Fahri Hamzah: OTT Sekarang Diganti GTT

Rabu, 28 November 2018 – 12:13 WIB
Fahri Hamzah. Foto: Humas DPR

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan, KPK bisa saja melakukan operasi tangkap tangan (OTT) setiap hari karena menduga masih banyak oknum pejabat melakukan korupsi.

Namun, karena kekurangan personel, hal itu urung dilakukan. Agus juga menyebut yang kena OTT itu sedang apes. KPK kemudian meminta pemerintah merevisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu).

BACA JUGA: Menurut Fahri Hamzah KPK Sudah Menyerah

Nah, merespons itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menilai pernyataan Agus tersebut memperkuat dugaannya bahwa lembaga antirasuah itu melakukan operasi intelijen untuk mengintip peredaran uang.

"Dan kalau dalam katagori yang lama itu terkait kerugian negara dan lain-lain sudah tidak dapat dikatagorikan ada kerugian negara," kata Fahri, Rabu (28/11).

BACA JUGA: Fahri Kritik Wacana Kemendikbud Hidupkan Kembali Mapel PMP

Namun, dia menilai hal ini sebenarnya pengalihan dari ketidakmampuan KPK dalam mengungkap kerugian negara saat pemberantasan korupsi.

Kemudian, lanjut dia, KPK mengintip motif dari orang-orang yang bisa dikatakan modusnya menerima ucapan terima kasih, gratifikasi dan sebagainya, yang biasanya kadang-kadang dilakukan setelah perkaranya selesai.

BACA JUGA: Fahri Hamzah Sebut Jokowi Belakangan Ini Jadi Sering Marah

"Yang dalam kategori itu sebenarnya perkara etik, ya, atau maksimal pidana jabatan. Sekarang itu menjadi inti persoalan korupsi yang ditangani KPK," ungkapnya.

Padahal, lanjut Fahri, inti korupsi ketika UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ini dibuat adalah fokus pada uang negara dan pengembaliannya. Namun, ujar Fahri, uang-uang yang ditunjukkan lembaga antikorupsi di depan gedung KPK saat OTT dalam bentuk USD, SGD, dan lainnya sambil menutup muka dan pakai masker, itu sebenarnya tidak ada duit negara sama sekali. "Itu bukan uang negara sebagaimana UU KPK," ungkapnya.

Jadi, Fahri berpendapat, pengalihan ini sebenarnya menyebabkan inti daripada penegakkan sistem dan pemberantasan korupsi itu telah mengalami perubahan atau terdeviasi, dan membuat penciptaan makna-makna baru yang tidak sesuai dengan kepentingan secara nasional.

"Karena tidak boleh tindakan pemberantasan korupsi atau penegakan hukum secara umum itu dicampur dengan operasi intelijen," ungkap Fahri.

Sebab, lanjut Fahri, Indonesia adalah negara demokrasi atau negara hukum demokratis. Menurut dia, kalau dalam rezim totaliter kegiatan ini dapat dilakukan. Namun, karena sistem demokrasi, maka metode pengungkapan kejahatan itu diatur dalam UU.

"KPK sendiri tidak bisa membuktikan OTT. Sekarang diganti dengan giat tangkap tangan. Jadi, kalau dulu OTT sekarang GTT," kritik Fahri.

Menurut dia, inilah sebenarnya deviasi dari makna awal yang ada di dalam KUHAP yaitu tertangkap tangan yang merupakan suatu kegiatan seketika dan spontan, tidak direncanakan. Tapi, oleh KPK justru direncanakan.

"Ketentuan dalam UU Psikotropika terkait peredaran narkoba itu dimasukkan dalam terkait peredaran uang. Efek lanjutan dari ini adalah kriminalisasi terhadap uang cash, terhadap kegiatan ekonomi, terhadap transaksi, yang pasti efek lanjutannya pasar bereaksi negatif," katanya.

Nah, kata dia, itulah yang menjelaskan sekarang ini kenapa ekonomi lesu. Sebab, orang tidak berani mengambil risiko. "Karena, memegang uang cash saja ada risikonya di Indonesia," ungkap mantan wasekjen PKS itu. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keakraban Fahri & Tompi setelah Twitwar soal Ratna Sarumpaet


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler