jpnn.com - Dokter spesialis lebih suka bertugas di daerah perkotaan. Pasalnya, mereka bisa mendapatkan pemasukan berlipat. Beda halnya bila bertugas di daerah pinggiran.
Selain minim insentif, juga bukan “lahan basah” untuk membuka praktik. Ditambah sarana dan prasarana yang kurang memadai. Menjadi faktor lain, dokter enggan ke daerah terpencil.
BACA JUGA: Sejumlah Pemda Beri Insentif Dokter Spesialis Hingga Rp 70 Juta per Bulan
Seperti dikatakan dokter spesialis dermatologi dan venereologi dr Daulat Sinambela, SpDV. Dia menyebut, ada beberapa faktor yang membuat dokter spesialis masih berberat hati bekerja di daerah pinggiran. Pertama, karena infrastruktur ke daerah yang belum merata.
Kedua, karena kurangnya informasi untuk dokter spesialis lulusan baru di mana lokasi dokter spesialis yang masih kosong.
BACA JUGA: Tunggu Aturan Baru Pengganti WKDS, Pengiriman Dokter Spesialis Tetap Jalan
“Kelengkapan peralatan medis yang belum memadai untuk beberapa dokter spesialis yang memerlukan teknologi (juga pertimbangan),” jelas dia kepada Kaltim Post (Jawa Pos Group).
BACA JUGA: Sejumlah Pemda Beri Insentif Dokter Spesialis Hingga Rp 70 Juta per Bulan
BACA JUGA: Dokter Spesialis PTT Silakan Pilih, PPPK atau CPNS
Di sisi lain, minimnya reward atau penghargaan yang diterima setiap dokter spesialis juga dapat dikatakan menjadi alasan dokter enggan ke daerah. Pendidikan dokter bukan layaknya pendidikan reguler lainnya. Selain biaya yang mahal. Tenaga dan pikiran juga cukup tersita banyak demi mendapatkan gelar dokter spesialis.
“Itu tidak dapat dimungkiri. Bagaimana pun biaya pendidikan dokter, apalagi dokter spesialis cukup tinggi dan cukup menguras tenaga serta pikiran. Tapi masalah itu (penghargaan atau insentif) tetap menjadi poin terakhir untuk alasan ke daerah pelosok,” tuturnya.
Menurutnya, ada banyak risiko yang diterima setiap dokter bila memaksakan bekerja tidak disertai peralatan medis yang memadai. Selain karena dapat berakibat pengobatan pasien yang tidak baik, nyawa seorang pasien juga menjadi taruhannya.
“Masalahnya (dokter spesialis menumpuk di kota) karena infrastruktur dan peralatan rumah sakit,” jelasnya.
Terpisah, dokter spesialis forensik di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie (RSUD AWS) Samarinda dr Daniel Umar, SpF mengakui, sebaran dokter di Kaltim masih banyak terpusat di perkotaan seperti di Samarinda, Balikpapan, dan Bontang.
Dia memberikan catatan bahwa keterbatasan infrastruktur di daerah jadi pertimbangan banyak dokter. Selain itu, rendahnya tingkat kesejahteraan yang diterima dokter spesialis menjadi kendala tersendiri di balik belum terdistribusinya dokter di setiap daerah.
“Kalau di kota mereka bisa membuka praktik. Pertimbangannya juga, kalau hidup di kota tentu jauh lebih sejahtera dibandingkan harus bekerja di daerah pedalaman,” sebut dia.
Dikatakan, pemerataan dokter di seluruh Indonesia sebenarnya sudah diprogramkan pemerintah pusat. Namun, belum berjalan di semua daerah termasuk Kaltim.
“Mungkin juga karena masih kekurangan dokter. Khususnya dokter spesialis itu masih sangat kurang. Sehingga masih ada daerah yang belum punya dokter spesialis,” tuturnya.
Di Indonesia dan bahkan di Kaltim diakuinya sudah banyak daerah yang menawarkan insentif tinggi bagi dokter spesialis. Namun kebanyakan dari lulusan dokter spesialis tersentral di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, dan Makassar.
“Tapi buat dokter-dokter spesialis yang baru, memang sebaiknya ke daerah saja dulu. Kalau sudah bertugas 5 sampai 10 tahun di daerah, kemudian baru ke kota. Kalau pun mereka langsung masuk ke kota besar, tentu mereka akan bersaing dengan dokter spesialis lain yang sudah lebih dulu bertugas,” sarannya.
Namun demikian, Umar menyebut, masih ada beberapa daerah yang menyetarakan pemberian insentif dokter umum dan khususnya dokter spesialis dengan profesi lain. Sementara dokter memiliki tanggung jawab yang terbilang cukup besar di bidangnya.
“Dokter itu bekerja 24 jam. Kalau dokter sebagai PNS kerjanya dari pagi sampai sore. Tapi setelah itu, dokter tetap memiliki tanggung jawab pelayanan kesehatan. Apalagi kalau ada pasien dengan kondisi darurat, ya mau enggak mau harus mereka layani,” sebut dia.
BACA JUGA: Tunggu Aturan Baru Pengganti WKDS, Pengiriman Dokter Spesialis Tetap Jalan
Selain itu, dari sisi perlindungan hukum dan kesehatan juga perlu dipertimbangkan pemerintah daerah. Profesi dokter sangat rawan dituntut. Meski sudah melakukan pemeriksaan sesuai prosedural, namun terkadang ada pasien yang melayangkan tuntutan karena merasa hasil pemeriksaan yang dia dapat tidak sesuai keinginannya.
“Kalau untuk insentif, sekarang sudah ada daerah yang menawarkan gaji sampai Rp 40 juta – Rp 50 juta per bulan. Kalau itu jalan, saya kira penyebaran dokter spesialis sudah bisa merata,” imbuhnya.
Adapun seorang dokter spesialis di RSUD AWS Samarinda menyebut, solusi terbaik yang bisa diambil pemerintah yakni memfasilitasi putra dan putri daerah untuk mendapatkan pendidikan kedokteran. Salah satunya dengan menyiapkan beasiswa khusus kedokteran.
“Sehingga saat mereka selesai sekolah kedokteran, maka mereka bisa kembali ke daerah. Saya kira ini pilihan yang cukup baik dan tepat supaya distribusi dokter di Kaltim bisa terpenuhi dan merata,” kata dokter yang enggan disebutkan namanya itu.
Bagaimanapun, setiap orang pasti memiliki sifat primordial. Sifat ingin pulang ke kampung halaman atau daerah asal. Apalagi setelah menyelesaikan pendidikan. Tinggal bagaimana pemerintah melihat peluang itu.
“Kalau itu bukan home atau tempat asal, menurut saya, di era sekarang agak susah bagi seseorang untuk memilih bekerja di tempat lain. Harus ada sesuatu yang disiapkan pemerintah yang membuat dokter mau bekerja di daerah mereka,” tuturnya.
Pada prinsipnya uang atau insentif yang diterima setiap dokter terbilang relatif. Namun ketika dokter merasa mendapatkan kenyamanan di tempat dia bekerja. Maka mereka pasti mau bekerja dan mengabdikan diri mereka di tempat itu.
Karena dari pemerintah pusat, sejatinya sudah menyiapkan program wajib kerja dokter spesialis (WKDS) untuk membantu penyebaran dokter di Indonesia. Dari sisi gaji dan insentif, pemerintah pusat sudah memberikan anggaran yang cukup besar. “Tinggal dari pemerintah daerah mau enggak menyambut itu,” tandasnya.
Diketahui, dari data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim menyebutkan, di provinsi ini terdapat 1.657 dokter umum dan 579 dokter spesialis. Tapi sayang, penyebaran masih menumpuk di perkotaan.
Bahkan Mahakam Ulu belum memiliki dokter spesialis dan hanya terdapat 17 dokter umum. Di Penajam Paser Utara hanya berjumlah sembilan dokter spesialis dan 54 dokter umum.
Selebihnya menumpuk di Samarinda dengan 565 dokter umum dan 207 dokter spesialis. Sedangkan Balikpapan memiliki 341 dokter umum dan 202 dokter spesialis. (*/drh/rom/k18)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MangoeSky Solusi Akses Internet untuk UNBKÂ
Redaktur : Tim Redaksi