MUHAMMAD Nazarudin tiba-tiba dimusuhi dan dihujatNyaris tidak ada lagi teman separtainya yang berempati, apalagi membelanya
BACA JUGA: Takdir Politik Era Reformasi
Dia telah menjadi “musuh bersama” Partai DemokratArus balik berputar 180 derajat setelah mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat itu melemparkan isu bahwa beberapa orang tokoh Demokrat menerima duit proyek yang menyangkut Wisma Atlet Sea Games
BACA JUGA: Duka Lara Negeri Lautan
GegerLogikanya, babak berikutnya, Nazaruddin akan nekad pulang ke Indonesia, menyerahkan diri kepada KPK dan membeberkan bukti dan fakta bahwa apa yang dilontarkannya di Singapura bukanlah pepesan kosong
BACA JUGA: Win-Win ala Jepang
Tapi bukti nyataArtinya, daripada sendirian menangung tuduhan korupsi dalam kasus Wisma Atlet Sea Games, sekalian saja orang-orang terlibat ikut berlumuran dengan tuduhan menerima suap alias korupsi.Anehnya, logika itulah yang tidak terjadi. Bahkan, Nazarudddin, menurut Kementerian Luar Negeri Australia, justru sudah tak berada lagi di SingapuraRumors mengatakan ia pernah terlihat di Malaysia dan Viet NamAda yang menyebut di Filipina dan Pakistan.
Mengapa Nazaruddin tak berani pulang ke Indonesia? Apakah “nyanyian”-nya selama ini omong-kosong belaka? Artinya, nasib buruk akan menderanyaSelain memikul nasib sendiri, dia juga pasti akan didepak dari Partai Demokrat, termasuk sebagai anggota DPR RI.
Namun semua itu masih rentetan pertanyaan yang belum terbuktiPadahal, pertanyaan lain bisa munculBenarkah ia minggat dari Singapura? Atau tidak mungkinkah dia “diculik” oleh sejenis detektif James Bond ala 007 dari dunia fiksi agar eksistensi dan cerita tentang Nazaruddin lenyap ditelan bumi? Who knows!
Apalagi sejak awal kisah Nazaruddin memang mirip fiksiMeskipun pendatang baru, tiba-tiba saja ia masuk ke jajaran pengurus DPP Partai DemokratSebelumnya dia pernah mencoba berkiprah di PPP, tapi karena gagal terpilih sebagai anggota DPR, lalu bak “kutu loncat” melompat ke Demokrat dalam usia muda, 32 tahun.
***
Saya teringat naskah dan lakon drama “Gerr” karya Putu Wijaya, yang semoga tak mirip NazaruddinTokoh ceritanya, Bima tiba-tiba matiSeluruh keluarganya berkabungAyah, ibu, istri, anak, saudara, tetangga, teman dan tamu menangisSemuanya tak sudi jika Bima harus dikuburkanTapi bagaimana lagi, orang mati, ya, harus dikuburkan. Persiapan penguburan pun dimulai.
Saat menonton lakon ini di Jakarta pada 1996 silam di Gedung Kesenian Jakarta, saya ingat seorang nenek tua tampil meratap berkepanjanganDia berkeluh-kesah kepada Tuhan, mengapa Bima yang baik hati dicabut nyawanya. “Barangkali salah panggil ya,” pekik si nenek“Soalnya, satu gerombolan di sini sampai copot matanya karena menangis,” kata si nenek
Eh, tiba-tiba terjadi kejutanJasad almarhum Bima menggeliat Bima yang tersentak dari tidur tercengang Mendadak sontak kedua penggali kubur memeluk peti Bima mengetuk-ngetuk dari dalam petiDia tolakkan tutup peti dan dia pun tegak berdiri.
Orang-orang masih tidak percaya bahwa Bima telah hidup lagiMereka menyangka bahwa itu bukanlah Bima melainkan roh jahat yang masuk ke dalam tubuh BimaBahkan anak dan istri Bima tak percaya yang mereka cintai hidup lagiBima jengkel tak kepalang karena ada sahabatnya, Koko, yang ternyata mencintai bininyaBima merasa dikhianati.
Bima makin kaget karena ternyata seluruh hartanya telah dibagi habis oleh anak-istri dan sanak saudaranyaBima telah sadar bahwa orang-orang terdekatnya tidak sepenuh hati mencintai BimaMereka hanya pura-pura saja.
Namanya karya fiksi, entah dari mana datangnya sejumlah mumi muncul mendekati peti mati Bima. Para penggali kubur berniat menggantikan Bima dengan si mumi ke dalam peti matiDan sukses.
Bagaimana dengan Bima? Penggali kubur menyarankannya mengganti nama sajaDari pada dimusuhi orang sekampungBaju juga harus digantiSeluruh identitas Bima harus diubah total.
***
Meskipun saya sangat dipengaruhi lakon “Gerr” dari Putu Wijaya itu, tapi saya tetap berharap Nazaruddin, cepat atau lambat berhasil ditangkap penegak hukum. Tak enak melihat kisah nyata bagaikan fiksi, walau memang banyak peristiwa nyata di negeri ini yang lebih fiksi dari fiksi.
Saya khawatir teman-teman penulis fiksi akan mendapat kompetitor yang ulung yang datang dari jagat politik IndonesiaSyahdan, para pelawak sudah harap-harap cemas karena sedemikian banyaknya yang lucu di panggung politik negeri ini
Masih susah membayangkan akhir perjalanan NazaruddinSyarat paling utama, saya kira ending-nya harus logisJika tidak, publik bisa ribut lagiSayang, kisah Nazaruddin berada di wilayah realitasJika di dunia fiksi, kita bisa minta tolong Mas Putu untuk mencarikan ending yang bagusTabik! (***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Reshuffle itu Percuma
Redaktur : Tim Redaksi