Reshuffle itu Percuma

Minggu, 13 Maret 2011 – 00:13 WIB

SEKIRANYA reshuffle kabinet berlangsung juga, adakah jaminan Indonesia akan menapak masa depan gemilang? Saya ragu, bahkan sekalipun koalisi partai politik pendukung pemerintahan mempertahankan yang lama, bahkan jika  ditambah dengan PDI Perjuangan dan Partai GerindraSama ragunya saya jika misalkan Golkar dan PKS dikeluarkan dari koalisi, sehingga tak ada lagi, yang katanya “musuh dalam selimut” belumlah sebuah jaminan bangsa ini meraih segala cita-cita indah dan bahagia.

Akan tetapi manakala kaum elit di Indonesia telah matang berdemokrasi dengan menghormati pemisahan kekuasaan ala Trias Politika yang diperlebar, dipertinggi dan diperdalam, barangkali banyak orang akan berharap munculnya cercah-cercah harapan masa depan yang meyakinkan.

Disebut demokrasi yang “diperluas” dalam makna bukannya malah eksekutif dan legislative saling kompak dan harmonis, apalagi ikut bergabung pula kekuatan judikatif, maka jadilah sumber kolusi, korupsi dan nepotisme semakin berkecambah.

Inilah kekeliruan memandang

BACA JUGA: Killing Me Softly, pak SBY

Menganggap bahwa kekuatan Trias Politika itu harus harmonis
Namanya saja sudah pemisahan kekuasaan mestinya tidak boleh ada yang menjadi subordinasi dari yang lainnya

BACA JUGA: Reshuffle Saja, Pak SBY!

Kita merasa jika tak sependapat maka Negara akan runtuh, padahal beda pendapat hanyalah control agar pemerintahan dan Negara berjalan di rel yang benar

 
Bila Montesquieu hanya menyebut legislatif, eksekutif dan judikatif, sebetulnya kekuasaan itu juga bisa mencakup lembaga bank sentral.  Yang paling ideal adalah agar tidak terjadi intervensi dan kolusi serta konspirasi antara pelbagai pusat kekuasaan itu yang bisa menggumpal menjadi absolutisme kekuasaan yang monolit dan korup.
 
Karena itu dituntut profesionalisme dan independensi bidang ekonomi, seperti jabatan Chairman Federal Reserve (Bank Sentral) di Amerika Serikat

BACA JUGA: Memburu Tax Gap

Agar tidak mudah diperalat oleh elite yang menjadi the ruling party menduduki kepresidenan dan Kongres atau Senat, kesediaan untuk mematuhi aturan main, menghargai, menyegani dan menghormati peranan masing-masing sektor merupakan suatu kelembagaan yang menciptakan iklim saling percaya dalam masyarakat.

Di kita ini malah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia diduga kuat berbau money politics, dan kasusnya sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lembaga penegakan hukum mesti menjamin bahwa jika ada abused of power maka hamba hokum akan bertindak kendatipun yang ditindak adalah salah seorang pengurus DPP Partai Politik yang berkuasa, termasuk para menteri, gubernur, bupati dan walikota yang dicalonkan oleh partai berkuasa, tetapi jika melakukan korupsi harus ditindak.

Ketegaaan penegakan hukum itu akan merupakan advertensi yang memikat bagi kaum penanam modal, baik domestik dan asingInilah yang membuat modal asing mengalir deras, memicu pertumbuhan dan menimbulkan multiplier efek yang luar biasa bagi distribusi kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat.

***

Kita ingat di masa Alan Greenpan menjadi gubernur Bank Sentral, telah menyedot trilunan dolar dana masyarakat di luar AS, dipercayakan untuk membeli obligasi AS.

Luar biasaKetika dulu Alan Greenspan hanya memberi suku bunga 2% sejak 2001, dan bahkan turun hingga 1% pada 2003, toh US$ 4 triliunan harta milik dunia disimpan di AS

Kata kuncinya, masyarakat harus percaya bahwa korupsi, KKN, atau menyalahgunakan kekuasaan harus ridak lagi bertapak di bumi Indonesia.
                          
Trauma berapa banyak pejabat Negara dan daerah, termasuk kaum legislative yang menjadi terdakwa dan akhirnya nara pidana sejak awal era reformasi adalah iklan buruk negeri ini.

Walau masih ada pejabat yang bersih, tapi hukum sosial memang jamak mengambil contoh buruk, walau segelintir, atas sebuah bangsaBahwa, kita memang bangsa yang gemar korupsi hingga ke jajaran kekuasaan terkecil sekalipun.

Yang diperlukan adalah revolusi mental dan budaya untuk menerapkan demokrasi sejati dengan pembatasan kekuasaan yang setara dan efektif untuk mencegah dan menindak KKNKita sudah lama sakarat justru karena ketika mulai alergi terhadap demokrasiSeburuk-buruknya ekses demokrasi, jauh lebih buruk lagi jika demokrasi tidak ada, atau dipasung serta direduksi.

Sekalipun Presiden Yudhoyono  mengundang Alan Greenspan sebagai penasihat ekonomi RI, Greenspan tidak akan bisa apa-apa, jika mental kolektif elite RI masih feodal, dinastik, despotik, dan tidak punya sportivitas untuk menghargai pendapat orang lain yang berbeda.
 
Jika rasa percaya anggota masyarakat terhadap trauma pemerintahan yang korup masih menghunjam, maka puluhan Alan Greenspan juga tidak akan berdaya membangkitkan ekonomi RIAlan Greenspan sukses di AS bukan hanya karena dia seorang "begawan ekonomi", tapi karena di AS berlaku kelembagaan pasar yang dijamin hukum yang impartial dan mendukung pertumbuhan produktivitas dan kreativitas sebagai dinamo penggerak ekonomi

Yang lebih diperlukan ialah perubahan kelembagaan dan mental kolektif ke arah integritas elite yang bermoral, berdedikasi dan bertanggung jawab secara transparan dan institusionalBaik di pusat dan daerahBaik di eksekutif, legislative dan judikatifReshuffle kabinet itu sia-sia jika sekadar ganti orang.(**)





BACA ARTIKEL LAINNYA... Ahmadiyah Bubar, Mungkinkah?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler