jpnn.com - Budayawan Emha Ainun Nadjib mengaku kesambet dan meminta maaf kepada semua orang yang ‘’kecipratan’’ oleh ucapannya.
Cak Nun -panggilan kondangnya- membuat permintaan maaf itu sehari setelah video berisi ucapannya yang menyamakan Jokowi dengan Firaun serta Luhut Pandjaitan ibarat Haman vidal di media sosial.
BACA JUGA: Cak Nun dan Firaun
Video 'Firaun bernama Jokowi' itu menjadi viral. Video soal Cak Nun kesambet juga tak kalah viralnya.
Pernyataan kesambet itu diungkapkan Cak Nun dalam siniar bersama anak sulungnya, Sabrang Mowo Damar Panuluh, atau yang lebih populer sebagai Noe Letto. Dalam siniar itu, Cak Nun mengaku disidang oleh keluarga dan orang-orang dekatnya sendiri gegara ucapanya soal 'Firaun bernama Jokowi'.
BACA JUGA: Luhut dan OTT
Sontak diksi 'kesambet' menjadi populer dan dikutip banyak orang. Ribuan netizen mengutip istilah dan mengomentari istilah itu.
Berbagai konten mengenai Firaun juga bermunculan dan kembali beredar. Konten lama yang menyebut Anies Baswedan -ketika itu masih menjadi gubernur DKI- sebagai Firaun juga beredar lagi.
BACA JUGA: Polisi Seba ke Istana
Kesambet adalah istilah bahasa Jawa untuk menyebut seseorang yang terserempet kekuatan sejenis makhluk halus atau semacam roh jahat. Di pedesaan di Jawa zaman dahulu, anak-anak dilarang mendekat ke rumah seseorang yang meninggal dunia karena dikhawatirkan kesambet.
Kalau ada iring-iringan jenazah yang lewat menuju pemakaman, anak-anak diminta menjauh karena takut kesambet. Seseorang yang kesambet akan melakukan atau mengatakan sesuatu di luar kesadarannya.
Ia seolah tidak paham mengenai apa yang dikatakan atau dilakukannya. Ia melakukan perbuatan itu tanpa sadar, seperti ada kekuatan yang mengendalikannya melalui semacam remote control gaib.
Cak Nun mengaku kesambet. Ia seharusnya tidak mengatakan apa yang sudah dikatakannya.
Cak Nun sudah meminta maaf karena mengaku khilaf akibat kesambet. Pernyataan Cak Nun mendapat respons luas dari netizen.
Ada yang menganggap pernyataannya itu sudah cukup sebagai bentuk permintaan maaf. Akan tetapi ada juga yang menganggapnya belum cukup karena tidak secara eksplisit menyebut nama.
Selain kesambet ala Cak Nun, sebenarnya ada kesambet lain yang terjadi pada persidangan kasus Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang tuntutan terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudiang Lumiu menjadi perhatian publik karena dicurigai ada pihak yang kesambet.
Richard Eliezer, salah seorang ajudan Ferdy Sambo, merupakan eksekutor pembunuhan terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Dalam persidangan, Richard Eliezer menarik simpati publik karena penampilannya yang simpatik dan pernyataannya yang dianggap jujur. Eliezer sejak awal sudah mengajukan diri sebagai justice collaborator untuk mengungkap kejahatan Ferdy Sambo.
Namun, publik terkejut ketika jaksa penuntut umum menuntut Eliezer hukuman 12 tahun penjara, lebih berat dari Putri Cendrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf yang hanya dituntut 8 tahun penjara. Publik bereaksi keras dan menilai jaksa telah ‘kesambet’ dalam memutuskan kasus ini.
Adegan kesambet terlihat ketika jaksa Paris Manalu membacakan tuntutan. Ia terlihat gemetar ketika sudah mendekati saat-saat pembacaan tuntutan.
Suaranya beberapa kali tercekat, sedangkan tangannya terlihat gemetar. Jaksa Sugeng Haryadi yang berada di sampingnya juga terlihat resah dan berusaha menenangkan Paris Manalu dengan mengusap pundaknya.
Dua jaksa yang duduk di belakang Paris dan Sugeng juga mempertunjukkan gestur tidak tenang. Jaksa yang duduk di belakang Paris Manalu menundukkan kepala seperti menghindar dari kamera, sedangkan jaksa yang duduk di belakang Sugeng Haryadi beberapa kali memegang kepala.
Ketika jaksa kemudian menyebutkan tuntutan 12 tahun penjara untuk Eliezer, pengunjung mencemoohnya dengan kor "huuu". Eliezer menutup mata dan mengatupkan kedua tangannya.
Sejenak kemudian ia membuka mata dan terlihat air matanya meleleh. Pengunjung masih riuh dengan teriakan cemoohan sampai majelis hakim mengingatkan supaya tenang dan mengancam akan mengeluarkan pengunjung yang ribut.
Adegan pembacaan tuntutan oleh para jaksa itu terlihat seperti adegan kesambet. Para jaksa seolah sedang merasakan tekanan beban yang sangat berat, sehingga terjadi pertentangan batin yang hebat.
Jaksa Paris Manalu terlihat tidak bisa menahan emosinya dan bahkan hampir menangis. Hal yang sama terlihat pada jaksa lainnya.
Dramaturgi itu seperti menunjukkan bahwa para jaksa kesambet oleh kekuatan dari luar yang tidak bisa mereka tolak. Jarang sekali terlihat adegan semacam ini.
Para jaksa biasanya selalu tegar dalam membacakan tuntutan. Akan tetapi, kali ini para jaksa itu benar-benar terlihat seperti kesambet.
Publik melihat ada yang tidak beres dalam persidangan itu. Hal itu bisa dilihat dari reaksi para netizen yang membuat komentar dan postingan keras.
Ada yang menyebut sikap Eliezer yang jujur tidak dihargai oleh jaksa sehingga dituntut lebih berat dari tiga pelaku lainnya. Ada yang berkomentar bahwa di Indonesia sikap jujur tidak ada artinya. Buktinya, Eliezer yang jujur malah dituntut lebih tinggi dari kawan-kawannya.
Ada yang marah terhadap tuntutan Putri Cendrawati, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal yang dianggap bersekongkol. Tuntutan 8 tahun dianggap terlalu ringan.
Maling ayam pun dituntut 5 tahun, tetapi pembunuhan berencana terhadap ajudan sendiri dituntut 8 tahun. Nilai nyawa manusia ternyata hanya 1,5 kali ayam.
Keluarga Brigadir Yosua Hutabarat juga menyatakan kecewa terhadap tuntutan ini.
Dalam salah satu persidangan, Eliezer sempat sungkem kepada kedua orang tua Yosua dan meminta maaf. Kedua orang tua Yosua juga memaafkan Eliezer.
Publik sudah mengungkapkan kekecewaannya terhadap rasa keadilan yang terluka. Kalau persidangan ini terjadi di Amerika yang memakai sistem juri, sangat mungkin hasilnya berbeda.
Dalam sistem peradilan pidana dikenal ada juri yang diambil dari unsur orang awam di luar pengadilan. Jumlah juri ada 12 orang diambil secara acak.
Sistem juri di Amerika mengutamakan unsur sosial berdaulat dan membatasi kekuasan pemerintah. Kekuasan pemerintah tersebut dilakukan oleh penuntut umum dan hakim.
Amerika menganut adagium bahwa lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Dasar ini pula yang membuat Amerika menganut sistem juri dalam peradilan pidana.
Hingga saat ini, sistem juri masih dianut oleh Amerika Serikat dalam menghadapi peradilan pidana. Juri inilah yang memutuskan seorang terdakwa bersalah atau tidak.
Juri tidak boleh mewawancarai terdakwa, tetapi dia mendengarkan semua keterangan terdakwa, saksi, penuntut umum, maupun hakim. Pada akhirnya keputusan juri mutlak alias tidak bisa diganggu gugat.
Memang sistem juri tidak bisa seratus persen objektif. Tentu sering terjadi keputusan yang dianggap subjektif.
Namun, sistem juri bisa mengurangi peran lembaga judikatif negara dalam mengambil keputusan. Sistem juri bisa mencegah terjadinya kesambet seperti yang mungkin dialami jaksa di Indonesia.
Menko Polhukam Mahfud MD dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa ada pesanan keputusan dalam tuntutan Ferdy Sambo.
Tengara Mahfud MD itu mengindikasikan peradilan terhadap Ferdy Sambo tidak independen, dan ada pihak-pihak yang ingin mengintervensi.
Kasus Ferdy Sambo yang semula dianggap berkaitan dengan konsorsium judi dan keberadaan Satgas Merah Putih di Polri akhirnya direduksi menjadi kasus perselingkuhan di lingkungan keluarga saja.
Pengacara-pengacara Ferdy Sambo--dengan kelihaiannya mencari lubang hukum--telah menyelamatkan Putri Cendrawati dari hukuman yang lebih berat.
Apakah para penasihat hukum itu telah menegakkan keadilan?
Ada kisah yang dikutip dalam memoir mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew mengenai penegakan hukum di negerinya.
Lee mengenal seorang pengacara hebat yang selalu berhasil membela klien dalam perkara pidana, seperti pembunuhan dan korupsi. Lee bertanya kepada sang pengacara apakah advokat itu yakin telah menjalankan prinsip keadilan.
Sang pengacara menjawab bahwa dia tidak punya urusan dengan keadilan. Ia dibayar untuk menyelamatkan kliennya dari hukuman.
Kisah ini sama dengan Febri Diansyah dan pengacara keluarga Sambo. Jangan tanya soal keadilan, karena mereka dibayar (mahal) untuk menyelamatkan kliennya.(***)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Febri dan Jenang
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi