AYAM mati di lumbung padi itu sindiranKita geleng-geleng kepala, mengapa negeri agraris ini malah mengimpor beras
BACA JUGA: Win-Win ala Jepang
Sebelumnya, kita juga mengimpor sapi, gula, bawang, kedelai, atlit sepakbola, dan kini impor ikan pula, padahal 2/3 wilayah republik ini adalah lautan membiru, tempat ikan “berumah” yang potensinya cukup dahsyat. Alamnya kaya raya nian, tetapi pemerintahnya tak bisa menggerakkan rakyatnya untuk memanfatkan rohmat Tuhan yang luar biasa itu.Saya tak habis pikir mengapa kapal-kapal penangkap ikan milik asing banyak beroperasi di perairan Indonesia, lalu, ironisnya membawa hasilnya ke negaranya, bisa Thailand, Malaysia, China dan sebagainya, serta kemdudian mengekspornya kembali ke Indonesia
Media menulis bahwa kapal-kapal asing itu berukuran 100 sampai 500 GT (gross tonnage), dengan peralatan moderen, dan memakai satelit berteknologi canggih, sehingga tahu di mana ikan “berlubuk” serta jaring besar yang memboyong potensi perikanan Indonesia
BACA JUGA: Reshuffle itu Percuma
Sebaliknya, kapal nelayan Indonesia hanya sekitar 5 hingga 30 GT.Dulu (2001) bahkan sempat ada kapal asing yang beroperasi dengan izin Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Pusat, tapi belakangan tak dibolehkan walaupun dalam prakteknya, menurut beberapa kawan pengusaha ikan masih ada
Konon, di pantai barat Sumatera Utara bahkan ada kapal Thailand dengan memakai nama local, yaitu nama dua pulau di sana. Tapi hasilnya diboyong ke Thailand dan kemudian diekspor ke Indonesia
BACA JUGA: Killing Me Softly, pak SBY
Begitu, teman-teman meneleponi saya ketika geger ikan impor marak di media massaSatu hal, sudah pastilah pajak dan retribusinya tak bisa ditarik karena tak pernah mendarat di pangkalan Indonesia.Tak kepalang, ada 200 container ikan asal China, dan beberapa Negara lain yang mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok, Surabaya dan Belawan, Medan, hatta membuat Menteri Perikanan & Kelautan berang. "Contohnya, ikan kembung mereka jual di Kramat Jati (Jakarta) Rp4.000-Rp5.000 per kgPadahal, nelayan Indonesia menjualnya Rp14.000- Rp15.000 ribu per kgBagaimana mungkin bersaing,” kata Fadel Muhamad, mantan Gubernur Gorontalo, seperti ditulis berbagai media.
Siapa yang tak mengelus dada, jika justru Jenis ikan yang diimpor pun banyak di IndonesiaAda ikan kembung, ikan tenggiri, dan ikan asin"Yang paling sakit hati itu ada ikan asin," ujar FadelJelas saja merusak pasaran harga ikan di Tanah Air.
Untunglah pemerintah akan mengembalikan 200 kontainer tersebut“Dalam waktu satu minggu ini, ikan-ikan impor itu segera dikembalikan,” kata Fadel di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 22 Maret 2011.
***
Salah satu kelemahan kita adalah system pengawasan yang lemahTak lagi rahasia manakala GT kapal operasi Departemen Kelautan & Perikanan (DKP) serta ALRI berskala kecil, tak bisa mengejar kapal-kapal asing ituJumlahnya juga tak banyak pulaBahkan, anggaran untuk melakukan operasi dan razia terhadap illegah fishing pun menyusutSeorang nakhoda kapal patrol milik DKP yang beroperasi di Sumatera dan berpengkalan di Belawan, Medan, mengaku bahwa tahun-tahun lalu mereka masih beroperasi masih 20-an hari sebulan, kini dibatasi di bawah 10 hariMarianus, nama nakhoda itu bercerita kepada saya.
Ironisnya, daerah operasi nelayan kita diciutkan sesuai izin yang dimilikiKalau izin dari pusat bisa beroperasi secara nasional, dan berjenjang ke bawah, izin propinsi dan kabupaten-kota, yang dibedakan dengan GT-nyaAkibatnya, banyak nelayan Sibolga yang memindahkan armadanya ke Sumatera Barat, Aceh dan BengkuluSebab jika di laut tak ada izin propinsi dan kabupaten setempat, maka kapal penangkap ikan itu akan ditangkap aparat yang berwenang
Kapal-kapal nelayan kita mudan ditangkap, jika tak punya izin pemerintahan local setempat, karena memang GT-nya kecilTetapi, sebaliknya, kapal illegal fishing milik asing semakin meraja-lela, termasuk di perbatasan perairan Malaysia-Indonesia yang merembes ke perairan kitaSesekali memang tertangkap, tetapi kebanyakan tak terkejar.
***
Saya ingat dalam sebuah bukunya Anthony Reid menulis bahwa Indonesia adalah negeri maritim dan perikananBukan negeri petaniSetidaknya di sekitar abad 15 hingga 17.
Kota terpenting, kala itu adalah Malaka, Tuban, Banten, Gresik, Surabaya dan Aceh di bawah Iskandar Muda pada 1607-1636. Di semua daerah itu tak sebidang sawah pun ditemukanMereka mengimpornya dari Thailand, atau secara lokal dari MataramKala itu, Nusantara dikenal sebagai negeri Maritim yang makmur.
Arus balik terjadi ketika Portugis merebut Malaka sebagai pelabuhan transito perdagangan pada 1511 dan dalam kurun panjang Singapura jatuh ke tangan Inggris pada 1854 (Traktat London)Sejak itu, Indonesia bergeser menjadi kerajaan pedalaman yang fokus kepada dunia pertanian, kendati kinipun absurdnya kembali mengimpor beras.
Indonesia sebenarnya lebih patut disebut sebagai negeri lautan yang berpulau-pulauBukan negeri kepulauanTapi mungkin, laut dianggap seram, meski di dalamnya terkandung sumber ikan yang dahsyat, termasuk juga sumber minyak bumi.
Contohnya, di Pulau Nias di lepas pantai barat Sumatera Utara, harga ikan lebih mahal dari harga ayam dan daging, karena warganya nyaris tak ada yang menjadi nelayanKebutuhan ikan didatangkan dari daratan Sumatera
Tak heran jika illegal fishing oleh nelayan asing meraja-lela di perairan Indonesia karena mayoritas nelayan kita belum dibekali mekanisasi alat tangkap ikan.
Tiada lain, regulasi penangkapan ikan di Indonesia harus ditata ulang, termasuk anggarannya, dengan memberi prioritas kepada nelayan sendiri. Kita malu negara dengan 2/3 lautan dan potensi ikan yang dahsyat, kok, mengimpor ikan, justru yang berasal dari perairan sendiri?(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Reshuffle Saja, Pak SBY!
Redaktur : Tim Redaksi