Harapan Baru pada Listrik Sehen

Selasa, 21 Juni 2011 – 03:23 WIB

INILAH perjalanan jauh untuk melihat 100 rumah yang menggunakan Lampu SehenItu adalah listrik tenaga matahari model baru untuk sistem kelistrikan kepulauan

BACA JUGA: Bupati Baru di Kolam Keruh

Desa itu terpencil nun di ujung barat daya Pulau Sumba, NTT.

Sudah lima bulan penduduk menggunakan Lampu Sehen
Sampai saya ke sana pekan lalu, tidak ada keluhan, tidak ada lampu yang mati dan tidak ada instalasi yang rusak

BACA JUGA: Lahirnya Bayi-Bayi Baru dan Mulainya SPPD Berkuota

Itu mengisyaratkan bahwa target ambisius setahun menaikkan ratio elektrifikasi di NTT dari 31 persen menjadi 70 persen pun bisa dicapai.

Setahun ini sudah tiga kali saya ke NTT
Banyaknya orang yang mengatakan "mustahil elektrifikasi NTT bisa mencapai 70 persen akhir tahun ini" membuat saya sering ke sana

BACA JUGA: Perlu Revolusi Mental Tahap Kedua

Apalagi saya juga terikat sumpah harus mewujudkan proyek listrik panas bumi (geotermal) Ulumbu (Ruteng) yang sangat lama macet itu.

Perjalanan panjang kali ini saya mulai dari KupangDari bandara, malam itu saya langsung ke proyek PLTU Kupang yang lama tersendatSaya kaget, gubernur dan wakil gubernur menyambut di bandaraPasangan kepala daerah yang sangat rukun tersebut (di banyak daerah terjadi "perang dingin") memang sangat merindukan listrik NTT maju.

Pagi-pagi kami sudah terbang ke Kecamatan Kangae, Sikka, FloresItulah kecamatan pertama di Indonesia yang seluruh pelanggan listriknya menggunakan sistem prabayar, sehingga mendapatkan rekor MuriSampai-sampai, Wakil Bupati Sikka dr Wera Damianus iri"Kampung kelahiran saya sendiri sampai hari ini belum berlistrik," katanya.

Dia bercerita, betapa menderitanya penduduk Pulau Palue, tempat kelahirannya tersebutBukan hanya tidak ada listrik, tapi juga tidak ada sumber airSudah dicoba dibor, tidak pernah berhasilPenduduk sepenuhnya bersandar pada air hujanPadahal di sana lebih sering kemarauUntuk itu, tiap rumah harus punya paling tidak tiga pohon pisang

Dari pokok pohon pisang yang dilubangi itulah air untuk minum dan masak didapatPisang pun menjadi simbol kehidupan di Palue"Kalau ada perjaka yang minta kawin, biasanya ditanya: Memangnya sudah mampu menanam berapa pohon pisang?" tuturnya.

Setelah mendengar itu, saya bertekad Pulau Palue harus berlistrik akhir tahun iniDari Kangae, saya langsung ke Sumba, sebuah pulau yang besarnya tiga kali Bali, tapi penduduknya amat jarangLebih banyak jumlah kudanya.

Mendarat di Kota Waingapu, kami langsung menelusuri jalan darat menuju Waitabula/Tambolaka di pantai barat SumbaPerjalanan itu sebenarnya bisa ditempuh enam jamNamun, kami harus membelok dulu memasuki padang savanna yang luas di tengah pulauSaya ingin tahu lokasi pembangkit listrik tenaga air yang segera dibangun.

Pencarian lokasi itu ternyata tidak mudahKami sempat tersesatDi padang savanna tersebut tanda untuk sebuah lokasi hanyalah bukit dan rumputPadahal bentuk bukit dan jenis rumputnya mirip semuaPadahal entah berapa bukit yang harus dilampauiSesekali memang terlihat penunggang kuda sandel yang kepalanya timbul tenggelam di sela-sela rumput di kejauhanNamun, karena kudanya terus berlari, tidak bisa juga dipakai patokan arahBegitu lamanya mencari jalan memutar itu sehingga ketika senja tiba kami masih di savanna.

Diam-diam saya mensyukuri ketersesatan ituBisa menikmati senja yang menakjubkanSejauh mata memandang, hanya ada savannaTidak terlihat satu pun kampung atau bangunanBerada di tengah-tengah savanna tersebut, saya merasa seperti berada di pedalaman IrlandiaSama sekali tidak menyangka ini di pedalaman Sumba! Apalagi udaranya sekitar 18 derajat Celsius! Alangkah sejuknya!

Keindahan itu meningkat menjadi ketakjuban manakala dari kaki langit yang cerah tersebut menyembul bulan yang kebetulan lagi purnamaBegitu menornyaSeperti wajah Malinda Dee di pentas peragaan kebaya! Uh! Tersesat yang menyenangkanTidak menyangka sore itu saya bisa menikmati alam seasli-aslinyaSavanna yang seperti penuh misteriGoyangan rumputnyaBayangan bukitnyaTemaram cahaya purnamanyaMenyatu di keluasan cakrawala bumi manusia yang langka!

Ada yang membuat saya lebih bersyukurSaya baru terhindar dari cederaSetengah jam sebelum memasuki savanna itu, mobil yang saya kemudikan menabrak mobil di depanRingsekHarus diderek kembali ke Waingapu

Sebenarnya saya sudah mencoba mengerem sekuat tenagaTapi, kecepatan mobil berbanding jaraknya tidak memadai lagiAspalnya pun dilapisi debu tebal dari bukit kapur yang sedang dibongkar di tebing jalanKapur itulah yang membuat ban tidak bisa mencengkeram aspal dengan sempurnaSaya juga tidak mungkin membanting setir mobil ke kiri karena akan menabrak tebing.

Saya menyadari kesalahan sayaSaya tidak tarik rem tanganRefleks itu tidak munculMungkin sudah lelah karena sudah hampir dua jam mengemudiMobil di depan saya itu terhenti mendadak karena menabrak truk dari arah depanDua mobil ringsek.

Pukul 22.00 kami baru tiba di kota kecil Waikabubak, Sumba BaratNamun tidak bisa segera beristirahatHotel sederhana di situ lagi penuhHarus mencari kota kecil berikutnya yang jaraknya sekitar sejamSekalian mencapai tujuan akhir perjalanan malam itu: Tambulaka.

Bagi yang merasa baru sekali ini mendengar nama Tambulaka, baiknya ingat peristiwa Adam AirPesawat dengan lebih dari 200 penumpang yang tersesat dan kehilangan arah tersebut akhirnya bisa mendarat di suatu daerah terpencilYa Tambulaka itulah yang dimaksudWaktu itu sang pilot sebenarnya hanya ingin mendarat darurat di pantai pasir putih yang panjang "entah di pulau apaTapi, begitu mendekati pantai, terlihatlah ada bandara kecilItulah Bandara Tambulaka.

Salah satu desa pengguna Lampu Sehen yang sedang kami promosikan berada di 10 km dari bandara tersebutNama Sehen (super ekonomi hemat energi) diciptakan PLN karena sistem itu memang belum ada namanyaSehen-lah yang mengakhiri riwayat hidup lampu petromaks di desa ituDan kelak di seluruh Sumba bahkan di banyak pulau Indonesia.
 
Dengan Lampu Sehen, masing-masing rumah seperti memiliki pembangkit listriknya sendiri-sendiri, memiliki trafonya sendiri-sendiri, dan memiliki jaringan kabelnya sendiri-sendiriDengan Sehen, tidak ada lagi lampu mati karena travo meledak, karena kabel penyulang terganggu, atau karena tiang listrik robohDengan Lampu Sehen juga tidak ada pencurian listrik, tidak ada pembaca meter, dan tidak ada tagihan yang salah.

Dengan Lampu Sehen, Desa Karuni langsung berubahDesa asli dengan budaya Sumba yang unik itu tidak lagi gelap gulitaRumah-rumahnya tetap rumah panggung dengan dinding kayu dan atap daun rumbia, tapi ada peralatan modern di atas atapnyaSebuah panel kecil yang kalau siang menyerap tenaga matahariTidak perlu baterai khusus karena alat penyimpan listriknya sudah ada di dalam bola lampu itu sendiri.

Setiap rumah mendapat jatah tiga bola lampuMasing-masing 220 lumenIstilah "lumen" tersebut harus mulai dihafal karena untuk tenaga surya tidak menggunakan satuan wattTingkat terang 220 lumen hampir setara dengan 40 wattSangat terang.

Tiap-tiap bola lampu dilengkapi benang penarik untuk on/offBenang penarik itu juga berfungsi untuk mengubah lumenMereka menyalakan lampu tersebut mulai pukul 17.00 dengan menarik benang sekali tarikanPada pukul 23.00 atau menjelang tidur, mereka menarik benang sekali atau dua kali lagi untuk mengurangi terangnya cahaya sekaligus menghemat setrumnya.

Yang membuat penduduk senang-senang-geli, bola lampu tersebut bisa dipetik dari tempatnya untuk dibawa ke mana-mana dalam keadaan menyalaDi sinilah serunyaSetiap ada perhelatan di desa itu, tidak perlu lagi menyewa genset seperti duluCukuplah masing-masing undangan membawa lampunya sendiri-sendiri untuk kemudian dicantelkan di mana saja di lokasi perhelatanKalau ada 50 undangan yang datang dan masing-masing membawa satu Sehen, terangnya bukan main.

Sudah lima bulan Lampu Sehen berfungsi dengan baikMenyenangkanIni tidak akan sama dengan proyek yang pernah dikembangkan di beberapa kementerian yang kemudian menimbulkan perkara korupsi ituLampu Sehen tersebut tetap milik PLN, diurus oleh orang PLN, dirawat oleh PLN, dan ditagih oleh PLNTidak akan terjadi penduduk bisa menjual Lampu Sehen-nya.

Masih ada plus yang lainDi setiap "desa Sehen", PLN memberikan satu set TV berbasis tenaga surya 21 inciBerikut parabolanyaTV itu diletakkan di plaza, eh gubuk, terbuka di depan rumah pak RTMalam itu teman-teman PLN sempat nonton TV bersama penduduk yang ternyata sangat menyenangi sinetronMereka juga ketagihan film IndiaMaklum, meski di desa yang begitu jauh, mereka bisa menonton 28 channel dengan kualitas gambar yang sempurna.

Hanya, menonton sinetron atau film India sebenarnya terserah selera pak RT karena pak RT-lah yang memegang remote control-nya(*)


Dahlan Iskan
  CEO PLN
 
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nuklir Tidak Habis Pikir


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler