JAKARTA - Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah, Nurtantio Wisnu Brata menilai desakan Conference on Tobacco or Health di Sydney, Australia, (Sabtu, 9/10) agar Indonesia meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), jelas-jelas memandulkan kepentingan para petani tembakau di IndonesiaMenurut Nurtantio, hasil konvensi itu mengancam kepentingan petani tembakau.
"Namanya saja,pengendalian atas tembakau
BACA JUGA: Darwin: Tiga Daerah Alami Defisit Gas
Yang dikendalikan itu kan kepentingan petani tembakauBACA JUGA: Investasi Gas USD 200 Juta
Itu hal yang tidak benarBACA JUGA: Jepang akan Bantu Kembangkan MRT di Indonesia
Tidak mudah dibohongiJangan mengeliminir kepentingan petani tembakau yang kena dampak konvensi itu,” tegas Wisnu, di Jakarta, Selasa (12/10).Desakan itu, lanjut Wisnu, sudah mengarah pada bentuk tekanan terhadap pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi itu demi kepentingan pihak-pihak tertentu menyukseskan agenda anti tembakau di kawasan Asia, termasuk di Indonesia.
Sementara Direktur Institut Indonesia Berdikari (IIB), Puthut EA, memandang desakan itu merupakan suatu bentuk tekanan terhadap kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka yang berhak menentukan nasib sendiri“Negara manapun, organisasi internasional apapun, harus menghormati kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara yang merdeka,” tegas Puthut.
Lebih jauh Puthut ungkapkan bahwa meratifikasi FCTC tersebut sama dengan mematikan kretek, rokok khas Indonesia yang hanya mengisi 3,5 persen kebutuhan kretek dunia“Jadi, dengan meratifikasi konvensi ini peluang untuk matinya kretek Indonesia semakin besar,” ungkap Puthut.
Hal yang sama juga diungkap advokat dan pengamat Prakarsa Bebas Tembakau, Gabriel MahalMenurut dia, perlu tidaknya Indonesia meratifikasi konvensi tersebut harus dilihat dari apakah Indonesia punya kepentingan nasional dengan tembakau beserta industrinya dari hulu hingga hilir"Faktanya, Indonesia memiliki kepentingan atas tembakau dengan segala industrinya itu,” jelas Gabriel Mahal.
Menurut Gabriel, kepentingan nasional atas tembakau ini harus dihadapkan dengan kepentingan di balik konvensi tersebut“Sejarah lahirnya konvensi tersebut sarat dengan kepentingan perdagangan obat-obat Nicotine Replacement Therapy (NRT) dari korporasi-korporasi farmasi multinasionalKonvensi itu adalah alat dan mekanisme hukum untuk mengontrol perdagangan tembakau di satu sisi, dan pada sisi yang lain mendukung perdagangan obat-obat NRT ituTidak heran jika prioritas desakan kepada pemerintah adalah mematikan commercial freedom of speech dari tembakau dan industrinya lewat larangan iklan dan promosi produk tembakau,” ungkap Gabriel.
Dia jelaskan, dewasa ini Amerika Serikat termasuk salah satu negara yang mengekspor obat-obat NRT ke 9 negara Eropa, 4 negara Asia dan Australia, dan MeksikoPara eksportir Amerika meraup keuntungan penjualan NRT ini di 15 negara, di antaranya Belgia, Spanyol, Perancis, UK, Jerman, India, FilipinaSekalipun demikian, perdagangan obat NRT ini masih defisitImpor obat-obat NRT ini masih lebih besarDefisit perdagangan ini diupayakan untuk diatasi dengan memacu produksi NRT buatan Amerika yang sekaligus dapat membuka lapangan kerja bagi rakyat AS.
Menurut Laporan World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025 (13/1/2010), diprediksi 15 tahun ke depan pertumbuhan menyeluruh dari pemasaran produk-produk NRT ini akan meningkat yang dikontribusi oleh kelompok negara BRIC (Brazil, Rusia, India, dan Cina)Sebab, menurut laporan tersebut, hampir separuh perokok dunia tinggal di wilayah BRIC ini, tetapi kelompok negara ini masih termasuk berpendapatan perkapita rendahDaya beli masyarakat akan obat-obat NRT yang relatif mahal itu saat ini masih rendah.
“Konvensi ini beserta peraturan perundang-undangan nasional pengontrolan atas tembakau menjadi senjata ampuh yang mendukung suksesnya perdagangan produk obat-obat NRT ini, di sisi lain jadi mekanisme hukum pengontrolan, bahkan dapat mematikan tembakau dengan segala industrinya,” ungkap Gabriel(fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gencarkan Investasi, BKPM Gaet US-ASEAN
Redaktur : Tim Redaksi