jpnn.com - JAKARTA - Pakar hukum Margarito Kamis menilai sebuah kasus pidana yang sampai dua kali mendapat surat perintah penghentian penyidikan (SP3) akan sulit dibuka kembali. Sebab, penerbitan SP3 yang sampai dua kali bisa jadi mengindikasikan kurangnya bukti.
Margarito menyampaikan hal itu saat dimintai tanggapannya tentang kasus perseteruan antara pengusaha asal Pontianak, Adipurna Sakti dengan rekan bisnisnya di PT Salembaran Jatimulia (SJ), yakni Yusuf Ngadiman dan Suryadi Wongso. Kasus kerja sama bisnis yang berujung dugaan laporan ke Bareskrim Polri oleh kubu Adipurna itu sempat dua kali dihentikan penyidikannya dengan SP3.
BACA JUGA: Politikus PDIP: Negara Lindungi Pemodal, Kejam pada Rakyat
“Dua kali SP3 rasa-rasanya sangat sulit diteruskan. Indikasinya jelas alat buktinya kurang kuat,” ujar Margarito kepada indopos.co.id.
Margarito menjelaskan, pihak yang tak puas dengan SP3 bisa saja berupaya mempersoalkannya. Namun, jika penyidikan sebuah kasus sampai dua kali diterbitkan SP3, tentu akan sangat sulit membukanya lagi.
BACA JUGA: Kukuhkan Kepengurusan, Peradi Kubu Luhut Pangaribuan Bertekad Jaga Integritas Advokat
“Kalau ada bukti baru memang bisa, tetapi kalau sudah dua kali dihentikan, bukti apa lagi yang mau diberikan? Menurut saya biarkan saja, tidak perlu diteruskan,” katanya.
Kasus itu bermula ketika Adipurna berkongsi bisnis dengan Yusuf dan Suryadi dalam pembelian tanah seluas kurang lebih 45 hektare di wilayah Tangerang. Kedua belah pihak menyetorkan uang. Pihak Adipurna menggelontorkan Rp 8,15 miliar.
BACA JUGA: Rencana Munaslub Golkar Meredup, Ini Penyebabnya
Di sisi lain, pihak Suryadi juga mengeluarkan dana Rp 9,5 miliar. Komposisi saham pun dibagi.
Pihak Adipurna mendapatkan 30 persen dari luas tanah atau sekitar 13,5 hektare. Alasan pihak Yusuf dan Suryadi memberikan 30 persen saham karena Adipurna tidak mengeluarkan biaya pengurusan administrasi tanah di Desa Salembaran, Tangerang itu.
Namun, Adipurna tidak puas sehingga mempersoalkannya dengan melaporkan Suryadi dan Yusuf ke Bareskrim Polri pada 14 Mei 2012,. Bareskrim lantas menjerat Yusuf dan Suryadi sebagai tersangka.
Namun, dalam perkembangan penyidikan, tidak ditemukan bukti-bukti terhadap tindak pidana itu. Karenanya Bareskrim mengeluarkan SP3 pada 24 April 2013 berdasarkan hasil gelar perkara 20 Februari 2013.
Hanya saja, Adipurna mengajukan praperadilan atas SP3 kasus itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim lantas memutus agar kasus itu kembali dibuka dengan sejumlah petunjuk.
Mabes Polri lantas menuruti perintah pengadilan. Kabareskrim saat itu, Komjen Suhardi Alius meminta berkas dialihkan ke Direktorat Tipideksus sekaligus mengganti penyidik yang menanganinya.
Ketika berkas dilimpahkan ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana umum (Jampidum) Kejagung, jaksa menyatakan bahwa lingkup kasus tersebut adalah keperdataan dan bukan pidana.
Bareskrim Polri pun menerbitkan SP3 karena kasus itu tidak masuk dalam ranah pidana. Hasil gelar perkara yang dilakukan Direktorat II Tipideksus pada 15 Juni 2015 menyatakan bahwa perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan dan penyidikan dihentikan dengan alasan bukan tindak pidana.
Surat ketetapan SP3 tersebut ditandatangani Direktur Tipideksus Brigjen Victor Edison Simanjuntak pada 12 Agustus 2015. SP3 juga didasarkan pada pertimbangan Jampidum yang memberikan petunjuk P.19 bahwa perkara tersebut merupakan lingkup hukum perdata.(dms/indopos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Amelia Yani: Dukung Rekonsiliasi yang Cerdas
Redaktur : Tim Redaksi