BACA JUGA: Pulihkan Mental, Diajak Rekreasi ke Puncak
Bencana tsunami lima tahun lalu telah "melenyapkan" mereka.Laporan ANGGIT SATRIYO, Aceh Jaya
DI Pasar Lamno, Kabupaten Aceh Jaya, ada satu toko yang terlihat berbeda dibanding toko-toko lain
BACA JUGA: Ajak Cucu agar Ingat Sanak Saudara jadi Korban
Matanya cokelat kebiruan, rambutnya pirang, kulitnya putih bersih.Penjaga toko tersebut bernama Irwandi
BACA JUGA: Membuat Suasana Serasa di Kampung Halaman
Sebab, ratusan atau bahkan ribuan rekan mereka telah musnah diterjang tsunami yang menghantam wilayah ini 26 Desember 2004 silam.Bule Lamno adalah warga keturunan Portugis yang banyak bermukim di wilayah Kuala Lam Besoe dan Kuala Daya, Kecamatan LamnoIni kawasan pantai yang menjadi permukimanUmumnya mereka bekerja sebagai nelayan.
Tentara Portugis mendarat di Pantai Lamno sejak abad ke-14Mereka hendak menguasai pantai Barat Aceh sebagai wilayah perdaganganKarena tinggal cukup lama, mereka kemudian menikah dengan warga setempat dan beranak pinak di tempat yang sama.
Di Aceh, penduduk keturunan Portugis itu juga dikenal dengan julukan "si mata biru?Ini karena mata mereka yang umumnya biruDi wilayah itu mereka sudah berakulturasi dengan budaya setempatMereka juga kawin dengan warga lokal dan memakai nama lokal, sehingga si mata biru semakin banyak dan mudah dijumpai"Dulu di sekitar sini (Lamno) ada rumah makan, pelayannya ya bule Lamno itu, cantik sekaliSaya sering mengantar tamu kemari," ujar Baharudin, sopir yang mengantar Jawa Pos dari Banda Aceh ke Lamno.
Menurut dia, meski orang kampung, bule Lamno makin cantik bila sudah berdandan dengan busana ala orang-orang kotaSebelum tsunami, pejabat-pejabat di Banda Aceh yang masih bujang juga banyak yang mempersunting gadis Lamno.
Namun, tsunami yang mengempas kawasan itu lima tahun silam membuat segalanya berubahPenduduk mata biru di kawasan itu makin sulit ditemui.
Menurut Irwandi, sebelum tsunami, warga mata biru di kampungnya, Kuala Lam Besoe, sekitar dua ribu orangNamun, kini jumlah mereka bisa dihitung dengan jariSebagian besar tewas direnggut gelombang tsunami"Sebagian lagi juga pindah ke kota lainMereka jadi takut tinggal di kawasan pantai," jelas Irwandi.
Menemukan Irwandi sendiri juga lumayan sulitAwalnya, Jawa Pos mendapatkan informasi bahwa warga "mata biru" tinggal tersisa beberapa orang dan tinggal di kawasan Kuala Daya, Kecamatan Lamno.
Dari Banda Aceh, kawasan itu bisa ditempuh tiga jam perjalanan darat dengan menyusuri pantai Barat AcehAkses jalan ke Lamno bisa dikatakan gampang-gampang susahJalan raya bantuan pemerintah Amerika Serikat di kawasan itu cukup bagusNamun, karena melintasi dua wilayah perbukitan, mobil yang melintas harus ekstrahati-hati karena lintasan yang berkelok-kelokCeroboh sedikit, kendaraan bisa masuk jurang yang dalamnya sekitar 30 meter dan bisa langsung tercebur ke laut dalam.
Kini, sebagian jalan raya menembus perbukitan itu memang sedang diperlebarBanyak pekerja dengan alat-alat beratnya mengerjakan proyek tersebut.
Banyak warga Lamno mengaku tak melihat lagi para "bule" setelah tsunami"Saya tak lihat lagiTeman-teman saya banyak yang meninggal karena tsunami itu," jelas Zulfikar, nelayan di Kuala Daya yang asli penduduk lokalSejumlah warga yang tinggal di kompleks rumah bantuan, tak jauh dari kawasan Kuala Daya, juga mengaku tak melihat mereka lagi pascatsunami.
Kabar bahwa masih ada "bule Lamno" yang tersisa datang dari seorang penjaga warung, di Kuala Lam Besoe, tiga kilometer dari Kuala DayaMenurut wanita itu, masih ada sekeluarga keturunan Portugis yang tinggal di kawasan ituMereka adalah keluarga Jamaludin Puteh, atau akrab disapa Pak PutihWarga tak tahu pasti apakah karena kulitnya yang putih kemudian dipanggil demikian.
Untuk menuju rumah keluarga Jamaludin, terlebih dahulu harus naik rakit kurang lebih sepuluh menit, dengan tarif Rp 3 ribuSebelum tsunami, sebenarnya ada jembatan yang menghubungkan dua wilayah ituNamun, bencana itu menyebabkan jembatan putus dan belum dibangun kembali hingga kini.
Keluarga Jamaludin Puteh tinggal di sebuah rumah bantuan"Pak Puteh ke sawah, pulangnya nanti menjelang Magrib," jelas Hasnida, sang istriHasnida adalah wanita lokal yang dinikaihi pria keturunan PortugisKarena kedatangan tamu, wanita 44 tahun itu juga berupaya mengontak suaminya melalui ponsel agar mau pulang, namun tak tersambung.
Pascatsunami, kata Hasnida, suaminya yang sebenarnya seorang nelayan enggan melautTrauma tampaknya belum pupus dari hidup keluarga ituKini Jamaludin Puteh menekuni pekerjaan baru: membajak sawah warga dengan traktor bantuan kecamatan.
Hasnida menceritakan, tsunami banyak mengubah kehidupan keluarganyaIbu lima anak itu kehilangan tiga buah hatinyaSemua bermata biru dan berambut pirangMereka adalah Mela Yunita, Suci Apriliani, dan MursalimKini, Hasnida tinggal memiliki dua putra, yakni Darmadi, yang menjadi ajudan bupati Aceh Jaya, dan Irwandi yang menekuni profesi guru olahraga honorer di sebuah madrasah ibtidaiyah Lamno.
Menurut dia, Mela dan Suci saat tsunami datang, tengah belajar di pesantren, tak jauh dari rumahnyaKedua putrinya itu hilang diseret gelombangSementara, Mursalim ketika itu bersama dirinya lari menyelamatkan diri dengan bergandengan tangan"Tapi, pegangan tangannya lepas," kata Hasnida.
Hasnida bercerita, dua anaknya, Darmadi dan Irwandi, selamat karena saat kejadian berada di Banda AcehKetika itu, keduanya menimba ilmu di ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tersebutDarmadi kuliah di IAIN Nuruddin Ar-Raniry (tak sampai tamat karena diputus oleh tsunami), sedangkan adiknya, Irwandi, kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah KualaSaat tsunami datang, keduanya berada di wilayah yang tak diterjang ombak"Takdir AllahSemuanya sudah ada yang mengatur," ungkapnya.
Gara-gara bermata biru, saat kuliah, Irwandi kerap disapa bule"Waktu kuliah dulu musimnya rambut gondrongSaya panjangkan rambut pirang ini," ucap Irwandi sambil mengelus potongan rambutnya yang kini cepakDia terpaksa memangkas rambut karena profesinya sebagai guru"Masak, jadi guru gondrong, terus pirang," kata Irwandi lantas terbahak.
Panggilan itu, kata dia, tetap melekat hingga sekarangSaat mengajarkan olahraga, siswa-siswanya juga menyapa dengan panggilan yang sama"Saya kerap disapa "Pak Bule?Ya, agar akrab dengan mereka, saya biarkan saja," ungkapnya.
Seusai mengajar, Irwandi memanfaatkan waktu luangnya untuk bekerja di pasarPekerjaan ini dia lakoni untuk menambah penghasilanMaklum, gaji dia sebagai guru honorer tak seberapaKarena itu, dia memilih menjadi pelayan toko milik sepupunyaDi pasar, panggilan bule juga masih melekat"Warga bilang, kalau mau beli celana yang bagus, belilah di tokonya buleYang dimaksud, ya saya ini," ujarnya promosi.
Irwandi mengungkapkan, keturunan Portugis seperti dirinya saat ini makin jarang terlihatPascatsunami, apabila ada orang dari Banda Aceh atau dari mana saja ingin bertemu "mata biru?, warga setempat akan menunjuk keluarganya"Sudah habis semuaSaudara-saudara Bapak juga nggak ada lagi (tewas jadi korban tsunami, Red)," ucapnya.
Dia juga masih mengingat, keluarganya cukup dikenal di wilayah ituSemasa dia SD, banyak orang Portugis yang berwisata di kawasan ituPemandu selalu mengajak wisatawan itu bertandang ke rumah keluarganya"Mereka tanya-tanya Bapak (Jamaludin Puteh) dan memberikan uang saku," jelasnya.
Menurut dia, semasa muda wajah bapaknya mirip aktor Hollywood, Chuck Norris"Bapak juga berewokan seperti artis Amerika itu," ucapnya seraya tertawa(nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menelusuri Penyamaran Lima Bulan Buron Kakap Baridin
Redaktur : Tim Redaksi