Gugatan Dikabulkan, Langsung Bersujud di Depan Hakim

Senin, 30 November 2009 – 02:34 WIB
KEADILAN - Kristiono dan putrinya, Indah Kusuma Ningrum, di rumah mereka di kawasan Depok Maharaja, Jawa Barat, Minggu (29/11) kemarin. Foto: Fedrik Tarigan/Indo Pos.
Sudah tiga tahun ini Kristiono menggugat unasSebab, putrinya, Indah Kusuma Ningrum, tak lulus SMA karena nilai salah satu mata pelajarannya jeblok

BACA JUGA: Ditelepon, Komandan Militer Bilang Rute Sudah Aman

Padahal, Indah dikenal siswa berprestasi di sekolahnya
Karena itu, dia terharu saat Mahkamah Agung (MA) memutuskan menolak kasasi yang diajukan pemerintah.

Laporan TITIK ANDRIYANI, Jakarta

KRISTIONO
tak kuasa menahan air mata karena terharu saat mendengar Mahkamah Agung (MA) kembali memutuskan menolak kasasi Unas yang diajukan pemerintah

BACA JUGA: Gedung Itu jadi Saksi Tewasnya 500 Ribu Orang

Maklum, putusan MA itu adalah kali kesekian dari apa yang diperjuangkan tiga tahun ini
Secercah harapan pun muncul kembali.

Sejak 2006, Kristiono selalu didampingi tim advokasi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (Tekun), dan Education Forum (EF) untuk menggugat pemerintah agar Unas tidak dijadikan syarat penentu kelulusan.

Saat diminta menceritakan awal gugatannya terhadap pemerintah, pria berusia 50 tahun itu langsung teringat kembali momen kelabu 19 Juni 2006

BACA JUGA: Sebelum Hanyut, Wanita Itu Melambaikan Tangan

Kala itu pemerintah telah mengumumkan hasil UnasPutrinya, Indah Kusuma Ningrum, adalah satu dari delapan siswa yang tidak lulus Unas di Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) 7 DepokItu gara-gara nilai salah satu nilai mata pelajarannya 4Padahal, pada dua mata pelajaran lain dia berhasil mendapat nilai 8.

"Tidak lulus karena ada nilai 4 ituSaat itu nilai minimal Unas 4,26Hanya terpaut 0,26Apa yang saya perjuangkan tiga tahun tidak sia-sia," tutur Indah mendampingi ayahnya, KristionoPadahal, kata Indah, banyak siswa lain yang rata-rata mendapat nilai 5, tapi berhasil lulus"Karena di atas nilai minimal 4,26 tadiNggak peduli nilainya 5 semua untuk tiga mata pelajaranIni jelas tidak adil," ungkapnya.

Waktu itu juga tidak ada ujian ulangMenurut dia, banyak siswa berprestasi yang tidak lulus pada tahun ituRasa sedih dan kecewa tak terelakkanMaklum, Indah bukan siswa biasa di sekolah ituDia tak pernah lepas dari peringkat 10 besar di sekolahnya.

Selain itu, Indah sudah bermimpi bisa melanjutkan studi D-3 Jurusan Manajemen di Universitas Indonesia (UI)Bahkan, jauh sebelum Unas diumumkan, dia sudah membeli formulir pendaftaranSeleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) sudah disiapkanRasanya, bagi Indah, semua kandas di tengah jalan hanya karena ujian selama 3x2 jam ituSemua prestasi yang dia torehkan selama tiga tahun menguap.

Dia terpaksa ikut ujian kesetaraanPadahal, ujian itu digelar pada AgustusSementara, pada waktu yang sama pendaftaran masuk PTN sudah dimulaiBukan hanya ituKetika itu, UI maupun PTN lain tidak mau menerima ijazah kesetaraan"Alasannya, pemerintah belum memberi instruksi untuk menerima ijazah kesetaraan," terang Indah saat ditemui di rumahnya kawasan Depok Maharaja, kemarin (29/11)Tak urung, semua impiannya untuk melanjutkan studi di PTN kandasBegitu pula impian Indah-Indah lainnyaPada tahun ajaran itu, ada 167.865 siswa SMA yang tidak lulus Unas.

Merasa anak sulungnya mendapat ketidakadilan, Kristiono bertekad mengadukan persoalan itu ke LBHSaat itu LBH juga mendapat banyak pengaduan dari berbagai daerahTerutama dari Jabotabek, Medan, dan SurabayaLantaran banyaknya pengaduan yang masuk, LBH sepakat mengadvokasi persoalan ituPara wali murid berkumpulDukungan dari mahasiswa juga berdatanganDemikian pula dukungan dari sejumlah artis seperti Sophia Latjuba dan para pakar pendidikan.

Mereka sepakat menggelar demoDemo menolak hasil Unas digelar di Istana Negara terhadap Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika ituSetelah demo pada pagi di Istana Negara, mereka bertolak ke Komisi X DPR RIMantan Mendiknas Bambang Sudibyo ketika itu dipanggil wakil rakyatPersoalan itu pun dibahasKristiono dkk menunggu hasil pertemuan itu hingga pukul 03.00"Tapi, setelah kami tunggu, Mendiknas sudah pulangKomisi X hanya bisa menampung aspirasi kami," terangnya.

Tak puas terhadap wakil rakyat, pada 27 Juli 2006, tim advokasi korban Unas sepakat melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta PusatBeberapa kuasa hukum yang mendampingi mereka, antara lain Adnan Buyung Nasution, Hotma Sitompul, Daniel Panjaitan, Uli Parulian Sihombing, dan sederet kuasa hukum lainSaat itu, kata Kristiono, perjuangan baru dimulaiDia harus ke sana-kemari mengecek perkembangan gugatan ituRapat demi rapat bersama LBH juga dilakukan"Yang saya perjuangkan ini tidak untuk anak saya semataIni demi pendidikan ke depan juga," terang.

Kristiono pun berucap nazar dalam hatiDia akan bersujud di depan hakim jika gugatannya bersama wali murid lain dikabulkan majelis hakim"Waktu itu saya optimistis bila hakim yang diduduk di PN Jakarta Pusat diisi orang-orang yang bersih," ujarnyaBenar saja, hampir setahun setelah gugatan itu dilayangkan, melalui sidang terbuka pada 21 Mei 2007, PN Jakarta Pusat akhirnya memutuskan perkara gugatan citizen law suit Unas dengan nomor 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PSTMajelis hakim yang dipimpin Andriani Nurdin memutuskan enam hal.

Yaitu, mengabulkan gugatan subsider para penggugatKedua, menyatakan para penggugat - Presiden RI, Wakil Presiden RI, Mendiknas, dan ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) - telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia yang menjadi korban Unas, khususnya hak atas pendidikan dan hak anakKetiga, memerintahkan para tergugat meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi di berbagai sekolah sebelum melaksanakan Unas.

Keempat, memerintahkan para tergugat mengambil langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan UnasKelima, memerintah para tergugat meninjau kembali sistem pendidikan nasionalTerakhir, menghukum para tergugat membayar biaya perkara Rp 374.000.

Begitu palu hakim diketukkan, Kristiono langsung bersujud mengucap syukur"Saya amat terharuMeski putusan hakim tidak sama persis dari gugatan yang kami layangkan, bagi kami sudah cukup adil," ungkapnyaNamun, perjuangan Kristiono dkk ternyata tidak berhenti di situPemerintah sepakat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta PusatLagi-lagi, pada 6 Desember 2007, Pengadilan Tinggi Jakpus melalui putusan nomor 377/PDT/2007/PT.DKI menguatkan putusan PN JakpusPara penggugat kembali bersorak.

Namun, perayaan tersebut tak berlangsung lamaSebab, pemerintah kembali mengajukan permohonan kasasi ke MALagi-lagi upaya Kristiono dkk membentur tembokNamun, perjuangan sudah sedemikian panjangKristiono dan tim advokasi tak ingin berhentiMereka rajin menanyakan perkembangan kasus tersebut ke MAHampir dua tahun setelah pengajuan banding itu, pada 14 September 2009, melalui info perkara pada website MA bernomor register 2596 K/PDT/2008, MA memutuskan menolak permohonan kasasi yang diajukan pemerintah.

Tak urung, begitu mendengar putusan tersebut, Kristiono merasa melihat setitik cahaya lagiPara korban Unas bersama Tekun dan Education Forum menggelar syukuran untuk merayakan hasil putusan tersebut pada Rabu (25/11) lalu di kantor LBH"Ini bukan sekadar kemenangan bagi kami, tapi kemenangan semua warga negara," tutur bapak dua anak itu.

Namun, rupa-rupanya jalan terjal dan berliku yang harus ditempuh Kristiono dkk belum berujungSebab, sekali lagi pemerintah bakal menempuh upaya akhir dengan mengajukan peninjauan kembali (PK)Rasa kecewa tidak terelakkan"Mengapa pemerintah masih ngotot menyelenggarakan Unas? Padahal, mereka belum memenuhi peningkatan kualitas guruKami tidak meminta Unas dihapus, karena evaluasi terhadap siswa perlu dilakukanHanya tidak dijadikan sebagai syarat kelulusanKasihan anak-anak," terangnya.

Karena itu, Kristiono dkk bertekad mengggalang kekuatan kembali untuk membawa persoalan ini ke Komisi X DPR RIMenurut dia, perjuangan itu harus ada ending-nyaSebab, diakuinya, dua tahun ini sudah tak banyak lagi wali murid yang intens memperjuangkan perkara tersebutKristiono maklumSebab, rasa jenuh dan lelah amat terasa.

"Capek dan lelah karena bertahun-tahun harus mengawal kasus iniTapi, semua harus diselesaikan dan ada akhirnya," ujar KristionoBersyukur, kata dia, dukungan terhadap dirinya terus mengalirTerutama dari orang-orang dekatJuga dari para guru di PSKD, sekolah IndahMeski berbagai rintangan harus dilalui, Kristiono tak pernah mendapat ancaman teror"Ya, karena ini sudah zaman reformasiKalau yang mengecam melalui internet dan e-mail sih banyakTapi, yang mendukung juga banyak," jelasnya.

Sementara itu, ketika kans Indah untuk masuk ke PTN hilang, putrinya langsung banting setirDia mendaftar ke perguruan tinggi swastaIndah pun mengambil D-3 Jurusan Manajemen di STIE YAISaat itu, kenang dia, Indah tidak diterima begitu saja masuk PTS tersebutSebab, ketika mendaftar ke STIE YAI pada Agustus 2006, dia sama sekali belum mengantongi ijazah.

"Saat daftar saya belum ikut ujian kesetaraanAkhirnya, saya diberi kesempatan satu semester untuk mendapat ijazah kesetaraanJika tidak punya, dalam satu semester akan di-DO," ungkap gadis berusia 21 tahun ituBersyukur, kata Indah, tak lama kemudian ijazah kesetaraan (paket C) dia peroleh, sehingga dapat melanjutkan studi ke PTS"Tidak hanya sayaSemua siswa yang tidak lulus tak dapat melanjutkan sekolah ke PTN," imbuhnya.

Kini, Indah hampir lulus D-3Dia sudah selesai mengikuti ujian akhirIndeks prestasi kumulatif (IPK)-nya 3,5Selama tiga tahun, IP-nya tak pernah mengecewakanDia berharap, pelaksanaan Unas bisa diperbaiki, sehingga tidak ada korban yang berjatuhan"Saya amat berharap ujian itu tidak dijadikan syarat kelulusanKembalikan ujian akhir ke sekolah saja," ucapnya(*/iro)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Doktor Hukum Pidana yang Hobi Facebook


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler