jpnn.com - JAKARTA - Melambungnya harga daging sapi mulai merembet ke beberapa kebutuhan pokok lainnya. Daging ayam, telur, beras, harganya merangkak naik sehingga pedagang di pasar tradisional juga ikut tercekik.
Sudah sekitar seminggu ini harga telur beranjak naik dari semula Rp 270 ribu per peti yang berisi 15 kilogram sampai kemarin sudah menjadi Rp 315 ribu per peti. Artinya terjadi kenaikan sekitar 16 persen hanya dalam waktu singkat itu.
BACA JUGA: Ekonomi Goyah, Sofyan tak Takut Didepak dari Kabinet
"Naiknya pelan-pelan memang. Naik Rp 10 ribu, naik Rp 5 ribu, ya begitu polanya," kata Ratno (34) pedagang di pasar Cimanggis, Ciputat, Tangerang Selatan, ketika ditemui Jawa Pos, kemarin (11/08).
Ratno menduga, kenaikan harga telur terjadi mengikuti peningkatan permintaan pasar. Dan itu sudah terjadi di hampir setiap terciptanya kenaikan harga. "Sekarang kan lagi ramai orang hajatan. Banyak yang menikah," kata dia.
BACA JUGA: Malam-malam Jokowi Rapat Bahas Daging
Kenaikan harga sampai saat ini dinilai Ratno sudah mencapai puncaknya. Artinya sudah harga paling tinggi. Namun dia menduga masih bisa naik lagi karena ada momen hari raya Idul Adha. "Bisa jadi naik lagi ini. Mungkin ke Rp 340 ribu (per peti)," pikirnya.
Sementara jualan eceran dilakukan Ratno sulit untuk melampaui Rp 22 ribu per kilogram kepada pelanggan. Jualan Rp 22 ribu per kilogram pun dengan perhitungan modal Rp 21 ribu per kilogram.
BACA JUGA: Kemendag Beri Kewenang Impor Sapi ke Bulog Karena Kementan Salah Perhitungan?
"Untungnya memang tipis banget. Belum lagi ada risiko telur yang pecah terus risiko rugi timbangan. Kalau kurang sedikit kan gak bisa kita kurangi timbangannya, pelanggan pasti sukanya ya mending agak dilebihin sedikit. Kan tidak selalu dapat timbangan yang pas per kilogramnya itu," akunya.
Kenaikan harga beli juga dirasakan Ratno untuk barang pokok beras. Sudah terjadi kenaikan sebesar Rp 40 ribu untuk beras karungan seberat 50 kilogram. Sudah sekitar lima hari ini harga beras semakin mahal. "Biasanya harga Rp 400 ribu (per 50 kilogram) itu sudah bagus. Sekarang belum kurang enak lah untuk dimakan," terusnya.
Sebaliknya, harga minyak goreng justru turun. Bukan hanya minyak curah tapi juga minyak kemasan bermerek. "Sebelumnya minyak curah itu Rp 11 ribu per kilogram. Sekarang Rp 10 ribu saja tidak sampai. Harga minyak kemasan juga mulai turun," ujarnya.
Harga daging ayam juga mengalami kenaikan cukup signifikan. Siti Mundiyah (33), pedagang ayam potong di pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengatakan sejak Idul Fitri berakhir, harga daging ayam tidak pernah turun. "Biasanya kan turun ya. Ini tidak stabil gitu. Tidak pernah turun setelah lebaran, malah naik," akunya saat ditemui Jawa Pos, kemarin.
Siti yang berjualan ditemani ibu kandungnya mengatakan, harga beli ayam dari distributor besar yang biasanya Rp 16 ribu sampai Rp 18 ribu per kilogram kini menjadi Rp 26 ribu sampai Rp 28 ribu per kilogram. Untuk ayam ukuran besar dengan bobot empat kilogram sampai lima kilogram, Siti menjualnya seharga Rp 140 ribu. "Modalnya kalau dihitung-hitung bisa Rp 130 ribu," Siti sambil mengipasi ayamnya dari serbuan koloni lalat.
Untuk ayam ukuran kecil dengan bobot maksimal satu kilogram, harga belinya juga Rp 28 ribu dari biasanya Rp 23 ribu sampai Rp 24 ribu. "Lha modalnya saja sudah Rp 28 ribu. Kita jualnya juga paling mahal Rp 29 ribu. Kalau lagi naik memang bisa dibilang nggak ambil untung. Kita ambil untungnya kalau pas harga murah," Siti curhat.
Yang terpenting, kata dia, dalam kondisi sekarang permintaan pelanggan tetap terpenuhi. Terlebih mayoritas pelanggannya merupakan pedagang makanan seperti rumah makan dan warung pecel ayam pecel lele.
"Kalau tidak ada ayam kan takutnya pembeli cari ke tempat lain. Untung tipis atau tidak untung tidak masalah asal jangan rugi. Asal jangan pelanggan lari," pikir perempuan asal Pekalongan, Jawa Tengah, itu.
Sementara pedagang makanan belum merasa harus menaikkan harga jual kepada pelanggan. Warteg Kharisma Bahari, warung makan cukup besar di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, masih mematok harga jual seperti sebelumnya.
"Memang sih katanya naik. Tapi tempat kita belanja belum naik banget harganya," ucap Andri (19), salah satu pengelola Warteg itu kemarin siang.
Hal paling dirasakan saat ini olehnya adalah kelangkaan daging sapi. Sudah sejak Minggu (09/08) wartegnya menjajakan makanan minus menu daging sapi.
Pantauan Jawa Pos, warteg itu mengakalinya dengan memerbanyak menu ikan dan ayam. Menu ayam malah terdiri atas berbagai macam olahan mulai dari ayam goreng, ayam gulai, ayam tumis, sampai soto ayam. "Ya (daging sapi) susah belinya. Tidak ada di pasar sejak Minggu," keluhnya.
Memang pengaruhnya tidak signifikan. Tamunya tidak berkurang. Tapi cukup mengganggu. "Biasanya kan ada rendang. Yang makan banyak juga. Kita juga biasanya bikin rawon (tetelan daging sapi). Banyak yang cari tapi kita tidak bisa sediakan," kisahnya yang siang itu mengenakan topi biru menutupi sebagian rambutnya yang dicat pirang.(gen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Peternak Sapi Tergerus Perumahan
Redaktur : Tim Redaksi