jpnn.com - AROMA minyak gosok masih cukup kental memenuhi ruangan kecil berukuran tak lebih dari 2x2 meter, menyempil di gang sempit yang terletak persis di seberang pintu gerbang utama Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kampus Jatinangor, Subang, Jawa Barat, Kamis (10/9).
Bahkan sisa-sisa minyak yang digunakan memijat pasien di atas dipan kecil, masih terasa saat JPNN bersalaman dengan pria tunanetra asal Makassar, Sulawesi Selatan, Gozali Rahmat.
-----------
Ken Girsang-JPNN
-----------
Padahal ayah satu putera dan dua putri ini telah berusaha membersihkan seadanya. Ia terlihat tergopoh-gopoh melapkan tangannya ke celana pendek yang digunakan, begitu mendengar teriakan sang istri tercinta yang juga 'maaf' memiliki kekurangan fisik tunanetra, ada tamu yang berkunjung.
BACA JUGA: Tatkala Ibu Walikota Menangis...
"Oh ada tamu, maaf ruangannya kecil pak," ujar Gozali sembari berusaha bangkit menyambut.
Kebahagiaan Gozali makin bertambah, karena mengetahui tamu yang dimaksud ternyata datang bersama putra sulung tercinta, Chalikul Hafiz, praja IPDN angkatan 2014.
BACA JUGA: Kisah CJH Termuda Ini Akhirnya Bisa Dampingi Ayah Ikut ke Makkah Naik Haji
Maklum, meski tempat tinggal dan tempat usaha berupa dua buah kamar yang dikontrak Rp 6 juta setahun, hanya berjarak beberapa langkah dari kampus IPDN, namun ia tidak bisa setiap hari bertemu. Sebagai praja, Chalikul harus tinggal di asrama bersama ribuan praja dari seluruh Indonesia lainnya.
"Waktu mendengar anak saya mau daftar ke IPDN, kami awalnya pesimis pak. Karena dengar-dengar kan itu sekolahnya anak orang kaya. Sementara kami hidup di kontrakan. Bahkan makan juga pas-pasan. Malah bisa dalam seminggu tidak ada orang yang mau dipijat," ujar Gozali.
BACA JUGA: Perih sang Ibunda Dituduh Maling Ayam, Kini jadi Pengusaha Sukses
Pandangan Gozali akhirnya berubah, saat mendengar informasi dari beberapa pasien yang ia pijat. Bahwa kalau penerimaan IPDN saat ini dilakukan secara terbuka dan tidak seperti yang ia bayangkan. Dari situlah kemudian optimisme mulai muncul, apalagi keinginan putra tercinta cukup kuat.
"Ya akhirnya kami dorong. Saya sampaikan pada anak enggak ada salahnya dicoba," ujar Gozali.
Ia yang memiliki kekurangan fisik pun bahkan sampai mengantarkan Chalikul mengikuti test yang dilakukan di sejumlah daerah di luar Jatinangor.
"Itu kan ujian psikotestnya di Siliwangi, saya antar. Kami bermalam di rumah teman karena jam enam pagi sudah harus berada di lapangan. Kemudian test kesehatannya di Cimahi, saya juga antar dan bermalam di rumah kawan saya lain. Untung punya banyak teman, jadi tidak harus mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk tempat tidur semalam," ujarnya.
Usaha tidak hanya sampai di situ. Gozali dan istri yang merupakan orang Subang asli, setiap malam sholat tahajud. Demikian juga Chalikul, melakukan hal yang sama.
"Ternyata doa kami dijawab Allah, Chalikul diterima. Itu rasanya susah diceritakan mas. Sedih, bangga, terharu, semua campuraduk jadi satu. Bahagia karena di IPDN itu sudah jelas enggak harus cari-cari kerja kalau sudah tamat," ujarnya.
Pasangan suami-istri yang berkenalan saat kursus memijat ini begitu bahagia, karena selama ini mereka bekerja banting tulang agar putra-putri tercinta tak bernasib sama. Caranya, menyekolahkan setinggi-tingginya, walau untuk biaya sekolah sering harus menunggak jika tidak punya uang.
"Penghasilan enggak tentu, kosong seminggu juga pernah. Yang namanya pijat kan enggak kayak makanan.Tapi kami pengin anak-anak lanjut sampai ke perguruan tinggi. Pernah guru nanya kenapa enggak pakai kartu perlindungan sosial. Dia minta ditanyakan ke kecamatan. Tapi ternyata pegawai kecamatan bilang, itu yang mendata dari RT/RW, ternyata enggak terdata," ujarnya.
Mendapati kenyataan tersebut, Gozali tak patah semangat. Hasil doa dan ketulusan kini berbuah manis. Kini Chalikul diterima sebagai praja untuk menjalani pendidikan ilmu pemerintahan dengan dibiayai oleh negara.
"Kalau nanti setelah lulus ditempatkan di luar daerah, enggak apa-apa. Memang harus siap. Di mana saja yang penting sehat. Anak saya nomor dua bernama Khairunnisa Nurul Hidayah. Kini kelas tiga SMA Negeri Jatinangor dan selalu ranking. Ia ingin melanjutkan sekolah ke ITB. Sebetulnya pengin ke IPDN juga, tapi matanya ada minus. Kalau postur badannya tinggi besar," ujarnya.
Kebahagiaan juga dikemukakan Chalikul. Betapa tidak, ia yang bercita-cita ingin menjadi camat sejak masih duduk di SMA Al Maksum Jatinangor ini, masuk IPDN sebagai sebuah berkah luar biasa dari Yang Maha Kuasa.
"Saya masuk IPDN ingin mengurangi tanggungan keluarga. Nilai test waktu itu mencapai 336, batas minimal 250. Sekarang uang saku yang saya peroleh Rp 250 ribu per bulan ditabung dulu. Jadi kalau orangtua perlu nelpon, bisa digunakan," ujarnya. (gir)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tuhan Keliling Kampung Berburu Ayam
Redaktur : Tim Redaksi