JAKARTA — Ketua Dewan Pertimbangan DPP Partai Golkar, Akbar Tandjung, menilai jumlah partai politik yang ada saat ini sudah terlalu banyakMenurutnya, jumlah parpol yang terlalu banyak sudah tidak cocok lagi dengan sistem presidensiil.
Berbicara pada diskusi tentang "Evaluasi UU Bidang Politik dan Rekomendasi untuk Pemilu 2014" di Akbar Tanjung Institute, Kamis (5/8), Akbar memperkirakan, perkembangan kepartaian di Indonesia masih dinamis, di mana keinginan untuk mendirikan parpol masih cukup tinggi
BACA JUGA: Butuh 20 Tahun Menstabilkan Sistem Politik
Dalam diskusi yang digelar AT Institute dan SAS Communication itu, Akbar menjelaskan, jika pada awal reformasi ada sekitar 150 partai, ternyata pada tahun 2004 jumlahnya masih lebih dari 100
BACA JUGA: Tersangka Juga Harus Dilarang Maju di Pilpres
"Meski tidak semua bisa ikut Pemilu, tapi trend kepartaian kita belum memperlihatkan adanya trend jumlah partai yang lebih sederhana," ujar Akbar.Namun demikian doktor ilmu politik lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu juga mengingatkan bahwa jumlah parpol yang terlalu banyak jelas tidak efektif dengan pemerintahan yang mengunakan sistem presidensiil. Akbar menegaskan, sejak 2004 presiden Indonesia sudah dipilih secara langsung
Dengan demikian, presiden terpilih adalah penerima mandat langsung dari rakyat
BACA JUGA: Terbukti Ada Politik Uang, Desak Pemenang Dianulir
Hal itu dinilai Akbar berbeda dengan sistim parlementer yang mandatnya datang dari parlemen, yang notabene pencerminan dari partai-partai politik."Di negara-negara dengan sistim presidensiil itu tidak perlu banyak partai politikTetapi di Indonesia, walaupun kita sistim presidensiil, tapi jumlah partainya masih tinggiKarenanya perlu diarahan agar sistim kepartaian kita semakin kompatibel dengan sistim pemerintahan yang presidensiil," tandasnya.
Karenanya Akbar mengusulkan agar pembahasan atas revisi tentang UU Kepartaian dan UU Pemilu bisa semakin menciutkan jumlah parpol"Sehingga jumlah kontestan kompatibel dengan sistem presidensiil," pungkasnya.
Pada kesempatan sama, Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Bima Arya Sugiharto, mengatakan, saat ini Indonesia masih dalam proses transisiPersoalan besarnya, kata Bima, adalah menyeimbangkan representasi dengan efisiensi
"Dan itu tidak mudahPersoalan lainnya adalah bagaimana presidensiil yang kita miliki, cocok dengan multipartaiJadi kalau ada inovasi-inovasi itu wajar," ulasnya.
Secara terpisah, mantan Rektor Uneversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menegaskan bahwa penyederhanaan jumlah partai merupakan suatu keharusanMenurutnya, angka treshold perlu dinaikkan dan fusi partai harus didorong melalui regulasi
"Misalnya partai yang pada pemilu 2009 tak punya kursi di DPR dan hanya punya kursi di DPRD, harus bergabung dengan partai yang lebih besar dan punya kursi di DPRKarena kalau tetap diijinkan ikut pemilu, partai yang mempunyai kuasa politik di tingkat lokal saja akan berpotensi melakukan jual beli kepentinganIni tentu akan merusak sistem," tandasnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Demokrat Evaluasi Kekalahan Pilkada
Redaktur : Tim Redaksi