Giro Wajib Minimum Averaging Berpotensi Dongkrak Kredit

Selasa, 04 Juli 2017 – 18:21 WIB
Bank Indonesia. Foto: JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Aturan baru giro wajib minimum (GWM) averaging yang diberlakukan mulai 1 Juli lalu diyakini membuat likuiditas di sektor keuangan semakin dalam.

Dalam jangka panjang, GWM rata-rata 6,5 persen diharapkan dapat membantu bank melipatkan penyaluran kredit dan menurunkan suku bunga kredit yang dibebankan kepada nasabah.

BACA JUGA: Libur Panjang Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi Jatim

”Meski perbankan hanya melihat GWM sebagai instrumen yang menyedot atau menambah likuiditas bagi bank, bagi bank sentral di seluruh dunia, GWM adalah instrumen moneter untuk mengendalikan uang beredar,” jelas Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara.

Kewajiban bank untuk menempatkan kelebihan likuiditas ke bank sentral tersebut berfungsi menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar.

BACA JUGA: Suku Bunga Bertahan sampai Akhir Tahun

Bila GWM dinaikkan, kelebihan likuiditas diserap bank sentral sehingga perbankan lebih prudent dalam mencairkan kredit.

Sebaliknya, kelonggaran GWM mengakibatkan likuiditas dapat dimanfaatkan perbankan untuk ekspansi kredit.

BACA JUGA: 59 Perusahaan KUPVA BB Beroperasi di Surabaya

Sejak 1 Juli, BI menerapkan GWM rata-rata 6,5 persen dari dana pihak ketiga (DPK) yang dikumpulkan perbankan selama sehari.

Pada tahap pertama, bank wajib menyetorkan lima persen DPK.

Sedangkan 1,5 persen sisanya dapat disetorkan secara rata-rata dalam waktu dua minggu.

”Setiap hari itu tidak harus 6,5 persen (menempatkan DPK ke BI). Jadi, bisa diatur. Misalnya, market lagi kenceng (menyimpan dana), bisa menyetorkan tujuh persen. Besoknya 5,75 persen,” katanya.

Dengan demikian, jika dirata-rata, perbankan menempatkan 6,5 persen DPK ke Bank Indonesia dalam waktu dua minggu.

Dalam aturan lama, perbankan wajib menyetorkan 6,5 persen DPK ke Bank Indonesia setiap hari.

Menurut Mirza, perbankan rata-rata menempatkan dana Rp 400 triliun per hari ke berbagai instrumen jangka pendek.

Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 250 triliun ditempatkan dalam instrumen GWM yang diterbitkan BI.

Pengamat ekonomi Lana Soelistianingsih menilai GWM belum tentu bisa langsung berpengaruh besar ke likuiditas karena jangka waktunya pendek.

”Namun, cara ini cukup efisien mengurangi gap (likuiditas) antara bank besar dan bank kecil,” ungkapnya.

Terkait dengan efektivitas GWM averaging terhadap likuiditas perbankan, Lana menilai dampaknya baru terasa dalam jangka panjang.

Selain itu, efektivitasnya juga dipengaruhi kondisi DPK perbankan.

”Kalau (dana pihak ketiga yang ditempatkan di bank) lebih banyak daripada korporasi dan pemerintah, masih sulit. Meski yang masuk besar, penarikannya juga besar. Beda jika DPK-nya diisi sektor ritel dan konsumen,” ucap Lana.

GWM akan berpengaruh ke pertumbuhan kredit dan ekonomi secara makro jika perbankan dapat memanfaatkan GWM averaging dengan baik.

Artinya, kelebihan likuiditas karena kelonggaran GWM bisa digunakan untuk ekspansi kredit.

”Kredit itulah yang bisa digunakan untuk mendorong perekonomian,” ujar Lana. (agf/c23/noe)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Transaksi Nontunai saat Ramadan Anjlok 56 Persen


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler