Ha..ha...Namanya (.), Tanda Baca Itu Lho...Bukan Titik

Jumat, 11 September 2015 – 22:39 WIB
Foto: Jawa Pos Group

jpnn.com - SUATU siang di sebuah sekolah dasar.

’’Jadi, nama anak kedua Pak Ali siapa?’’ tanya petugas tata usaha sekolah itu. Intonasi suaranya terdengar lebih keras. Terdengar nada kejengkelan di sana.

BACA JUGA: Pemijat Tuna Netra Berkisah tentang Putranya yang Lulus Test IPDN

’’Kan sudah saya bilang, namanya (.),’’ jawab Ali dengan nada tak kalah ketus.

’’Oke, saya catat ya, namanya Titik,’’ ujar si petugas.

BACA JUGA: Tatkala Ibu Walikota Menangis...

’’Lho, bukan Titik. Namanya (.),’’ sergah Ali.

(Dan perdebatan itu pun berlangsung lamaaa sekali).
--------------
 FEMMY NOVIYANTI, Jepara
 FAJAR R. VESKY, Payakumbuh
--------------

Baiklah. Adegan tersebut memang hanya rekaan, bukan reka ulang seperti yang dilakukan polisi saat menyelidiki tindak kejahatan. Tapi, kira-kira itulah risiko yang harus dihadapi Ali setiap mencatatkan nama anak perempuannya tersebut dalam administrasi resmi. Entah dalam akta kelahiran, kartu keluarga, atau di sekolah.

BACA JUGA: Kisah CJH Termuda Ini Akhirnya Bisa Dampingi Ayah Ikut ke Makkah Naik Haji

Sebab, petugas mana yang tak akan minimal bertanya empat sampai lima kali, dengan mengorek-ngorek kuping karena takut salah dengar, sambil menahan diri untuk tidak menggebrak meja, jika anak yang didaftarkan bernama (.)? Ya, (.) yang tanda baca itu lho. Bukan Titik seperti pada Titik Sandhora (yang kenal ketahuan umurnya) atau Titik Kamal (oh, maaf itu Titi).

’’Kami pilih nama itu karena kehidupan ini kan selalu berawal dari titik,’’ jelas Ali kepada Radar Kudus (Jawa Pos Group).

Sangat dalam. Sayang, suami Kismawati itu tak menjelaskan dari mana filosofi tersebut dinukil. Yang pasti, memang ada yang berpandangan bahwa hidup ini seturut logika geometri: dari titik, lalu menjadi garis, hingga berbentuk bidang.

Tapi, bukankah ada pula yang menyebut bahwa hidup dimulai dari nol? Mengapa tak pakai nama itu saja? Bagi Ali, nol yang terdiri atas tiga huruf itu, barangkali, sudah terlalu merepotkan.

Perajin mebel yang tinggal di Dukuh Sidang, Desa Sinanggul, Kecamatan Mlonggo, Jepara, Jawa Tengah, itu adalah penganut paham efisiensi sejati. Buktinya, kakak si (.) cukup diberi nama ’’N’’.

’’Nama N itu bukan asal-asalan lho,’’ tegas Ali.

Nama untuk anak lelakinya yang lahir pada 4 September 1992 itu diambilkan dari Alquran yang merupakan saran kiainya dulu. Persisnya dari surah Nun atau Al Qalam.

’’Ketika itu mau saya beri nama Nun. Tapi, saya pikir, kasihan anaknya kalau namanya jadi ejekan,’’ ungkapnya.

Jadi ejekan mungkin tidak. Tapi, keputusan Ali tersebut toh mengundang sangat banyak pertanyaan dan keheranan dari kerabat serta tetangga. Meski lama-kelamaan akhirnya memang mereda sendiri.

Malahan, N yang kini sudah menuntaskan pendidikan di sekolah tinggi ilmu keperawatan di Semarang sempat tercatat di Museum Rekor-Dunia Indonesia pada 2000. Yakni, sebagai pemilik nama terpendek di Indonesia.

Banyak penantang rekor N itu kini. Ada Y di Jogjakarta, D di Pemalang, dan kakak adik dari Payakumbuh, O serta Z, yang bahkan jauh lebih senior daripada N. Penamaan O itu bahkan memang disengaja oleh orang tuanya untuk memecahkan rekor dunia yang tercatat di Guinness World Records.

O adalah contoh betapa ambisi orang tua kadang bisa menyulitkan anak. Semasa SD, perempuan kelahiran 22 November 1964 tersebut kenyang jadi sasaran olok-olok.

’’Kawan-kawan selalu bersorak, O Kanai, O Kanai (O Kena, O Kena). Saya sering menangis dibuatnya,’’ kenang O yang sehari-hari berprofesi pengacara kepada Padang Ekspres (Jawa Pos Group).

Kalau sang adik, Z, dia malah lebih banyak mengalami kesulitan karena nama saat sudah dewasa. Baik dalam masalah pekerjaan maupun perbankan. Pria kelahiran 30 Oktober 1966 itu pernah nyaris tak bisa membuka rekening bank.

Pengajuan kredit pria yang berwiraswasta itu juga selalu ditolak. Sebab, sesuai dengan aturan di bank, yang mengajukan kredit harus punya nama yang minimal terdiri atas tiga huruf.

’’Karena nama saya cuma satu huruf, jadilah tak pernah jebol sampai sekarang,’’ ungkap petinggi sebuah partai di wilayah Lima Puluh Kota tersebut.

Berbagai pengalaman tidak menyenangkan itulah yang mungkin membuat O dan Z tak mau meneruskan tradisi nama tak lazim ke keturunan mereka. Empat anak O dan lima buah hati Z punya nama-nama ’’normal’’, minimal dua kata.

Nah, N mengaku tak pernah mengalami berbagai pengalaman buruk seperti O dan Z itu. Namanya yang singkat juga tak sekali pun membuatnya canggung atau minder.

Kesulitan yang dia alami juga tak sebesar yang dihadapi sang adik, si tanda baca tadi. Kalau adiknya butuh penjelasan empat sampai lima kali tiap kali mendaftar, dia cukup… yaaa… tiga kali lah.

’’Saya bangga dengan nama pemberian orang tua ini,’’ kata N.

N boleh bangga, tapi tidak demikian halnya dengan adiknya yang lahir pada 19 Oktober 2000 itu. Ali mengakui, si bungsu sering memprotes mengapa dirinya dinamai tanda baca. Keluhannya baru berakhir setelah dia ’’berganti’’ nama menjadi Titik.

Berganti harus diberi tanda kutip karena sejatinya yang terjadi adalah kecelakaan. Saat ujian SD, nama si tanda baca adik si satu huruf itu tak terbaca oleh komputer. Simsalabim, jadilah dia terlahir kembali dengan nama ’’Titik’’.

Barulah setelah itu si tanda baca yang kini mondok sembari sekolah tersebut tenang. Begitu pula si bapak. Waktunya kini sepenuhnya bisa dihabiskan untuk menggarap mebel ketimbang eyel-eyelan dengan petugas administrasi pendaftaran. (*/JPG/c5/ttg)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perih sang Ibunda Dituduh Maling Ayam, Kini jadi Pengusaha Sukses


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler