jpnn.com - JAKARTA - Wakil Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi secara otomatis akan mengendalikan pemerintahan di Sumut, setelah Gubernur Gatot Pujo Nugroho ditahan KPK, sebagai tersangka kasus suap hakim PTUN Medan, Senin (3/8) malam.
Ketua DPD Nasdem Sumut itu naik posisi sebagai Pelaksana Tugas (plt) gubernur Sumut, tanpa harus menunggu Gatot diberhentikan sementara tatkala statusnya nanti menjadi terdakwa.
BACA JUGA: Innalillahi, Siswa SMP Tewas Dikeroyok Senior saat Kegiatan MOS
Dengan demikian, Erry akan memimpin Sumut hingga ada putusan berkekuatan hukum tetap atas kasus yang dihadapi Gatot.
Aturan itu secara tegas tercantum di pasal 65 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemda.
BACA JUGA: 2 Kejutan Din saat Berpidato di Hadapan Jokowi dan Muktamirin
Pasal 65 ayat (3) UU 23 Tahun 2014 itu menyatakan, "Kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)."
Selanjutnya di pasal 65 ayat (4) dinyatakan, "Dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau berhalangan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah."
BACA JUGA: Lima Tahun Pimpin NU, Kiai Said Tinggalkan Saldo Rp 2,23 Miliar
Kemarin malam, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, langsung merespon penahanan Gatot. Dia pastikan, pihaknya akan secepatnya menerbitkan SK penunjukan Tengku Erry sebagai Plt Gubernur, tanpa perlu menunggu pemberitahuan dari KPK.
"Nanti secepatnya langsung tunjuk wagub sebagai plt gubernur," kata Tjahjo menjawab pertanyaan JPNN.
Nah, rupanya, Tjahjo juga kecewa dengan sikap Gatot. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, kata menteri asal PDIP itu, Gatot tidak pernah berkomunikasi dengan kemendagri.
"Setelah ditahan, yang bersangkutan tidak bisa teken-teken surat lagi," imbuhnya.
Namun, untuk pemberhentian sementara, masih harus menunggu status Gatot sebagai terdakwa.
Aturan anyar yang berbeda dengan ketentuan di UU pemda sebelumnya, yakni UU Nomor 32 Tahun 2014, ini, sudah diterapkan di beberapa daerah, yang kepala daerahnya ditahan saat berstatus tersangka.
Untuk level gubernur, sudah diterapkan dalam kasus Gubernur Riau Annas Maamun yang ditahan dalam kasus dugaan suap. Kewenangan politikus asal Golkar itu langsung dipreteli dan secara resmi telah diserahkan ke Wagub Riau.
Contoh lain, kasus Tapanuli Tengah, dimana Wakil Bupati Tapteng Sukran Jamilan Tanjung langsung memimpin roda pemerintahan di Tapteng sebagai pelaksana tugas (Plt) bupati, begitu Bupati Bonaran Situmeang ditahan oleh KPK, 6 Oktober 2014.
Dalam aturan sebelumnya, dimana kepala daerah yang ditahan masih punya kewenangan menjalankan tugas, muncul ketidakefektifan roda pemerintahan.
Dalam beberapa kasus, ruang tahanan menjadi mirip kantor lantaran para pejabat pemda terkait mondar-mandir ke ruang tahanan menemui kepala daerah untuk urusan dinas.
Dari dalam jeruji tahanan pula, berkas-berkas penting diteken kepala daerah. Pemborosan juga muncul, dimana para pimpinan SKPD dan pejabat teras lainnya, harus mondar-mandir ke Jakarta, jika kepala daerah ditahan di ibukota.
Catatan JPNN, saat Abdillah yang ketika itu masih walikota Medan dititipkan KPK ke tahanan Polda Metro Jaya dalam kasus korupsi pengadaan damkar dan APBD, hampir setiap hari para pejabat Pemko Medan datang untuk urusan dinas. Ruang tahanan Abdillah pun ada tumpukan berkas urusan pekerjaan sebagai walikota. (sam/ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jalani 11 Jam Pemeriksaan, Gubernur Bengkulu Disodori 80 Pertanyaan
Redaktur : Tim Redaksi