jpnn.com - jpnn.com - Tunjangan profesi dosen yang malas menulis karya ilmiah terancam dicabut November mendatang.
Tunjangan itu dicabut jika selama proses evaluasi yang diadakan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sejak 2015 hingga November 2017 mendatang, ditemukan fakta bahwa dosen tidak produktif.
BACA JUGA: Alumni SMK Berpeluang Kerja di Australia
Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam Peraturan Menteri Riset Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 20 Tahun 2017.
Dalam permenristekdikti yang ditetapkan 27 Januari 2017 lalu itu, kembali menegaskan bahwa dosen harus meningkatkan produktivitas publikasi karya ilmiah.
BACA JUGA: Di SDN 9 Mimika, Jam Belajar Terbatas Karena Panas
Bagi dosen yang memiliki jabatan akademik lektor kepala, harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal nasional terakreditasi, atau paling sedikit satu karya ilmiah yang dipublikasikan ke jurnal internasional, dalam kurun tiga tahun.
Terhadap kebijakan tersebut, Wakil Rektor I Universitas Brawijaya (UB) Prof Dr Ir Kusmartono menyatakan, hal ini bukan peraturan baru. Hanya saja, beberapa peraturan yang dibuat, tidak diindahkan.
BACA JUGA: Kaget Lihat Para Siswa Pakai Baju dari Kulit Kayu
Meski demikian, lanjut guru besar fakultas peternakan itu, tahun ini, UB memiliki program 1.000 publikasi artikel untuk seluruh dosen yang jumlahnya 1.800 orang.
Jadi, ada proses seleksi dan yang terpilih akan mendapatkan reward. ”Ini salah satu cara yang UB tempuh untuk memotivasi dosen dalam publikasi karya ilmiah,” papar Kusmartono.
Menurutnya, kini, dosen lebih banyak waktu mengajarnya dalam mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sementara, aspek penelitian kira-kira hanya 20 persen.
Sedangkan, Rektor Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr H Ah. Rofiuddin MPd menyayangkan jadwal evaluasi yang dilakukan dari tahun 2015, tidak dari 2017.
Hal itu dimaksudkan supaya dosen lebih bisa mempersiapkan diri dengan baik. Dia berharap, Kemenristekdikti bisa kembali memikirkan dengan matang peraturan tersebut.
Sementara, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang Prof Dr H Mudjia Rahardjo MSi menilai, kebijakan sertifikasi dosen bertujuan memang untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi.
”Tapi yang terjadi, tunjangan sertifikasi dosen tidak meningkatkan jumlah publikasi ilmiah dosen,” kata Mudjia, seperti diberitakan Radar Malang (Jawa Pos Group).
Saat ditanya bagaimana publikasi ilmiah dosen UIN Maliki Malang, Mudjia mengungkapkan, masih jauh dari yang diharapkan. Dosen di kampus masih terjebak dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu prioritas dalam mengajar.
Sehingga, mereka hanya terbebani untuk memenuhi standar beban kerja dosen. ”Proses peningkatan karya ilmiah terus kami dorong untuk publikasi. Jika tidak, tunjangan mereka akan dicabut sesuai permenristekdikti,” terangnya.
Namun, Mudjia menilai, sanksi pencabutan sertifikasi dosen itu tidak tepat apabila dilakukan langsung tanpa melalui peringatan-peringatan yang diberikan.
”Saya tidak setuju jika tunjangan langsung dicabut tanpa diberi batas waktu untuk memperbaiki,” tukasnya.
Kemudian, Rektor Universitas Merdeka (Unmer) Malang Prof Dr Anwar Sanusi SE MSi berpendapat, batas waktu yang diberikan mendadak, sehingga dia menilai tidak tepat.
Seharusnya, evaluasi dimulai dari tahun ini, bukan 2015 lalu. ”Supaya para dosen dan profesor dapat mempersiapkan diri, apalagi untuk publikasi internasional,” pungkasnya.
Tetapi, Anwar tidak setuju jika tunjangan sertifikasi dosen dicabut karena hanya tidak memenuhi publikasi ilmiah.
Baginya, namanya saja yang sertifikasi dosen, tetapi tugas dosen tidak hanya publikasi ilmiah, ada mengajarnya. ”Kalau tunjangan profesinya dicabut karena tidak memenuhi publikasi ilmiahnya, penghargaan terhadap tugas mengajar bagaimana?” keluhnya.
Maka, menurutnya, sebaiknya tidak dicabut tetapi tunjangan profesi dosen dikurangi berapa persen dari yang seharusnya diterima. (kis/c4/lid)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kabar Gembira untuk Mahasiswa Program Bidikmisi
Redaktur & Reporter : Soetomo