakdirkan belajar di negeri ituAplikasinya ditolakPilihan jatuh pada University of Vienna di Wina, Austria"Tadinya sih pingin di Jerman, tapi diterimanya di AustriaYa sudah," ujarnya.

Suwanda awalnya tak pernah berpikir untuk mendalami akupunkturPada tahun-tahun itu, akupunktur belum boomingBahkan, pengobatan tusuk jarum tersebut belum dianggap bagian dari science.

Tapi, persepsi Suwanda berubah ketika Presiden Amerika Serikat Richard Nixon bertandang ke Tiongkok untuk kali pertama pada 1972Kunjungan bersejarah itu menimbulkan efek dominoBukan hanya politik dan ekonomi, dunia Barat juga tertarik mengeksplorasi kekayaan ilmu kesehatan negeri raksasa tersebut.

Tak lama berselang, University of Vienna dikunjungi sejumlah tenaga medis dari TiongkokKepada mahasiswa kedokteran di universitas itu, paramedis dari Tiongkok tersebut memamerkan teknologi akupunktur dalam mengoperasi usus buntu dan bedah caesarSuwanda pun tertarik"Saat itu, saya duduk di balkon dan melihat sendiri operasi berlangsung suksesSejak itu, saya jadi tertarik untuk mendalami ilmu akupunktur," ungkapnya.

Lelaki yang gemar berpelesir ke Bali itu merampungkan studi pada 1974Dia kemudian berencana membuka praktik di SwissNamun, keinginan tersebut terkendala ketentuan bahwa hanya warga Swiss yang boleh membuka praktik kedokteranDemi memuluskan tekadnya membuka praktik di Swiss, Suwanda akhirnya melepas kewarganegaraan Indonesia dan berganti menjadi warga negara Swiss

Begitu kewarganegaraan baru diperoleh, dia juga menjalin ikatan pernikahan dengan perempuan SwissPernikahan dengan istri bulenya itu (Suwanda tidak bersedia menyebutkan identitas istrinya, Red) membuahkan dua anak.

Selepas kuliah S-1, Suwanda mengejar spesialisasi kebidanan di Spital St Gallen, rumah sakit bersejarah di Swiss"Di Swiss, orang mengambil spesialis langsung ke rumah sakit, tidak perlu kuliah di kampus lagi," ujarnya.

Kendati sudah mengambil spesialisasi, rasa penasaran Suwanda pada akupunktur belum pudarSembari berpraktik, dia mengikuti sejumlah kursus akupunktur di Jerman dan Prancis"Tapi, saya tetap merasa ilmu saya kurang dalam," katanya

Suwanda lantas mengikuti sejumlah kursus akupunktur di TiongkokMulai yang berdurasi tiga bulan hingga enam bulanDia pun mau tidak mau harus bolak-balik Eropa-TiongkokKursusnya tidak di lembaga pendidikan resmiDia berguru langsung kepada pakar-pakar akupunktur tradisional di TiongkokProses belajar itu dia telateni selama 15 tahun

Bahan pembelajarannya pun tidak sekadar memahami titik-titik akupunkturDia juga mempelajari "asbabun nuzul" alias asal-usul penentuan titik-titik tersebutGuru tempat dia belajar juga mengharuskan dirinya memahami filosofi di balik titik-titik akupunkturSalah satu referensi wajib yang harus dibaca adalah kitab akupunktur klasik berjudul Huang Di Nei Jing Ling Shu alias Miracle Pivot of Yellow Emperor.

"Ada filosofi tertentu yang harus dipahamiMisalnya, sakit bone (tulang), tusuk boneSakit tendon, tusuk tendonSakit belakang, tusuk depanSakit atas, tusuk bawah," tuturnya.

Memahami filosofi akupunktur, kata Suwanda, tak kalah penting dari mengenal titik-titik akupunkturDengan mengetahui filosofinya, seorang dokter akupunktur medis bisa memahami akupunktur secara menyeluruh"Saya melihat pemahaman umumnya dokter terhadap akupunktur terlalu dangkal dan praktisItu menurut saya masih kurang," tegasnya.
 
Ketika teknologi akupunktur laser (laserneedle) mulai muncul sepuluh tahun lalu, Suwanda juga meng-up grade kemampuannyaNamun, akupunktur tradisional dengan jarum tidak serta-merta ditinggalkanDia pun menggabungkan teknologi akupunktur laser dan jarum.

Untuk akupunktur laser, dia menggunakannya sebagai persiapan bagi ibu melahirkanEmpat minggu sebelum melahirkan, pasien diterapi dengan akupunktur laserSeminggu sekali ibu-ibu itu menjalani treatmentHasilnya, proses kelahiran berlangsung hanya 2,5 jam hingga 4 jam"Sang ibu juga tidak mengalami rasa sakit yang berlebihan," katanya.

Kini, teknologi tersebut laris manis di SwissBanyak warga Eropa yang memanfaatkannya untuk membantu dan mengobati sejumlah penyakitMulai bidang kebidanan dan kelahiran hingga kesehatan anak-anak dan dermatology.

Meski sudah lama di Swiss dan sukses, Suwanda masih sering kangen kampung halamanKarena itu, di sela-sela kesibukan sebagai ahli akupunktur, dia masih sering ke Indonesia untuk menemui famili"Saya juga kadang-kadang berlibur ke BaliBiar nggak stres," ujarnya lantas terkekeh(*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasib Wahono; Ditangkap Densus 88, Gagal Menikah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler