Takdir Politik Era Reformasi

Selasa, 05 Juli 2011 – 00:05 WIB

SEKIRANYA Presiden SBY seberani Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, apakah kepuasan public terhadap pemerintahannya menguat? Gus Dur berani mencopot Wiranto, bahkan melambungkan wacana Dekrit Presiden, membubarkan DPR seperti pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno pada 1959Tetapi sejarah membuktikan, Gus Dur malah dijatuhkan, dan kekuasaan Soekarno secara perlahan menyusut, dan jatuh di awal Orde Baru.

Unik

BACA JUGA: Duka Lara Negeri Lautan

Walau PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang pada 2009 mengusung Gus Dur hanyalah partai minoritas dalam Pemilu 1999, tetapi Gus Dur berlakon seakan-akan bagai kekuatan mayoritas
Tak ayal, kekuatan partai politik di parlemen bersatu sehingga Gus Dur jatuh.

Boleh jadi inilah yang disadari SBY

BACA JUGA: Win-Win ala Jepang

Toh, Partai Demokrat bukanlah single majority di parlemen, meskipun meraih suara terbanyak dalam Pemilu 2009, bahkan dipilih oleh lebih 60% pemilih dalam Pemilihan Presiden
Dukungan partai koalisi juga tak menjanjikan dan tak bisa menjamin yang terbukti dalam hasil angket Bank Century.

Benar bahwa SBY memimpin cabinet presidensial, namun dalam praktek kekuatan partai politik di parlemen sangat banyak menentukan berbagai kebijakan pemerintah

BACA JUGA: Reshuffle itu Percuma

SBY tak nekad berjalan sendirian, karena sangat potensial menuai perlawanan di DPR.

SBY tak sepadan dibandingkan dengan “the Strong Man” Soeharto yang boleh dikata menguasai cabinet, parlemen (karena Golkar adalah single majority)Bahkan Soeharto juga didukung oleh institusi dan lembaga birokrasi pemerintahan  dan kekuatan ABRI (TNI-POLRI) yang terkenal dengan istilah ABG (ABRI- Birokrasi dan Golkar) yang dikukuhkan pula oleh UU, meskipun bertentangan dengan UUD 1945.

Tak mengherankan jika rezim Soeharto  bisa berkuasa 32 tahun, selalu terpilih saban Pemilu karena tanpa rival, dan seluruh programnya berjalan mulus.  Kekuatan politik yang berani membangkang sudah pasti dengan mudah dibungkam, sehingga sampai ada istilah “jika Soeharto mendehem saja, Indonesia aman” walau sebenarnya  semu.

Barangkali, memang sudah “takdir politik” SBY tampil di era yang berbeda dengan Soeharto.  SBY hadir setelah reformasi melindas semua yang berbau monolit, ketika eksekutif sangat  strong, dan sebaliknya legislative hanya sekedar tukang stempel.

Ketika system multipartai mengemuka sejak 1999, tak ada lagi single majority yang mengharuskan adanya koalisi yang ujung-ujungnya, who gets whatMeski menganut cabinet presidensial, tak dinafikan bahwa kekuatan koalisi baik di eksekutif dan legislatif  sangat dipertimbangkan SBY dalam mengambil keputusan strategis.

Karena itu, jika kita mau jujur, maka ketidakpuasan public terhadap pemerintahan SBY adalah “kesalahan kolektif” partai koalisi pendukung SBY baik di eksekutif maupun legislativeSekiranya pun ada “operator politik” yang kuat, saya kita tidak akan berdaya menghadapi kekuatan koalisi yang sesungguhnya tidak solit, tetapi selalu jalan sendiri jika sudah menyangkut kepentingan politik yang berbeda.

Harapan bahwa  SBY harus mengeluarkan kebijakan yang bersifat big bang, kebijakan yang besar yang memiliki success story yang baru, juga akan tersandera oleh berbagai kasus yang sesunggunya juga membelit sesama partai koalisi, seperti dilansir oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.

Lalu, apa solusinya? Saya kita kalangan civil society harus menekan partai koalisi pendukung pemerintahan agar  segera mendorong SBY melakukan apa yang disebut dengan kebijakan big bangBila perlu disertai ancaman tidak akan memilih partai-partai tersebut dalam Pemilu 2014Tentu saja dengan kampanye besar-besaran terhadap masyarakat.

People power harus dibangkitkan agar mereka tersentak bahwa rakyat adalah “pangeran demokrasi” yang memberi mereka “pedang kekuasaan.”  Ketika “pedang kekuasaan” tak digunakan semestinya, maka anugerah itu harus dicabut, dan hanya diberikan kepada partai yang tahu diri asal muasalnya yang tak akan pernah ada jika tanpa rakyat.

Saya kira waktu tersisa sekitar tiga tahun lagi masih memadai untuk mengubah paradigma dan orientasi partai koalisi agar kembali ke jalan yang benarRepotnya, kadang kekuatan civil society pun tidak kompak sehingga daya bargainingnya hanya sekedar “badai dalam gelas” yang kemudian berlalu.

Jangan-jangan kekuatan civil society yang kerap muncul di media pun sangat elitisTidak punya akar yang kuat di masyarakat sehingga hanya sekedar penghias berita di media cetak dan elektronikAkibatnya, berbagai kritik yang muncul pun hanya sekedar kanalisasi atau ketakpuasan, tetapi telah terlampiaskan secara psikologis-sosiologisSeperti biasa, selesailah sudah, meski tak jelas apanya yang selesai.

Pessimistis? Boleh jadiJika meminjam Karl Marx toh Anda tak bisa merekayasa masa depan seenak jidat AndaSelalu kehendak besar harus disertai proses pendukung, baik vertical dan horisontal yang memang merupakan tuntutan zaman sehingga ketika ia berang maka muncullah air bah yang tak bisa dihempang.  

Faktor itulah yang tidak ada sekarangYang ada malah saling memprotek, walaupun sesekali diwarnai “kegenitan” maneuver politik yang akibatnya relative kecil dan tak mengubah keadaan.

Barangkali, keadaan bangsa ini akan begini-begini saja hingga Pemilu 2014Tragisnya, calon pemimpin yang ideal pun rasanya tidak kelihatan, apalagi calon presiden independent belum dimungkinkan oleh Undang-UndangSo what?

Tampaknya bangsa ini harus bersabarKita masih butuh 2 atau 3 kali Pemilu lagi yang memungkinkan partai politik semakin terkonsolidasi, tentu saja dengan kaderisasi yang matang menuju kristalisasi politik yang didambakan masyarakat.

He-he, saya kira inilah “takdir politik” sebuah bangsa yang baru 13 tahun melakukan reformasi, dengan lima masa kepresidenan, yang masih terlalu singkat untuk mengharapkan perubahan besar.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Killing Me Softly, pak SBY


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler