jpnn.com - JPNN.com - Gangguan tidur atau insomnia bisa dialami oleh siapa pun. Tapi, menurut penelitian, kaum usia lanjut atau lansia yang mayoritas menjadi penderita insomnia kronik.
Maka, tak perlu segan berkonsultasi segera ke psikiater. Temukan penyebab utama kemudian Anda bisa kembali tidur nyenyak.
BACA JUGA: Anggun, Cantik Natural ala Putri Dongeng
Phaksy Sukowati - Wartawan Radar Surabaya
Ada dua jenis penyebab insomnia, yakni penyebab primer dan sekunder. Sedangkan bagi para lansia, insomnia lebih banyak terjadi karena penyebab sekunder.
BACA JUGA: Bagaimana Hukum Menikah yang Diketahui Sudah Beristri?
Yakni gangguan tidur yang disebabkan adanya pengaruh kesehatan tertentu, seperti asma, flu, depresi atau pengaruh pengobatan yang dilakukan.
Pada istilah lain ada underlying disease atau penyakit yang mendasari timbulnya gangguan tidur tersebut.
BACA JUGA: Status Galau di Facebook Rentan Jadi Sasaran Empuk
Psikiater Rumah Sakit (RS) Adi Husada Undaan Wetan Surabaya, dr. Fenny Anggrajani, Sp.KJ mengungkapkan bahwa menurut penelitian sebanyak 10-20 persen orang dalam periode hidupnya pernah mengalami insomnia kronis.
“Nah, bila mereka dikumpulkan seluruhnya gitu, 30-50 persen dari mereka insomnia disebabkan adanya underlying disease, seperti gangguan mood dan depresi. Lebih sering terjadi pada lansia dan kaum hawa,” papar dr. Fenny.
Maka, tak heran pada manusia berusia lanjut sering ditemui kondisi yang mendorong timbulnya gangguan tidur.
Banyak terjadinya perubahan dalam hidup di antaranya, seperti pola tidur yang berubah, pensiun sehingga tak banyak aktivitas yang dilakukan, psikis kehilangan pasangan hidup atau teman, munculnya illness (penyakit degeneratif), serta pengaruh dan efek samping obat yang dikonsumsi.
“Beberapa faktor di atas tak dapat dipungkiri bagi seseorang yang memasuki usia lanjut,” ujar Fenny.
Maka, dokter alumnus Universitas Brawijaya itu menyarankan bagi lansia penderita insomnia untuk berkonsultasi dan menemukan penyebab utamanya dari gangguan tidur.
“Kini semakin banyak pasien yang mengkonsultasikan dirinya. Dan mereka pasti tidak akan tahan dengan kondisi demikian, paling tidak seseorang hanya bertahan satu bulan. Bayangkan dalam 24 jam hanya bisa tidur 1-2 jam saja. Tentu efeknya sangat merugikan,” terang Fenny.
Menurutnya, pasien bisa datang ke Poli Psikiatri. Penanganan akan dilakukan secara komprehensif. Si pasien akan dievaluasi secara mendalam guna menemukan penyebab sekunder ataupun primer.
“Kita evaluasi dan kita cari benerbener. Ada gak underlying diseasenya. Kalau ada gangguan depresi, kita tangani depresinya sampai sembuh. Kalau itu sembuh gangguan tidur akan berkurang. Sambil kita bantu terapkan sleep hygiene,” terang Fenny.
Lalu Fenny menceritakan salah satu pasiennya. Si pasien yang sudah insomnia kronik memeriksakan dirinya.
Ternyata ditemukan penyebabnya ialah adanya depresi setelah hampir seluruh keluarganya meninggal dalam sebuah tragedi pesawat terbang. Setelah ditangani, pasien dapat tidur berangsur normal.
“Pasien ini hanya bisa tidur 1 jam setiap malam. Setelah kami bantu cari penyebabnya, ternyata ada gangguan psikis karena kehilangan anggota keluarganya. Maka kita bantu sembuhkan depresinya itu," katanya.
Bila ada gangguan psikis tertentu, seperti depresi, bipolar atau lainnya, pengobatan rata-rata dijalani selama enam bulan.
Selain itu, bila underlying disease disebabkan karena penyakit tertentu (pilek, flu, darah tinggi dan lain-lain), dokter bisa mengambil tindakan dengan mengganti obatobatan yang sedang dikonsumsi dengan obat lain yang tidak sensitif memicu gangguan tidur.
Fenny sendiri menyebutkan obatobatan yang dapat menimbulkan insomnia, di antaranya yakni anti depresan, steroid, obat pilek, obat alergi, obat kolesterol, glukosamin, dan anti demensia (obat anti pikun).
“Kita tidak akan buru-buru memberikan sleeping pills (obat tidur) kepada penderita. Kalau ada obat pengganti yang tak menimbulkan gangguan tidur maka dapat kita gantikan jenis obatnya,” ujarnya.
Selama penanganan di psikiatri, pasien juga dibantu untuk menghindari dan menangani stres. Yakni, pasien dibantu secara mekanisme dari diri sendiri dengan merubah mindset atau pola pikir yang menghindari stres.
“Sehingga ketika pasien konsultasi, bila mereka depresi kita beri anti depresi. Kita juga akan berikan terapi kognitif untuk mengantisipasi stress,” ujar Fenny.
(opi/JPNN)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 3 Kelainan Diderita Bayi Jumani
Redaktur : Tim Redaksi