jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kepada terdakwa korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Riau 1, Idrus Marham, tidak adil.
Mantan menteri sosial itu divonis tiga tahun penjara, denda Rp 150 juta subsider dua bulan kurungan penjara. Hak politik Idrus Marham juga tidak dicabut.
BACA JUGA: ICW Pertanyakan Hak Politik Idrus Marham Tidak Dicabut
Boyamin menegaskan, seharusnya majelis hakim memutuskan mencabut hak politik mantan sekretaris jenderal (sekjen) Partai Golongan Karya atau Golkar, itu.
“Ini tidak adil. Harus dicabut hak politiknya,” kata Boyamin, Senin (29/4).
Menurut dia, hukuman tiga tahun penjara dan tidak dicabutnya hak politik, itu tak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
BACA JUGA: Batasi Ruang Gerak Sofyan Basir, KPK Surati Imigrasi
Harusnya, Boyamin menegaskan, majelis menjatuhkan hukuman lima tahun penjara, sebagaimana tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selain itu, ujar Boyamin, majelis juga memberikan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama lima tahun setelah selesai menjalani masa hukuman.
“Harusnya vonis lima tahun penjara dan cabut hak politiknya lima tahun setelah menjalani masa hukuman,” ungkapnya.
Karena itu, Boyamin menyarankan KPK agar melakukan banding atas vonis yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Selasa (23/4) lalu tersebut. “KPK harus banding,” tegas Boyamin.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan Idrus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menerima hadiah senilai Rp 2,25 miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo terkait PLTU Riau 1.
BACA JUGA: Mau Tahu Kekayaan Dirut PLN? Ini Datanya di KPK
Baca Juga: Jaksa KPK Ingin Idrus Marham Dijatuhi Hukuman 5 Tahun Penjara
Majelis menyatakan Idrus melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Minggu (28/4), mengatakan, pencabutan hak politik ini untuk menimbulkan efek jera atas perbuatan yang sudah dilakukan.
“Dan untuk mencegah agar orang-orang ini tidak lagi menduduki jabatan publik,” kata dia. Kurnia menjelaskan, pencabutan hak politik diatur dalam Pasal 18 Ayat 1 huruf d UU Tipikor juncto Pasal 10 juncto Pasal 35 KUHP. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Jerat Dirut PLN dengan Kasus Suap PLTU Riau-1
Redaktur & Reporter : Boy