Dulu Dicibir, Kini Banyak yang Mengikuti Pilihannya

Selasa, 07 Juni 2016 – 00:55 WIB
Harfizon, pelopor budidaya jeruk nipis di kebunnya. Foto: Hendri/ Padang Ekspres

jpnn.com - HARFIZON cuek dan tidak berkecil hati saat beberapa orang di sekelilingnya mencibir pilihannya yang berbeda dengan yang lain. Suami Evo Merita ini, tetap menanam jeruk nipis di lahan kosong miliknya.

Bagi banyak orang, pilihannya membudidayakan jeruk nipis tidaklah tepat, di saat harga karet melonjak. Namun, siapa sangka, budidaya yang dilakukannya justru mengantarkannya ke puncak kesuksesan. Banyak petani lain mengikuti pilihannya.

BACA JUGA: Rita Telepon, Poniati: Katanya Dia Akan Pulang..

Hendri, Sijunjung

Pada tahun 2009, harga karet mencapai Rp 16 ribu hingga Rp 18 ribu per kilogram. Harfizon, malah menanam jeruk nipis di lahan kosong miliknya. Akibat keputusannya itu, dia menjadi bahan tertawaan beberapa orang di kampung halamannya.

BACA JUGA: Tenun Ikat NTT Bersaing Dalam Peta Seni dan Budaya Dunia

Bukannya terpengaruh atas cibiran orang tersebut, dia semakin serius membudidayakan jeruk nipis di lahan seluas 4 hektare miliknya. Alhasil, setelah 4 tahun berlalu, kebun jeruk nipis miliknya malah menjadi sumber rezeki bagi dia dan keluarga. 

Saat ini, kebun jeruk nipis seluas 4 hektare miliknya sudah menghasilkan 50 ton setahun. Keberhasilannya itu menginspirasi banyak petani lain untuk belajar cara menanam serta mencangkok jeruk nipis Harfizon. 

BACA JUGA: Terserah Anak, Mau Pilih Malaysia atau Indonesia

Berkat keikhlasan dirinya mengajarkan pengalaman kepada petani lain, sudah banyak kebun jeruk nipis warga yang sudah berhasil. Bahkan di bukit Kompek atau sekitar lahan kebun jeruk Harfizon, sudah terbentang kebun jeruk nipis puluhan warga lainnya, yang luasnya mencapai 15 hektare.  

“Saat itu, harga karet memang melonjak naik. Ekonomi petani karet sangat bagus saat itu, namun karena niat saya sudah bulat untuk menanam jeruk, lahan kosong itu semuanya ditanami jeruk nipis. Karena itulah, cara pikir saya dianggap tidak normal oleh beberapa warga,”ujar Harfizon.

Setelah merasakan manfaat besar dari hasil kegigihannya, tahun 2013 ayah tiga anak itu kembali menanam berbagai jenis jeruk di lahan seluas 2 hektare. Seperti jeruk manis, sundai, kasturi dan lemon, serta jeruk purut. Lahan tersebut menurut Harfizon untuk percontohan. 

Harfizon juga berniat agar lahan berbagai jenis jeruk tersebut bisa dijadikan potensi agrowisata atau tempat belajar masyarakat maupun mahasiswa.

“Siapapun boleh belajar di kebun saya. Karena memang itu niat saya saat menanami jeruk-jeruk tersebut,” ujarnya.

Jeruk nipisnya saat ini sudah dipasarkan ke Jakarta. Selama tahun 2015, sudah dijual sekitar 50 ton di Jakarta dengan kisaran harga Rp 5 ribu hingga 8 ribu per kilogram.

Harfizon bercerita, saat terjadi bencana asap di Sumatera, termasuk Sumbar beberapa waktu lalu, harga jeruk nipis melonjak naik menembus Rp 12 ribu per kilogram. “Mungkin karena jeruk nipis langka di pasar, makanya harganya menjadi mahal,”sebutnya.

Selain menjual jeruk nipis, Harfizon juga mahir mencangkok jeruk. Tak hanya petani, beberapa waktu lalu salah seorang kontraktor di Kabupaten Sijunjung telah membeli 1.000 batang bibit jeruk nipis hasil cangkokan Harfizon.

Sebagai anggota Kelompok Tani Lubukbatu, Harfizon mengharapkan, ke depan pemda dapat mengembangkan kawasan Bukit Kompeh sebagai area agrowisata. “Karena kawasan perkebunan jeruk ini juga memiliki keindahan alam yang bagus,” ujarnya. (***/sam/jpnn)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Beginilah Kondisi Warung Sate Klathak setelah Jadi Lokasi Shooting AADC2


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler