jpnn.com - SURABAYA - Peralihan kewenangan SMA/SMK ke provinsi akan berlangsung pada 1 Januari 2017 mendatang.
Namun, peralihan itu masih menjadi polemik.
BACA JUGA: Nih, E-KTP Sudah Jadi, Buruan Ambil
Surabaya masih belum punya pegangan untuk tetap membiayai SMA/SMK gratis.
Hal itu terjadi karena pandangan gubernur Jatim dan wali kota Surabaya berseberangan. Waktu kian menipis.
BACA JUGA: TKA Harus Bisa Bahasa Indonesia, tak Boleh jadi Pekerja Kasar
Jika tidak ada solusi, SMA/SMK Surabaya bakal berbayar.
Gubernur Jatim Soekarwo mempersilakan Surabaya memberikan bantuan. Namun, bukan pada provinsi.
BACA JUGA: Lecehkan Tokoh NU, Pejabat dan Guru Disomasi
Melainkan ke sekolah atau siswa secara langsung. Masalahnya, belum ada formulasi hukum yang memungkinkan mekanisme seperti itu.
Satu-satunya mekanisme yang bisa diambil ialah bantuan langsung dari provinsi.
Namun, Soekarwo tidak mau menerima bantuan itu. Sebab, provinsi merasa mampu menjalankan kewenangan.
"Prinsipnya itu boleh. Tapi, ada regulasinya. Harus ke Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri, Red)," kata pria asal Madiun tersebut.
Soekarwo sudah menyuruh Kabiro Hukum Pemprov Jatim Himawan Estu Bagijo untuk mengundang pihak Pemkot Surabaya.
Dalam hal ini, Kepala Bagian Hukum Pemkot Surabaya Ira Tursilowati dan perwakilan DPRD Surabaya dari komisi A dan D.
Hingga kemarin, pertemuan tersebut belum terlaksana.
Pria yang juga menjabat ketua DPD Partai Demokrat Jatim itu menerangkan, cantolan hukum harus ada.
Jika tidak, sekolah atau siswa yang menerima bantuan bisa terkena tuntutan ganti rugi (TGR).
"Kan kasihan kalau sudah diberi, tapi disuruh mengembalikan," ujar Soekarwo setelah menghadiri rapat paripurna di DPRD Jatim, kemarin.
Bila bantuan langsung tersebut disetujui Kemendagri, lanjut Soekarwo, DPRD Surabaya tetap bisa menjalankan fungsi kontrol.
Sebab, anggaran tersebut disahkan DPRD. "Kan pertanyaan kemarin, apakah DPRD boleh mengontrol? Boleh," kata dia.
Kabiro Hukum Pemprov Jatim Himawan Estu Bagijo menjelaskan, mekanisme yang bisa diambil Surabaya ialah hibah.
Namun, hal itu masih memerlukan persetujuan dari Pemkot Surabaya.
"Kita tidak berani memutuskan. Yang punya uang kan mereka. Hari ini baru evaluasi APBD 2017," katanya.
Kabag Hukum Pemprov Surabaya Ira Tursilowati membenarkan bahwa pihaknya belum mengonsultasikan formulasi ke pemerintah provinsi.
Rencananya, dia baru melapor hari ini.
"Tak konsultasi sama Pak Himawan dulu," ujar Ira saat ditemui setelah rapat dengan Komisi B DPRD Surabaya.
Ira tergesa-gesa menuju mobilnya. Dalam perjalanan menuju lobi DPRD Surabaya, dia mengatakan telah mengikuti rapat evaluasi APBD 2017 Surabaya di Pemprov Jatim. Pertanyaannya, apakah anggaran bantuan operasional pendidikan daerah (bopda) dicoret provinsi? "Enggak. Masih ada," ujarnya, lalu bergegas masuk ke mobil.
Wakil Ketua DPRD Surabaya Masduki Toha yakin masih ada harapan SMA/SMK Surabaya tetap gratis.
Anggaran bopda yang tidak dicoret bisa digunakan untuk pembiayaan. Namun, mekanismenya harus diubah.
"Mekanismenya menunggu ketemu biro hukum pemprov," kata politikus PKB tersebut.
Setelah ditemukan formulasi, pemkot bersama DPRD membenahi APBD 2017 yang sudah dievaluasi.
Pemkot memiliki waktu tujuh hari untuk menyelesaikan.
Masduki merasa ada ego politik dari gubernur Jatim dan wali kota Surabaya.
Setelah ada rekomendasi dari Kemendagri nanti, dia berharap dua kepala daerah tersebut bisa legawa.
"Jangan dibuat berlarut-larut. Kasihan warga Surabaya," ujarnya.
Sementara itu, selama ini besaran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) di SMA/SMK kabupaten/kota di Jawa Timur berbeda-beda.
Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Saiful Rachman mengatakan, keragaman SPP nanti disesuaikan dengan kebutuhan sekolah dan daerah masing-masing.
"SPP tiap daerah bisa berbeda. Namun, tetap terkontrol," tuturnya.
Meski membayar SPP setiap bulan, tidak ada lagi penarikan untuk uang gedung atau iuran kegiatan lainnya.
Menurut dia, semua biaya sudah menjadi satu dengan SPP. Dalam rapat tahun pelajaran baru, kepala sekolah harus sudah merancang kebutuhan anggarannya.
Rencana kerja dan anggaran sekolah (RKAS) itu dibicarakan dengan wali murid atau komite sekolah dan guru.
RKAS yang diajukan sekolah tersebut sudah mengatur semua kebutuhan sekolah. Dispendik Jatim akan mengoreksinya.
RKAS yang diajukan juga harus realistis. Pihaknya tidak segan untuk mencoret rencana kegiatan yang tidak realistis atau mengada-ada.
Misalnya, sekolah yang mengajukan anggaran setahun Rp 8 miliar.
Logikanya, jika sekolah memiliki seribu siswa dengan besaran SPP Rp 150 ribu dan dana BOS Rp 1,4 juta per tahun, anggarannya dalam setahun tidak sampai Rp 3 miliar.
Nah, pihaknya akan mencoret kegiatan-kegiatan yang tidak realistis.
"Buat apa anggaran sebanyak itu. Itu mengada-ada, harus rasional sesuai kebutuhan," tegasnya.
Kebutuhan yang sudah ditentukan selama setahun akan dikurangi dengan bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat.
Sisanya dibagi dengan 12 bulan menjadi SPP. Saiful menegaskan, anggaran harus rasional sehingga tidak membebani masyarakat terlalu banyak. Tarikan di luar SPP harus diminimalkan.
"Namun, yang terpenting, kualitas pendidikan harus tetap dijaga. Delapan standar pendidikan juga harus tetap terpenuhi," ungkapnya.
Yang tidak kalah penting, siswa tidak mampu juga pasti menjadi perhatiannya. (sal/puj/c7/dos/flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Parah! Pertambangan Ilegal Menjamur, Jalanan Rusak
Redaktur : Tim Redaksi