Warga Shanghai, Chris Jia, pernah menghabiskan sekitar 2.500 yuan (lebih dari Rp5 juta) untuk membeli 'lima sampai enam baju baru" setiap bulannya. Tapi sekarang ia mulai berhemat dalam berbelanja.

"Saya tidak lagi berlibur ke luar negeri dan hanya dalam negeri saja, dan juga tidak lagi terbang naik pesawat tapi naik kereta," katanya.

BACA JUGA: Jasa Detektif Perselingkuhan: Saat Cinta Diuji dan Pasangan Perlu Diinvestigasi

Manajer pemasaran berusia 29 tahun itu juga membeli kosmetik yang lebih murah dan tidak lagi memesan makanan yang diantar ke rumahnya "setiap hari."

Dia mengatakan tidak mau menghabiskan lebih banyak uangnya karena itu berarti dia harus bekerja tambahan.

BACA JUGA: Dubes Rosan Sambut Antusias Kunjungan Sahabat Lamanya, Xie Feng

"Kalau kita tetap menghamburkan uang, maka kita akan seperti keledai yang terus menarik gerobak," katanya.

Jia juga memutuskan untuk tidak membeli mobil atau rumah.

BACA JUGA: Airlangga dan Sekjen OECD Bahas Langkah Menjadi Negara Maju Berpendapatan Tinggi

"Saya tidak mau terbebani harus membayar cicilan rumah atau kredit mobil. Rasanya terlalu berat dan membuat stres."

Jia adalah satu dari sekian banyak konsumen di Tiongkok yang mengubah pola konsumsi mereka di saat perekonomian negeri itu masih mengalami pemulihan setelah berakhirnya pembatasan karena COVID di akhir tahun lalu.

Walau target utamanya masih menabung sehingga dia pensiun lebih dini, banyak warga Tiongkok lainnya mengurangi belanja karena kekhawatiran akan pekerjaan dan pendapatan mereka.

Lemahnya kepercayaan konsumen di Tiongkok sudah menimbulkan pembicaraan di media sosial mengenai bagaimana menghemat, dengan tagar #ConsumptionDowngrade  (Menurunkan Konsumsi) menjadi populer.

Tagar #ConsumptionDowngrade telah digunakan lebih dari 60 ribu postingan di media sosial Tiongkok Red, dan tagar lainnya #NoConsumption digunakan dalam lebih dari empat juta postingan.

Jia mengatakan kebiasaan belanja teman-temannya juga berubah drastis segera setelah pembatasan COVID dilonggarkan.

"Dampak lockdown terhadap kehidupan mereka sangat jelas," kata Jia.

Dia mengatakan mereka yang dulunya merasa tidak perlu mengurangi pengeluaran, sekarang mulai bertanya bagaimana caranya bisa berhemat.

"Teman-teman saya khawatir mereka tidak bisa melanjutkan kredit cicilan rumah," katanya.

"Mereka juga khawatir kalau diberhentikan dari pekerjaan, tidak ada perusahaan lain yang akan menawarkan pekerjaan dengan bayaran bagus."'Takut untuk belanja'

Yang, seorang perempuan warga Beijing berusia 35 tahun yang hanya mau menyebut nama keluarganya mengatakan sekarang dia hanya membeli tas dari bahan katun dan bukan lagi tas bermerek yang mahal.

Dia mengatakan juga secara drastis mengurangi pengeluaran untuk membeli kosmetik dan alat-alat kecantikan lainnya setelah suaminya kehilangan pekerjaan di bidang real estate tahun lalu.

Dalam sebuah postingan di media sosial, Yang mengatakan dia dulu biasa membeli produk perawatan kulit dari merek ternama hingga seharga 3.000 yuan (lebih dari Rp6 juta) per barang, namun sekarang ia membeli produk yang lebih murah seharga 500 yuan.

"Suami saya dan saya selalu mengatakan bahwa semua ini akan berlalu, mari bertahan dan melewati masa kelam ini." katanya kepada ABC.

"Namun tidak seorang pun tahu berapa lama saat sulit ini akan berlangsung."

Shi Heling akademisi di Fakultas Ekonomi di Monash University di Melbourne mengatakan konsumen Tiongkok saat ini "takut untuk  belanja."

"Ada ketakutan bahwa keadaan akan semakin memburuk bagi perekonomian Tiongkok," kata Shi.

"Yang pertama, warga tidak lagi memiliki banyak uang tunai saat ini."

"Kedua, tidak ada jaminan keamanan keuangan di masa depan, jadi mau bagaimana lagi. Kita hanya bisa menabung untuk diri sendiri."Pakar mengatakan Tiongkok berisiko mengalami deflasi

Keengganan membelanjakan uang mereka juga tergambar dalam statistik resmi, dan membuat para pakar memperingatkan kemungkinan Tiongkok mengalami deflasi, yakni turunnya harga barang-barang.

Indeks harga konsumen Tiongkok tidak berubah banyak sepanjang tahun sampai bulan Juni, menjadikannya yang terendah sejak Februari 2021.

Dr Shi memperkirakan Tiongkok sudah mengalami deflasi.

"Banyak barang-barang konsumen mewah harganya sudah jatuh," katanya.

Betty Wang ekonom senior di Bank Australia ANZ juga menyampaikan kekhawatiran mengenai kemungkinan deflasi di Tiongkok.

Wang mengatakan Tiongkok berisiko mengalami hal yang sama seperti yang pernah terjadi antara tahun 2012 sampai 2016.

Berbeda dengan banyak negara lain yang mengalami inflasi tinggi sehingga suku bunga dinaikkan, di Tiongkok tingkat suku bunga diturunkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.

Hal tersebut membuat warga Shanghai, David Li dan pasangannya membayar lebih cepat cicilan rumah mereka.

Pasangan ini sudah menambah pembayaran cicilan dari semula 10 ribu yuan menjadi 30 ribu yuan per bulan yang setara dengan 75 persen pendapatan mereka bersama.

Li mengatakan dia memutuskan untuk membayar lebih banyak untuk cicilan rumah daripada membeli kamera digital dan mobil.

Dan dia tidak sendirian. Data menunjukkan pembelian mobil di Tiongkok turun dalam 3 bulan pertama tahun 2023.

Li yang berusia 33 tahun dan bekerja sebagai agen penjualan rumah juga menulis lebih sering di media sosial mengenai pengalamannya dengan menggunakan tagar #ConsumptionDowngrade.

Dalam sebuah video yang diposting di Red, Li menyampaikan kekhawatirannya akan perekonomian Tiongkok, dengan mengatakan beberapa restoran dan cafe tidak jauh dari gedung perkantoran di Shanghai sekarang tutup.

"Sekarang variasi bisnis yang ada berkurang dibandingkan dulu," katanya.

"Mereka yang  masih memiliki pekerjaan bekerja lebih keras, dan takut menghabiskan uang karena mereka tidak tahu apakah mereka yang akan berhenti bekerja besok."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Isu Myanmar Jadi Agenda Pertemuan Para Menlu ASEAN dan Australia di Jakarta

Berita Terkait