Reshuffle Saja, Pak SBY!

Sabtu, 26 Februari 2011 – 00:10 WIB

MUSUH dalam selimutMenohok teman seiring

BACA JUGA: Memburu Tax Gap

Agaknya pepatah lama itu cocok untuk menggambarkan perasaan hati kaum Demokrat melihat manuver politik kolega mereka dalam Sekretariat Gabungan Koalisi Pendukung Pemerintahan Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono. 

Yang dimaksud, siapa lagi, jika bukan Partai Golkar dan PKS yang gencar mengusung hal angket mafia pajak, walaupun berakhir dengan antikilimaks
Tak heran jika Ketua Fraksi Demokrat, Jafar Hafsah, di sela-sela Roundtable Discussion Partai Demokrat di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Kamis (24/2) lalu, berkata bahwa ”Pemerintah masih akan bisa berjalan kok

BACA JUGA: Ahmadiyah Bubar, Mungkinkah?

Tidak masalah walau tanpa PKS dan Golkar."

Partai Demokrat rupanya merasa ditohok oleh teman seiring, yakni Golkar dan PKS dalam kasus hak angket yang meskipun berakhir gagal itu
Padahal PKS punya 4 kursi menteri dan Golkar 3 kursi di cabinet SBY

BACA JUGA: Membaca Mesir, Melirik Cina

Akankah SBY melakukan reshuffle dengan mendepak kedudukan ketujuh menteri tersebut?

May be yes, may be noTetapi memang sudah salah di pangkalJabatan menteri, jika mengacu kepada pasal 17 ayat 3 UUD 1945, adalah mereka  yangmembidangi urusan tertentu dalam pemerintahanArtinya, para menteri adalah  pemimpin (baca: “presiden) eksekutif sehari-hari, sesuai otoritas masing-masingPresiden bukanlah one man show dalam kabinet presidensial.

Masuk akal jika kriteria seorang menteri adalah skill dan kompotensiApalagi presiden pun mempunyai hak prerogative.   Inilah merit system yang membuat kinerja menteri bersifat meritrokratisBukan karena jasa dan imbalan politik.

Namun apa mau dikata, presiden selalu tergoda untuk mengangkat menteri berdasarkan logika kabinet parlementerPresiden gemar mengakomodasi orang-orang partai, yang khususnya partai pendukung dalam pemilihan presiden, dalam mengisi pos menteri

Tak pelak, politisi menjadi primadonaSudahlah duduk di pemerintahan, wakil-wakilnya juga duduk di DPRAtas nama demokrasi, walaupun orang partai ikut duduk dalam pemerintahan, tidak mewajibkan mereka yang di parlemen harus 100%  menjadi bemper bagi berbagai kebijakan pemerintahMenjadi tukang stempel ala Orde baru, tidak lagi zamannya.

Sebaliknya, karena sikap yang boleh berbeda pendapat tersebut walaupun sekoalisi, telah membuat program pemerintah bagaikan tari poco-pocoMaju tidak, tapi malah mundur sesekali atau berulangkaliInikah, yang membuat pemerintahan “tersandera” oleh partai politik, padahal masih banyak tugas belum selesai, belum apa-apa?
 
Kita pun teringat kisah Sisiphus yang mendorong batu ke puncak bukitNamun tiba di puncak, Dewa Zeus menendang batu sehingga menggelinding ke bawahBegitulah kesia-siaan itu berulang-ulangAdakah Zeus bak parlemen dan Sisiphus bagai eksekutif?

Kisah Gus Dur yang terpilih sebagai presiden atas dukungan “Poros Tengah” yang menghimpun koalisi sejumlah partai mendukung Gus Dur, sehingga Mega dari PDIP kalah, sangat referensialMasalah muncul, ketika Gus Dur mencoba mewujudkan kabinet presidensial, padahal kursi PKB minoritasGus Dur nekat mencopot menteri seperti Hamzah Haz, Wiranto, Laksamana Sukardi, Kwik Kian Gie dan Yusril Ihza Mahendra, yang justru orang partai, minus Wiranto.

Tak ayal, resistensi orang di Senayan muncul, sehingga Gus Dur makin sendirian, dan jatuh pada SI MPR 2001 silam.

Berbeda dengan Soeharto yang full power, sehingga persetujuan parlemen bak tukang stempelKelebihan Soeharto dia mempercayai tim ekonomi dipimpin WijoyoHasilnya, inflasi 600%, dan harga barang yang melejit pada 1966-1968, teratasi dan investasi mengalir ke Indonesia sehingga dijuluki “macan ekonomi” Asia.

SBY sebetulnya sangat mempercayai tim ekonominya di kabinetNamun, itu tadi: jumlah kursi partainya di parlemen tidak signifikanToh, kritik mengalir juga kepada SBYTak apalahKritik memang perluTak perlulah menilai DPR sebagai “lalat pengganggu”, karena check and balances lumrah saja dalam demokrasi.

Secara konstitusional, tidaklah perlu hubungan eksekutif dan legislatif “mesra” karena bisa menyuburkan KKNBiarkanlah DPR menganggap kebijakan eksekutif salah, sebelum fakta menunjukkannya benarSikap itu lebih baik daripada DPR menganggap semua kebijakan oke, padahal fakta menunjukkan sebaliknya,

Tapi public pun sering keceleDPR yang “menyalak” bagai watchdog hanya sejenakSeru “berbalas pantun” tapi akhirnya akur, dan senyapAkhirnya rakyat, dan deritanya, yang telah memilih presiden dan parlemen sering terlupakanJika hendak marah, rakyat hanya bisa “menghukum” sekali lima tahun saban PemiluItupun jika tidak terkena  amnesia.

Lalu, apalagi? Reshuffle sajaToh tetap dalam satu koalisi pun, kritik tak bisa disetopYang penting,  eksekutif harus memilih kebijakan yang mementingkan kesejahteraan rakyatSudah “gila” DPR jika tak menyetujuinyaMengapa takut, jika rakyat di belakang kita? (***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gaji Besar Korupsi Juga


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler