Fajar Sadboy & Pengemis Digital

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Kamis, 26 Januari 2023 – 19:59 WIB
Seorang ibu warga Desa Setanggor, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang mandi lumpur untuk mengisi konten live di TikTok demi menghasilkan donasi digital. Foto: TikTok/ @intan_komalasari92

jpnn.com - Pengemis bukan sekadar orang miskin yang meminta-minta uang untuk bertahan hidup. Pengemis sudah menjadi semacam pekerjaan yang sudah diindustrialisasi.

Ada jaringan yang mempekerjakan pengemis secara terkoordinasi. Dalam beberapa kasus, ada pengemis yang berhasil membeli rumah dan mobil dari hasil mengemis.

BACA JUGA: Mahfud MD Malu Jadi Orang Indonesia

Di beberapa kota, pengemis digaruk karena ada larangan mengemis di pingir jalan atau di perempatan jalan. Kegiatan itu dianggap menganggu pemandangan kota dan dikategorikan sebagai penyakit masyarakat atau pekat.

Selain pengemis, anak-anak jalanan dan pengamen yang berada di perempatan jalan juga menjadi sasaran razia.

BACA JUGA: Kesambet Sambo

Sekarang, mengamen dan mengemis bisa dilakukan melalui platform digital. Banyak pengamen digital yang sukses menjadi bintang karena lagu-lagunya digemari dan dia mendapatkan follower jutaan orang.

Para pengemis digital juga mendapatkan hasil yang lumayan besar tanpa harus berdiri di pinggir jalan seharian di bawah terik matahari dan hujan. Yang sedang viral sekarang ialah aksi mandi lumpur live di platform TikTok.

BACA JUGA: Intelektual Stempel

Nenek-nenek dengan penampilan sederhana sengaja mandi lumpur untuk menarik belas kasihan netizen. Dari hasil live show ini nenek itu memperoleh jutaan rupiah.

Dari live tersebut, mereka bisa memperoleh sejumlah koin TikTok dari viewers. Koin digital itu bisa ditukarkan ke dalam bentuk uang tunai.

Dalam satu kali live selama 30 menit, mereka bisa mengantongi Rp 2 juta. Itulah tren digitalisasi yang menciptakan hiburan dengan mengeksploitasi kemiskinan.

Ada juga hiburan digital yang mengeksploitasi kesedihan. Sekarang seorang remaja Gorontalo bernama Fajar Labatjo sangat populer dengan sebutan Fajar Sadboy.

Dia menarik perhatian jutaan penggemar karena tampil sedih dan suka menangis setiap kali berbicara. Penyebabnya ialah  dia putus cinta lalu ditinggal pergi oleh pacarnya.

Tampilan Fajar yang memelas dan selalu terlihat menangis menarik iba netizen. Namun, netizen juga terhibur oleh tampang sedih Fajar.

Eksploitasi kemiskinan dan kesedihan ini menjadi hiburan yang sekaligus menghasilkan banyak uang. Fajar Sadboy menjadi bintang televisi dan diundang untuk tampil sebagai bintang tamu oleh banyak YouTuber terkemuka.

Bukan hanya terlihat sedih, Fajar juga tampak bodoh dan sering memberikan jawaban yang tidak menyambung dengan pertanyaan. Contohnya ialah ketika ditanya mengenai siapa anak tertua di dalam keluarganya.

Fajar justru menjawab yang paling tua di ialah bapaknya. Jawaban yang terlihat bodoh itu  menjadi viral karena menghibur.

Fajar yang baru berusia 15 tahun terlihat terlalu cepat dewasa dibanding umurnya. Dia berpacaran dan putus cinta, kemudian sempat bunuh diri.

Namun, keinginan Fajar untuk bunuh diri digagalkan temannya. Sejak itu videonya viral dan Fajar mendadak terkenal.

Popularitas Fajar dan nenek mandi lumpur tidak terlepas dari pengaruh media sosial dan media massa. Fenomena ini menjadi daya tarik tersendiri bagi media.

Di era disrupsi digital ini, banyak media yang menangkap sebuah peristiwa yang berpeluang trending, lalu mereproduksi dengan kemasan tertentu untuk dikonsumsi publik.

Kemiskinan di dunia maya ternyata ada paralelnya dengan kemiskinan di dunia nyata. Sebuah laporan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercatat sebagai provinsi termiskin di Pulau Jawa.

Hal ini berdasarkan data BPS per September 2023. Angka kemiskinan Yogyakarta tercatat sebesar 11,49 persen. Persentase kemiskinan itu berada di atas rerata nasional, yaitu 9,57 persen.

Ada ironi dan anomali pada data statistik itu. Yogyakarta terkenal sebagai daerah destinasi wisata paling top di Indonesia bersama Bali.

Oleh karena itu, menjadi mengherankan jika wilayah daerah berstatus istimewa itu mempunyai orang miskin tertinggi di Jawa.

Yogyakarta juga terkenal sebagai punjer-nya Jawa, episentrum budaya Jawa karena di sana terletak kerajaan Islam Jawa yang masih tetap eksis sampai sekarang. Budaya Jawa yang submisif membuat orang Yogya bisa lebih menikmati hidup, meskipun kondisinya melarat.

Hal itu menjadi anomali sosial karena orang Yogya ternyata lebih bahagia ketimbang penduduk Jawa lainnya. Hasil survei BPS per September 2022 juga menunjukkan kesenjangan antara si kaya dan miskin di Yogyakarta makin lebar.

Kesenjangan si kaya dan miskin ini diukur oleh BPS melalui Gini Ratio. Menurut data BPS, Gini Ratio di Yogyakarta mencapai 0,459.

Gini Ratio adalah metode yang digunakan untuk melihat ketimpangan pendapatan atau pengeluaran penduduk di suatu wilayah. Range Gini Ratio berkisar antara 0 hingga 1.

Nilai rasio yang makin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang kian tinggi. Rasio Gini 0 menunjukkan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna atau setiap orang memiliki pendapatan yang sama.

Adapun Rasio Gini bernilai 1 menunjukkan ketimpangan yang sempurna atau satu orang memiliki segalanya, sementara orang-orang lainnya tidak memiliki apa-apa.

Dengan kata lain, Rasio Gini diupayakan agar mendekati 0 untuk menunjukkan adanya pemerataan distribusi pendapatan antar penduduk.

Ketimpangan sosial dan ekonomi ini menjadi fenomena lama di Indonesia. Angka-angka pertumbuhan ekonomi naik tetapi pemerataan belum terjadi.

Sekitar 10 persen orang kaya Indonesia menguasai aset dan uang sampai 80 persen. Orang kaya Indonesia menjadi super crazy rich dan orang miskin Indonesia menjadi extreme poor, melarat kuadrat, karena penghasilannya di bawah USD 2 dolar per hari sesuai standar kemiskinan internasional.

Yogyakarta adalah kota pelajar dengan banyak universitas yang menjadi jujugan para mahasiswa. Banyaknya pendatang baru menjadikan gap ekonomi yang cukup lebar.

Sekarang banyak perguruan tinggi di Yogyakarta yang memasang tarif makin tinggi. Harga tanah dan properti di Yogya sudah selevel dengan Jakarta.

Para pendatang baru memiliki kondisi ekonomi yang lebih mapan daripada rata-rata orang Yogyakarta yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Sebagian besar rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian adalah rumah tangga miskin.

Selain miskin, profil usianya juga banyak diisi oleh usia non-produktif. Ironinya ialah dalam kondisi yang miskin, masyarakat Yogya ternyata paling bahagia.

Data dari Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan hal itu. Salah satu penyebabnya adalah budaya lokal yang disebut  ’nerimo ing pandum, sak dermo ngelampahi’ atau menerima apa yang menjadi jatahnya dan menjalani apa yang harus dijalani.

Artinya, menerima kondisi apa pun yang dialaminya. Budaya ini bersifat permisif dan submisif terhadap kemiskinan, karena meyakini bahwa kemiskinan adalah pemberian Tuhan yang harus diterima dengan ikhlas.

Sisi positif dari budaya ini adalah timbulnya resiliensi atau ketabahan terhadap penderitaan karena adanya keyakinan religius. Negara-negara religius seperti India, Pakistan, atau Nepal memakai alasan religius untuk menerima kondisi yang ada.

Kebahagiaan tidak diukur dari pemenuhan kebutuhan material, tetapi lebih pada pemenuhan kebutuhan spiritual. Miskin adalah bagian dari jalan hidup yang harus dilakoni dengan dignity, kebesaran dan kehormatan jiwa.

Karena itu, mengemis adalah tindakan yang dianggap aib karena merusak kehormatan. Kemiskinan bukan untuk dipertontonkan, tetapi harus disembunyikan untuk menjaga martabat diri dan keluarga.

Dari perspektif ekonomi yang positifistik, seharusnya ada korelasi positif antara kebahagiaan dan kesejahteraan ekonomi. Seharusnya ada korelasi antara kebahagiaan dan kesuksesan.

Negara-negara paling bahagia di dunia ialah negara-negara Skandinavia. Ekonomi mereka bagus, tingkat pemerataannya juga baik, dan dari sisi pendapatan per kapita termasuk negara maju yang makmur sehingga pada akhirnya masyarakatnya paling bahagia di dunia.

Fenomena mandi lumpur di platform digital adalah produk disrupsi digital yang membawa perubahan sosial dan budaya. Mengemis dan mengeksploitasi kemiskinan bukan lagi aib, malah sebaliknya menjadi hiburan dan kegembiraan.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sipon


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler