Kaget Lihat Para Siswa Pakai Baju dari Kulit Kayu

Selasa, 07 Februari 2017 – 00:44 WIB
Indri berpose bersama anak-anak di Desa Egadotadi, Kabupaten Deiyai, Papua. Mereka setiap hari mengenakan pakaian dari kulit kayu. Foto: INDRI FOR TIMOR EXPRESS

jpnn.com - jpnn.com - Indri Inggriaty Marliansari Bengu, S.Pd punya pengalaman menarik mengabdi di pedalaman Papua. Dia merupakan guru Bahasa Inggris, lulusan FKIP UKAW Kupang.

FENTI ANIN, Kupang

BACA JUGA: Kabar Gembira untuk Mahasiswa Program Bidikmisi

Gadis manis yang akrab disapa Indri ini merupakan lulusan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang (UKAW). Ia menyelesaikan studinya pada 18 Maret 2015 lalu.

Setelah menggenggam ijazah S1, Indri mengikuti program SM3T (sarjana mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal). Program ini dilakukan Kemenristekdikti.

BACA JUGA: Bantuan Rp 100 Miliar untuk Organisasi Guru

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, Indri justru ditempatkan di Papua. Di pedesaan. Tak ada listrik. Selama satu tahun penuh.

Indri ditugaskan di Desa Edagotadi yang berada di Kabupaten Deiyai, kabupaten yang kekurangan sumber air.

BACA JUGA: Pengalihan SMA/SMK ke Provinsi Masih Dipersoalkan

Untuk mendapatkan air, mereka harus berjalan ke bawah gunung. Namun, ia mengatakan, dirinya masih beruntung, karena ada desa lain yang lebih sulit lagi.

Tak hanya listrik dan air yang sulit, untuk memasak mereka menggunakan kayu bakar. Naik turun gunung adalah pekerjaan sehari-hari untuk mencari kayu bakar.

Namun Indri bersyukur karena banyak dibantu warga setempat. “Mereka selalu membawakan kami kayu bakar untuk memasak,” kata Indri.

Pertama kali menginjakkan kaki di desa terpencil ini, ia kaget. Bukan karena tidak ada air, listrik dan memasak menggunakan kayu bakar.

Ia kaget karena anak-anak sekolah tidak menggunakan baju layaknya di Kupang atau daerah lain. Mayoritas anak-anak mengenakan pakaian dari kulit kayu.

“Pertama kali saya merasa heran dan kaget. Tapi apa yang bisa saya lakukan, saya hanya membawa beberapa pakaian, tidak mungkin saya bagikan kepada seluruh warga desa,” kata Indri.

Selama mengabdi sebagai tenaga pengajar Bahasa Inggris SMP Satu Atap YPPK Edagotadi di Desa Edagotadi.

Ia tinggal di sebuah mes yang telah disiapkan. Ia tinggal bersama temannya yang sama-sama berasal dari Kupang.

Ia mengaku desa yang ditinggalinya itu punya banyak cerita. Masyarakatnya masih jauh dari kehidupan modern. Jauh pula dari sumber listrik.

“Mau cas HP atau laptop saja terpaksa cas pake genset,” kata Indri. Tak heran, kata Indri, peralatan elektronik mereka menjadi rusak.

Sudah tak ada listrik, sinyal pun macet-macet. Sulit menghubungi keluarga via telepon.

“Kami harus taruh HP di jendela. Itu pun tidak semua jendela bisa menangkap sinyal,” cerita Indri.

Walau hidup serbasulit, Indri dan kawan-kawan tak putus asa. Tak menyerah. Mereka menjalani hidup penuh semangat.

Apalagi, warga desa setempat sangat ramah. Senang membantu mereka mengambil air atau mencari kayu bakar.

“Mereka juga suka bagi lauk pauk berupa sayur-sayur, air bersih, dan kebutuhan lainnya,” kata Indri.

Walau begitu, bukan berarti tak ada pengalaman pahit. Ada kisah yang sempat membuat Indri dan kawan-kawan ketakutan.

Suatu malam, Indri dan kawan-kawannya dikejutkan dengan suara ketukan pintu yang sangat keras.

“Cepat buka pintunya, kalau tidak kami mendobraknya,” kata Indri menirukan suara itu. Seram. Mereka pun ketakutan.

Indri dan kawan-kawannya gemetaran. Saking takutnya. Namun, dengan sisa-sisa keberanian yang ada, mereka membuka pintu belakang dan berlari keluar.

Lantas, bersembunyi di semak-semak. “Badan kami penuh dengan lumpur, tapi kami tetap sembunyi karena takut,” kata Indri.

Saat beberapa kawan pria mereka membuka pintu, ada sejumlah pria yang sedang memegang senjata tajam berdiri di depan pintu.

Mereka adalah kawanan pencuri dan perampok. Hidupnya di hutan-hutan. Para pencuri tersebut lalu meminta seluruh barang berharga yang ada di situ.

Demi keselamatan, mereka pun menyerahkan berbagai barang yang ada. Para pencuri pun pergi.

“Kami bersyukur karena kasih Tuhan yang besar sehingga kami bisa kembali ke Kupang dengan selamat dan berjumpa dengan keluarga,” kata putri bungsu dari pasangan Marten Bengu (Alm) dan Ny. Henderita Bengu ini.

Indri berharap apa yang dialaminya tidak terjadi pada yang lainnya. “Kita semua agar selalu waspada, di mana pun kita berada, karena kejahatan selalu mengintai kita,” kata Indri.

Saat ini Indri masih menunggu untuk mengikuti program pendidikan profesi guru (PPG) yang merupakan kelanjutan dari Program SM3T. Ia ingin tetap mengabdi untuk bangsa dan negara sebagai seorang guru. (*/sam)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Please, Jangan Gantung Status Guru Non PNS


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler