jpnn.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan BI 7-day reverse repo rate (BI-7DRRR) di posisi 4,75 persen sejak Oktober 2016.
Posisi itu diprediksi bertahan hingga pengujung tahun ini.
BACA JUGA: Risiko Eksternal Bayangi Perekonomian Indonesia
SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) memperkirakan kebijakan suku bunga dipertahankan dengan mempertimbangkan risiko peningkatan tekanan inflasi jika pemerintah terus menaikkan administered prices.
Selain itu, risiko tekanan terhadap rupiah karena faktor ketidakpastian global seperti dampak kebijakan perdagangan AS yang makin proteksionis.
BACA JUGA: 59 Perusahaan KUPVA BB Beroperasi di Surabaya
’’Selain itu, ada risiko masih melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan kepastian waktu kenaikan suku bunga The Fed,’’ kata Chief Economist SIGC Eric Sugandi.
Pada 2018, Eric memprediksi BI menaikkan BI 7-day reverse repo rate sebesar 50 bps ke 5,25 persen.
BACA JUGA: Transaksi Nontunai saat Ramadan Anjlok 56 Persen
Tujuannya, menjaga tekanan inflasi ketika pemerintah berkuasa berusaha menggenjot pertumbuhan ekonomi agar terpilih kembali pada 2019.
Selain itu, rupiah berisiko tertekan karena investor asing mulai mengurangi penempatan dana di pasar finansial Indonesia sambil menunggu hasil pemilihan umum dan presiden pada 2019.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Hermanto Gunawan menuturkan, tingkat inflasi tahun ini berpotensi menyentuh level 4,2 persen.
Hal itu terkait dengan naiknya inflasi dari komponen yang diatur pemerintah atau administered price, terutama pencabutan subsidi listrik.
Konsumsi swasta juga diperkirakan stagnan. Sebab, inflasi inti diproyeksikan berada di bawah angka empat persen.
Dia pun memprediksi suku bunga BI-7DRRR tetap dan tidak berubah sampai akhir tahun.
’’Ruang untuk penurunan suku bunga, tampaknya, terbatas. Ada banyak faktor ekonomi dan geopolitik yang harus diperhatikan BI seperti faktor presiden Trump serta politik di Eropa,’’ ungkapnya.
Kalangan perbankan mengakui, ruang penurunan suku bunga kredit makin sempit. Sebab, bank juga memperhatikan faktor inflasi, demand kredit, serta utilitasnya.
Di samping itu, faktor likuiditas yang kian terbatas membuat bank harus berhati-hati menentukan suku bunga.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengungkapkan, pihaknya belum melihat adanya ruang penurunan bunga kredit.
’’Kan kami sudah turunkan. Bunga sudah kami kasih spesial, sudah turun terus, terutama untuk KPR (kredit pemilikan rumah, Red),’’ tuturnya.
Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Maryono menyatakan, BTN tetap mengantisipasi kemungkinan naiknya suku bunga acuan Bank Sentral AS (The Fed).
Namun, menurut dia, BI bakal sulit menurunkan suku bunga BI-7DRRR.
Di sisi lain, bank dituntut untuk mempertahankan perolehan net interest margin (NIM).
Karena itu, bank tetap harus menjaga bunga kredit agar tetap untung.
’’Bunga murah paling banyak kami andalkan dari program kredit yang memang murah seperti KPR subsidi dan KPR mikro. Bunga KPR nonsubsidi juga sudah sempat turun. Kami lihat bagaimana faktor inflasi dan permintaan kredit, serta bagaimana kompetitor menetapkan tren bunganya,’’ ujarnya. (ken/rin/c14/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ekspor Rendah, BI Koreksi Pertumbuhan Ekonomi
Redaktur & Reporter : Ragil