Firaun Versi Tiktoker Syarifah Alkaff

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 06 Juni 2023 – 20:10 WIB
TikTok. Ilustrasi/foto: ANTARA/Arindra Meodia

jpnn.com - Setelah heboh oleh kritik TikToker muda Bima Yudho Saputro, jagat maya Indonesia kini diramaikan oleh TikToker belia Syarifah Fadhiah Alkaff.

Syarifah yang masih duduk di bangku SMP mengkritik jalan rusak di sekitar rumah neneknya di wilayah Kota Jambi. Sebelumnya, Bima juga membuat heboh ketika mengunggah konten tentang Kritiknya atas jalanan yang hancur di Provinsi Lampung.

BACA JUGA: Provinsi Dajal

Unggahan Bima membuat Gubernur Lampung Arinal Djunaidi panas kuping dan melaporkannya ke polisi. Bima yang sekarang menjadi mahasiswa di Australia mengatakan bahwa pembangunan di Lampung mandek tanpa perkembangan, proyek besar mangkrak, dan jalan provinsi lebih mirip kubangan kerbau.

Unggahan itu menasional. Bima dilaporkan ke polisi, tetapi Arinal yang menjadi sasaran perundungan oleh warganet di Indonesia. Ujung-ujungnya ialah laporan dicabut dan Bima tidak jadi dipolisikan.

BACA JUGA: Makelar Perdamaian ala Prabowo

Kasus itu juga langsung menjadi arena panjat sosial alias pansos. Tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi langsung turun tangan meninjau kondisi jalan-jalan yang disebut mirip kubangan kerbau di Lampung.

Video yang menggambarkan Jokowi naik mobil kepresidenan di tengah jalan penuh liang lumpur juga langsung viral. Jokowi datang sebagai menjadi penyelesai masalah dengan mengirimkan dana APBN untuk membangun jalan kubangan kerbau itu.

BACA JUGA: Labuan Bajo dan Pribumi Malas

Kali ini Syarifah muncul dengan masalah serupa. Dia masih anak SMP, tetapi konten unggahannya lebih berani ketimbang Bima.

Syarifah yang sangat marah melihat jalanan kota yang rusak parah sampai menyebut kata ‘Firaun’ dan ‘iblis’.

Mungkin Syarifah terinspirasi oleh video Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun yang menyebut pimpinan rezim Indonesia sekarang ini sebagai Firaun. Mungkin Syarifah sudah tidak bisa lagi mengendalikan emosinya sampai melontarkan kata ’iblis’.

Beberapa waktu yang lalu Cak Nun membuat heboh karena menyebut Jokowi sebagai Firaun, dan para pembantunya sebagai Karun dan Haman.

Video ini viral dan mendapat respons luas. Cak Nun yang merasa tidak nyaman kemudian meralat unggahannya dan mengaku bahwa dirinya ‘kesambet’.

Beda nasib Cak Nun, beda nasib Syarifah. Cak Nun tidak dipolisikan, sedangkan Syarifah dilaporkan ke polisi dengan pasal ujaran kebencian.

Ada juga yang melaporkan Cak Nun ke polisi, tapi laporannya tidak berlanjut.

Nasib Syarifah tidak semujur itu. Dia dilaporkan ke polisi dan menjadi sasaran perundungan oleh influencer lokal.

Bukan hanya diserang unggahannya, Syarifah juga diserang secara pribadi dan disebut sebagai wanita penghibur.

Syarifah adalah siswi SMPN 1 Kota Jambi. Dia mengritik kebijakan Wali Kota Jambi Syarif Pasha yang dianggapnya melakukan kongkalikong dengan perusahaan Tiongkok kontraktor proyek PLTU di Jambi.

Syarifah marah karena rumah neneknya menjadi korban kendaraan proyek bertonase besar. Kendaraan besar itu tidak hanya merusak jalanan di sekitar rumah neneknya, tetapi juga berpengaruh pada sumur keluarga yang menjadi andalan untuk memperoleh sumber air bersih.

Kerusakan jalan terjadi karena Pemkot Jambi mengizinkan truk bertonase 20 ton lebih melewati jalan lorong warga. Padahal, jalan tersebut hanya diperuntukan bagi mobil berbobot 5 ton.

Selain itu, ia juga mengkritik perusahaan yang semestinya menjadi pembangkit listrik tenaga uap, tetapi malah menjadi perusahaan kayu hutan.

Syarifah mengingatkan bahwa neneknya adalah  veteran pejuang yang pernah berjuang sebagai perawat di garis depan dalam perang kemerdekaan. Menurut Syarifah, neneknya dengan jasa perjuangan semacam itu seharusnya memperoleh perlakuan yang layak dari Pemkot Jambi.

Alih-alih memperoleh apresiasi, Syarifah malah dilaporkan ke Polda Jambi. Dia dipanggil dan diinterograsi.

Syarifah sudah melaporkan akun influencer lokal yang membuat konten pelecehan seksual terhadapnya. Namun, dia malah menjadi terperiksa untuk kasus ujaran kebencian.

Wajah demokrasi Indonesia belakangan ini berubah total dengan media sosial. Demokrasi adalah wahana bagi warga negara (citizen) untuk menyuarakan haknya melalui ruang publik.

Pada demokrasi konvensional, ruang publik atau public sphere sering kali terbatas atau hanya dikuasai oleh elite tertentu dan demi kepentingan tertentu.

Surat kabar adalah ruang publik, demikian pula radio dan televisi yang seharusnya menjadi ruang publik yang bebas diakses oleh citizen. Akan tetapi, dalam praktiknya, ruang publik itu sudah terkooptasi oleh kekuasaan dan menjadi korban hegemoni penguasa.

Penguasa bukan hanya pemerintah, melainkan juga pemasang iklan, kelompok elite politik, dan pemilik media yang tidak membiarkan publik mengakses media menjadi ruang terbuka.

Di sinilah media sosial menawarkan revolusi. Public sphere menjadi ruang yang betul-betul terbuka bebas yang bisa diakses siapa saja.

Pemerintah tidak bisa lagi memonopoli kebenaran seperti pada era kejayaan media konvensional. Pemerintah harus bertarung di ruang publik itu untuk mempertahankan kebijakannya yang ditantang atau ditentang para warga negara.

Sekarang pemerintah terlihat kewalahan menghadapi era baru demokrasi para netizen itu. Banyak yang panas kuping dan main kuasa dengan melaporkan ke polisi.

Kasus Bima Yudho di lampung adalah contohnya. Sekarang kasus yang sama menimpa Syarifah.

Alih-alih memeriksa kebenaran informasi mengenai kerusakan jalan dan lingkungan, penguasa lebih suka memberangus kritik dengan melaporkan ke polisi. Yang dilakukan oleh penguasa adalah ‘kill the messenger’ atau membunuh si pengirim pesan, bukan meneliti pesan yang disampaikan si messenger.

Syarifah didesak untuk meminta maaf. Dia tidak punya pilihan lain kecuali meminta maaf karena ada ancaman pidana melalui UU ITE.

Esensi kritiknya mengenai pelanggaran kebijakan yang dilakukan wali kota Jambi jadi terlupakan.

Seperti biasanya, kasus yang viral semacam ini langsung direspons oleh elite politik. Kali ini Menko Polhukam Mahfud MD yang bereaksi terhadap kasus Syarifah.

Mahfud mengatakan akan mengawal kasus Syarifah supaya tidak terjadi kriminalisasi.

Sama dengan kasus Bima Yudho, ending kasus Syarifah ini bisa gampang diduga. Syarifah meminta maaf kepada wali kota dan kasus dianggap selesai.

Atau, mungkin Presiden Jokowi akan turun tangan lagi menyelesaikan kerusakan jalan di Jambi sebagaimana yang dilakukannya di Lampung.

Jokowi turun tangan dan semua masalah selesai. Tingkat kepuasan rakyat terhadap kinerja Jokowi akan semakin tinggi.

Firaun besar dan Firaun kecil pun terlupakan. Terima kasih, Syarifah.(**)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi, Memang Sakti atau Bebek Lumpuh?


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler