Gaya Hidup 'Hedon' Penyebab Menjamurnya Jaksa Hitam

Kamis, 08 Desember 2016 – 07:26 WIB
Ahmad Fauzi, jaksa penyidik di Bidang Pidana Khusus Kejati Jatim ditangkap usai melakukan pemerasan terkait dengan perkar korupsi yang diusutnya. Dari tangannya, petugas menyita barang bukti berupa satu buah koper berisi uang tunai sebesar Rp 1,5 miliar. Foto: dok jpnn

jpnn.com - JAKARTA – Pemberian remunerasi untuk Kejaksaan Agung ternyata tak serta-merta membuat seluruh personel Korps Adhyaksa itu berintegritas dan jadi abdi negara yang bisa diandalkan. 

Sebab, dari tahun ke tahun selalu saja ada jaksa hitam yang dipecat lantaran pengawasan melekat memang masih lemah. 

BACA JUGA: Omongan Jaksa Agung soal Ahok jadi Sorotan

Berdasarkan catatat tahun ini, sudah lima oknum nakal yang terpergok menerima suap saat sedang menangani perkara. 

Dari jumlah tersebut, tiga oknum jaksa terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Sedangkan sisanya, terkena OTT tim sapu bersih pungutan liar (Saber Pungli).

BACA JUGA: Cek Kalendermu! Ini Daftar Libur Nasional dan Cuti Bersama 2017

Menurut Boyamin Saiman, dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), maraknya oknum jaksa terkena OTT menjadi bukti Jaksa Agung M Prasetyo gagal memimpin. 

”Sudah cukup alasan untuk Presiden Jokowi menggantikan posisi Jaksa Agung dengan sosok baru yang lebih kredibel dan berintegritas. Sebab, Prasetyo belum mampu merubah mental jaksa jadi lebih baik, tidak korup,” tegas Boyamin saat dihubungi INDOPOS, Rabu (7/12).

BACA JUGA: Usul Sidang Ahok di Denpasar, Papua, atau NTT

Boyamin meyakini, OTT yang dilakukan KPK dan Tim Saber Pungli semata-mata untuk menegakkan hukum, bukan untuk kepentingan tertentu. 

Oleh karenanya, OTT tersebut adalah bukti nyata bahwa jaksa yang terjerat memang melakukan penyimpangan dalam menangani perkara.

Adapun, kata Boyamin, salah satu faktor pendorong jaksa bermain perkara adalah perilaku konsumtif dan gaya hidup hedonisme. 

”Sudah sering kali saya bertemu dengan (oknum) jaksa yang kerap berbicara tentang mobil barunya, rumah dan handphone barunya. Sudah jarang jaksa berbicara atau berdikusi dengan saya tentang penegakan hukum,” beber koordinator MAKI ini.

Ditambahkan Boyamin, faktor lainnya yang memicu tindakan koruptif oleh jaksa adalah sistem rekrutmen.

Selama ini sistem rekrutmen cenderung tidak transparan, sehingga berpotensi munculkan KKN terlebih dalam mutasi atau promosi jabatan di Kejaksaan. 

”Jadi hanya mereka-mereka yang diduga menjilat atau punya uang, bisa mendapatkan jabatan enak. Sedangkan yang berprestasi agak sulit,” ketusnya.

Boyamin pun mengungkapkan beberapa cara untuk membersihkan institusi kejaksaan dari prilaku korup para oknum jaksanya.

Pertama, perlu dilakukan pemotongan generasi atau angkatan yang selama ini cenderung koruptif. Kedua, perlu dilakukan psikotes secara rutin, biar kejujuran atau tidaknya jaksa bisa diketahui.  

”Ketiga, perlu dibentuk 'Tim Pembenahan Kejaksaan' yang berada di bawah langsung perintah presiden RI,” tandasnya.

Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Apung Widadi mengapresiasi kinerja KPK dan Tim Saber Pungli yang berhasil membongkar praktik suap oleh oknum jaksa. 

Dia berharap, OTT tersebut bisa memberi efek jera kepada aparat penegak hukum yang menerima suap.  

”Iya harusnya ini memberi efek jera ya. Gerakan secara nasional KPK, Jaksa, Polisi bersatu. Biar tidak ada pungli lagi,” ujarnya kepada INDOPOS, Selasa (6/12).

Berdasarkan hasil survei Institut for Justice and Law Enforcement Indonesia (IJLEI), tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan RI semakin menurun, menyusul sejumlah OTT baru-baru ini.

”Hasil survei menunjukan 85 persen masyarakat sudah tidak percaya lagi atas penegakan hukum di Kejaksaan. Justru KPK dan Polri yang masih dipercaya sama publik,” ungkap Peneliti AJLEI, Puji Christianto melalui pesan elektronik kepada INDOPOS, Selasa (6/12).

Dia pun mengimbau kepada Korps Adhyaksa untuk segera melakukan pembenahan diri guna meningkatkan kembali kepercayaan publik atas penegakan hukum tersebut. 

”Ketika sebuah organisasi sudah tidak dipercaya publik, harusnya bergegas memperbaiki diri. Tapi kan tidak dilakukan Kejaksaan. Padahal, Kejaksaan bisa mengkaji kinerjanya yang belum maksimal, terutama profesionalismenya,”  imbaunya.

Menyikapi hal tersebut, Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), Raden Widyo Pramono tak memungkiri pelanggaran hukum yang cenderung dilakukan seorang jaksa salah satunya didorong oleh faktor gaya hidup yang berlebihan. 

Sehingga mereka pun tidak segan untuk bermain perkara demi mendapatkan 'upeti'. 

“Betul, tapi ini kan tidak bisa disamakan semua," ujarnya ketika dikonfirmasi INDOPOS, Rabu (7/12).

Dia mengklaim bahwa pihaknya tidak akan kompromi dengan jaksa nakal yang terbukti melanggar hukum. 

”Di antara 10 ribu jaksa, ketika melakukan begitu (pelanggaran hukum, Red) ya harus mendapat sanksi keras," tegasnya seraya memastikan proses hukum lima jaksa bermasalah tersebut berjalan, bahkan hingga di pengadilan. (ydh/dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bolehkah Lokasi Sidang Ahok Dipindah? Nih Penjelasan MA


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler