GKIA Desak Pemerintah Tegas soal Promosi Susu Kental Manis

Minggu, 16 Desember 2018 – 14:49 WIB
Ilustrasi susu. Foto: AFP

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Koordinator Presidium Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) Frenita Nababan mengatakan, susu kental manis (SKM) merupakan produk turunan susu yang mengandung kadar gula tinggi.

Menurut Standard Nasional Indonesia (SNI) 01-2971-1998, SKM adalah produk susu berbentuk kental yang diperoleh dengan menghilangkan sebagian air dari susu segar atau hasil rekonstitusi susu bubuk berlemak penuh.

BACA JUGA: Muslimat NU Berharap Iklan SKM Sebagai Susu Dihilangkan

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah resmi menerbitkan Peraturan Kepala (Perka) BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Produk Pangan Olahan yang merupakan revisi dari Peraturan BPOM Nomor 27 tahun 2017 tentang Pendaftaran Pangan Olahan Perka BPOM 31/2018.

“Kandungan gula pada SKM menurut ketentuan SNI adalah 43-48 persen yang merupakan gula yang ditambahkan. Jadi, SKM sama sekali tidak bisa ditempatkan sejajar dengan susu sebagaimana dipahami secara umum,” kata Frenia, Minggu (16/12).

BACA JUGA: Susu Kental Manis Bukan Pengganti ASI

Menurut Frenita, promosi konsumsi susu dalam kerangka percepatan perbaikan gizi berisiko membahayakan kesehatan anak.

Sebab, prevalensi intoleransi laktosa akibat konsumsi susu di kalangan anak-anak di Indonesia cukup tinggi.

BACA JUGA: Produsen Susu Kental Manis Wajib Perbaiki Label

Selain itu, risiko kejadian alergi susu serta risiko kontaminasi susu yang tidak ditangani dan disimpan secara tepat yang berdampak pada kejadian penyakit yang diantarkan melalui makanan.

“Tingginya kadar gula pada SKM membuat produk ini tidak sehat untuk dikonsumsi, terutama oleh balita, anak-anak, dan remaja. Sebab, risiko kerusakan gigi, obesitas, dan penyakit degeneratif yang akan terbawa sampai dewasa,” tambah Frenita.

 Menurut Frenita, dibutuhkan perlindungan pemerintah, pelaksanaan aturan, serta undang-undang yang sudah ada terkait promosi dan diseminasi informasi.

Hal itu agar tidak ada pemahaman yang salah atau setengah-setengah hingga memberikan asumsi yang salah dan dikaitkan dengan gizi seimbang.

“Kami mendesak pemerintah untuk lebih meningkatkan literasi publik terkait konsumsi gula yang berlebih serta dampaknya bagi tumbuh kembang anak serta kesehatan masyarakat,” kata Frenita. 

Menurut dia, tenaga kesehatan dan akademisi harus memperhatikan isu konflik kepentingan saat memberikan pernyataan dan melakukan riset demi masa depan generasi penerus bangsa Indonesia. 

“Sangat memprihatikan jika objektivitas pendapat ahli dan hasil penelitian menjadi bias akibat adanya kepentingan lain di luar ilmu itu sendiri,” tegas Frenita. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Aturan Iklan Produk Tak Boleh Diskriminatif


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler