Ferdy Sambo, The Villain, & Hukuman Mati

Senin, 13 Februari 2023 – 18:52 WIB
Eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo yang menjadi terdakwa perkara pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) seusai menjalani persidangan beragendakan pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jakarta, Senin (13/2). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Fardy Sambo berdiri dari tempat duduknya ketika majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membacakan vonis untuk terdakwa perkara pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J itu.

Bekas polisi dengan pangkat terakhir irjen itu juga menjadi terdakwa perkara perintangan penyidikan (obstruction of justice) kasus pembunuhan  terhadap salah satu ajudannya.

BACA JUGA: Kesambet Sambo

Sebagai terdakwa utama, Ferdy Sambo dalam enam bulan terakhir dipotret oleh publik sebagai ‘the villain’, si penjahat yang harus bertanggung jawab terhadap konspirasi pembunuhan jahat ini.

Ferdy Sambo berdiri dari kursinya atas perintah hakim. Ketika kemudian hakim menjatuhkan vonis hukuman mati, tangan Ferdy Sambo terlihat bergetar, sedangkan matanya berkaca-kaca.

BACA JUGA: Perang Bintang

Vonis hukuman mati itu lebih berat dari tuntutan hukuman seumur hidup yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Pidana mati untuk Ferdy Sambo dianggap lebih mewakili rasa keadilan publik ketimbang hanya hukuman seumur hidup.

Dalam terminologi kriminologi, the villain adalah karakter yang diciptakan untuk menghalangi rencana dan tujuan karakter utama. Dalam aksinya, sosok villain siap membunuh dan menghancurkan siapa pun yang berniat menghalangi tujuannya.

BACA JUGA: Bola 303

Ferdy Sambo terbukti sebagai the villain dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, anak buah dan ajudannya sendiri. Ia merencanakan pembunuhan, memerintahkan penembakan, bahkan ikut menembak korban.

Kejahatan Ferdy Sambo tidak berhenti di situ. Dia juga memerintahkan anak buahnya menghilangkan barang bukti penting dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir J.

Majelis hakim pun menjatuhkan hukuman mati kepada Ferdy Sambo sebagai terdakwa dua perkara itu. Ferdy Sambo tampak bergetar. 

Hukuman mati terhadap Sambo  dianggap oleh banyak kalangan sebagai balasan yang setimpal atas kejahatan yang dirancangnya. Justice has been done, keadilan sudah ditunaikan.

Sambo menghilangkan satu nyawa dan karena itu dia harus membayar dengan nyawa. Mata dibalas mata, hidung dibalas hidung, dan nyawa dibalas nyawa. Itulah hukum yang dianggap setimpal.

Hukuman mati merupakan salah satu pidana tertua di dunia. Namun, memasuki abad ke-20, banyak negara yang memutuskan untuk menghapuskan pidana hukuman mati.

Para aktivis hak asasi manusia (HAM) internasional menganggap hukuman mati bertentangan dengan kemanusiaan. Hak untuk hidup adalah hak asasi semua orang yang tidak bisa dicabut oleh siapa pun, termasuk oleh negara.

Tentu pertanyaannya, bagaimana kalau seseorang sengaja dan berencana melakukan pelanggaran HAM dengan mencabut nyawa orang lain melalui pembunuhan? Tidakkah dia harus bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu dengan membayar nyawa?

Indonesia menjadi salah satu negara yang masih mempertahankan hukuman mati. Namun, pelaksanaan hukuman mati telah menuai pro dan kontra sejak lama.

Hukuman mati merupakan salah satu pidana pokok yang bersifat khusus dan alternatif. Hukuman mati dilakukan dengan cara menembak mati di depan regu eksekusi.

Pandangan masyarakat yang kontra dengan hukuman mati menganggap pidana tersebut tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti tertulis dalam Pancasila.

Setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, termasuk negara.

Selain itu, hukuman mati dinilai tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan, yakni untuk menghalangi orang dari perbuatan kejahatan, dan bukan balas dendam.

Hukuman mati dianggap tidak bisa menghilangkan kejahatan maupun menciptakan masyarakat yang bahagia. Faktor penentunya bukanlah berapa banyak kejahatan turun dengan adanya hukuman mati, melainkan bagaimana keadilan tetap ada dan dirasakan para korban kejahatan.

Namun, masyarakat yang setuju dengan hukuman mati menganggap pidana itu pantas dijatuhkan kepada penjahat yang sadis. Alasannya ialah jika tidak tidak ada pidana mati, kejahatan penjahat sadis akan berulang.

Hukuman ini dinilai sesuai dengan tujuan hukum pidana pada umumnya, yaitu mencegah terjadinya kejahatan dan melindungi kepentingan perorangan. Pidana mati dianggap dapat menimbulkan efek jera bagi masyarakat.

Hukuman mati menjadi pengecualian terhadap hak untuk hidup yang masih diakui di banyak negara. Hukuman ini menjadi sanksi paling berat bagi pelaku kejahatan yang secara berat melanggar hak asasi manusia orang lain.

Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain. Selain itu, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada undang-undang agar tidak melanggar hak dan kebebasan orang lain.

Dengan cara ini, hukuman mati dapat menciptakan rasa hormat dan penghargaan terhadap hak asasi manusia orang lain.

Hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak mengalami perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Hak tersebut dilindungi dalam Deklarasi Universal HAM, instrumen HAM lainnya, dan banyak konstitusi nasional di seluruh dunia, termasuk konstitusi Indonesia.

Hukuman mati bisa diselewengkan karena beberapa hal. Misalnya, sejak 1973, lebih dari 160 narapidana yang dijatuhi hukuman mati di Amerika Serikat, dibebaskan karena terbukti tidak bersalah atau vonis pengadilan terbukti tidak proporsional dengan kejahatan mereka.

Hukuman mati lebih mudah dijatuhkan kepada orang-orang yang termarjinalkan. Mereka yang termarginalkan secara sosial dan ekonomi bisa lebih sulit mengakses bantuan hukum.

Mereka yang bisa menyewa penasihat hukum mahal punya kesempatan lebih besar untuk lolos dari hukuman mati. Hukuman mati sering digunakan dalam sistem peradilan yang tidak adil.

Dalam banyak kasus yang dicatat Amnesti International, orang-orang dieksekusi setelah dihukum dalam persidangan yang sangat tidak adil, atas dasar bukti tidak benar yang didapat dari hasil penyiksaan dan dengan pendampingan hukum yang tidak memadai.

Negara-negara yang menerapkan hukuman mati meyakini pidana mati adalah cara terakhir untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Tujuannya adalah menciptakan efek jera untuk mengurangi kejahatan.

Para pengkritik hukuman mati berpendapat bahwa hukuman mati sering digunakan sebagai alat politik. Beberapa negara yang tidak demokratis menggunakan hukuman mati untuk menghukum lawan politik.

Lawan-lawan politik itu bisa saja dijebak dengan berbagai tuduhan palsu dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Terlepas dari kontroversi itu, sekarang masih sangat banyak negara yang menerapkan hukuman mati.

Amerika Serikat adalah salah satunya. Hukuman mati tetap dianggap sebagai faktor yang membuat orang berpikir untuk berbuat kejahatan.

Kasus Ferdy Sambo menjadi perkara ‘high profile’ yang melibatkan polisi. Ia jenderal berbintang dua yang memimpin Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) yang menjadi penjaga wibawa dan muruah kepolisian.

Namun, Ferdy Sambo malah melakukan kejahatan di lingkungan dinasnya sendiri. Ferdy Sambo dan melakukan kejahatan terhadap anak buahnya sendiri.

Hukuman mati tidak menguak keseluruhan kasus Sambo. Kiprah Satgassus Merah Putih yang misterius, tuduhan keterlibatan jaringan perjudian beromset ratusan triliun, tidak terungkap sedikit pun dalam persidangan.

Menghukum mati Ferdy Sambo the Villain membuat banyak pihak lega. Tetapi, tampaknya, akan banyak hal rahasia yang terkubur dan tetap menjadi misteri bersama kematian Ferdy Sambo.(***)
?

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ismail Bolong


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler