Harkitnas sebagai Momentum Kebangkitan Literasi & Pendidikan

Oleh Dian Budiargo*

Sabtu, 20 Mei 2023 – 07:07 WIB
Dian Budiargo. Foto: dokumentasi pribadi untuk JPNN.com

jpnn.com - SETIAP Mei terdapat dua hari besar nasional yang sangat memberikan makna bagi Indonesia, yakni Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).

Hardiknas diperingati setiap 2 Mei -diambil dari tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara. Menurut Bapak Pendidikan Nasional tersebut, pengajaran dalam pendidikan memiliki pengertian yang luas, yaitu upaya membebaskan anak didik dari ketidaktahuan serta sikap iri, dengki, dan egois.

BACA JUGA: Ibu Sebagai Sumber Awal Kemampuan Literasi

Dari pengertian tersebut, pendidikan mengandung pemahaman yang sangat luas. Hal ini sangat sesuai dengan kata-kata yang tertera pada slogan Hardiknas 2023, yaitu 'Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar'.

Temanya memang sederhana, tetapi tidak simpel dalam implementasinya. Filosofi yang termaktub tak lekang oleh zaman, tetap bisa diterapkan dalam kondisi apa pun, tidak terkecuali di era digital saat ini.

BACA JUGA: Inilah Sistem Demokrasi Indonesia

Di sisi lain, kebangkitan nasional dimulai pada 1908 dengan pendirian Budi Oetomo yang diprakarsai oleh Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Dr. Soetomo. Tujuan utama Budi Oetomo ialah meraih kemerdekaan.

Pidato Presiden RI Joko Widodo dalam pertemuan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri seluruh Indonesia pada 14 September 2021 memuat dua kata yang menyentak, yaitu agar perguruan tinggi melahirkan mahasiswa yang unggul dan utuh

BACA JUGA: Andai Aturan Main Berubah di Tengah Pertandingan

Dari dua kata itu diharapkan lahir anak-anak bangsa yang mampu membawa Indonesia tangguh dan tumbuh sesuai slogan kemerdekaan ke-76 RI. Bila kita tangguh, Indonesia akan pulih lebih cepat dan tumbuh untuk bangkit, khususnya dari pandemi Covid-19 yang menerpa seluruh penjuru dunia.

Slogan tersebut merupakan pesan untuk kita semua, khususnya para pendidik, untuk bersama menghadapi Indonesia Emas 2045. Pendidik, sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

Oleh karena itu, pendidik menjadi bagian sangat penting dalam memotivasi kita semua khususnya peserta didik dalam menumbuhkembangkan rasa persatuan dan kesatuan. Harkitnas pada 20 Mei ini adalah momen tepat untuk mengingatkan kembali tugas dan tanggung jawab kita semua.

Pendidikan, Literasi, dan Budaya
Pandemi covid mengajarkan banyak hal kepada kita semua bahwa teknologi begitu berperan dalam kelancaran pendidikan, mulai tingkat anak-anak, remaja, hingga dewasa. Pembelajaran secara daring pun menjadi salah satu metode pembelajaran yang diterapkan untuk pendidikan jarak jauh.

Kondisi ini membawa kita harus mampu beradaptasi dengan kehidupan di era digital. Berinteraksi secara virtual meniadakan konteks atau disebut dekontekstual (Sri, 2010), padahal konteks dapat memberikan gambaran utuh terhadap nilai dan budaya disekitarnya.

Penanaman nilai dan budaya bisa digulirkan melalui komunikasi yang efektif dalam proses interaksi secara virtual. Teori kehadiran sosial (Short, J. A., Williams, E., & Christie, B. ,1976) berpendapat bahwa kehadiran kita dalam berkomunikasi memberikan makna bagi setiap interaksi.

Oleh karena itu, walau interaksi terjadi secara virtual tanpa perjumpaan fisik, interaksinya tetap bisa dibangun dengan baik. Interaksi virtual bukanlah hambatan tatkala kita sadar, mampu, dan mau untuk berada di dalamnya.

Kita harus mampu hidup berdampingan dalam eksoistem digital, sehingga melahirkan manusia cerdas yang memiliki olah pikir, olah rasa, olah karsa seimbang. 

Kemampuan kita sebagai pendidik pun harus dapat menciptakan generasi yang bukan saja pintar, melainkan juga harus cerdas dengan didasari kemampuan digital memadai yang dibarengi dengan etika, keamanan, dan budaya (Kominfo, 2023).

Data dari Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 menunjukkan Indonesia menempati posisi ke-62 dari 70 negara dalam hal literasi. Artinya, Indonesia termasuk dalam 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.

Menurut glosarium UNESCO, literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, mencipta, berkomunikasi, dan menghitung, menggunakan bahan cetak dan tertulis yang terkait dengan berbagai konteks.

Dari definisi tersebut dapat ditarik makna bahwa kemampuan literasi yang bagus akan membuat kita semua mengerti, memahami, dan mampu memutuskan yang terbaik dengan baik dan benar. Salah satu cara meningkatkan kemampuan literasi ialah melalui budaya membaca.

Dengan tingkat literasi yang tinggi, kita menjadi manusia yang merdeka. Konsep  ?“Matthew effect” yang dicetuskan Robert Merton (1968) dan diadopsi oleh psikolog Keith Stanovich (2020) menjelaskan bahwa kemampuan membaca kita akan mengantar menuju sukses.

Membaca adalah bagian penting dalam membangun literasi, sehingga tingkat literasi dengan informasi yang makin tinggi  akan menghasilkan keberhasilan yang tinggi. Hal ini mengingatkan kita pada Hari Buku Nasional yang diperingati setiap 17 Mei

Menebar makna dalam ekosistem digital
Ekosistem digital dapat membantu kita membangun hubungan baik antarmanusia, lembaga, ataupun organisasi (Bennett, 2017).

Adapun Dianna & Torrance (2019) mengungkapkan bahwa ekosistem digital merupakan suatu jaringan atau hubungan yang kompleks secara online dalam interaksi digital yang dapat membangun nilai-nilai bagi semua.

Dari dua pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa ekosistem digital adalah suatu ekosistem atau area di mana terjadi interaksi dan saling keterhubungan antara semua elemen di dalamnya yang dapat membangun, memelihara, dan memantapkan nilai-nilai dalam lingkungan tersebut. E

kosistem digital dapat dilihat dari 5 komponen, yaitu teknologi, saluran, pengguna, strategi, dan budaya (Adam,2019). Kelima komponen ini harus saling berhubungan dan ada ketergantungan.

Sebagai contoh ialah tatkala teknologi berkembang dengan pesat, hal itu harus dibarengi dengan kemampuan penggunanya dalam memanfaatkan atau menerima perkembangan teknologi itu sendiri. Tentu hal tersebut memerlukan strategi dalam mewujudkannya, karena kemampuan beradaptasi dengan teknologi harus dibarengi dengan kesadaran akan budaya dan nilai-nilai yang ada disekitarnya.

Pada 2045, Indonesia berada pada tahun emas. Pada tahun tersebut Indonesia mendapat bonus demografi, yakni jumlah penduduk dengan proporsi 70 persen di antaranya dalam usia produktif.

Namun, itu masih 22 tahun lagi. Meski demikian bila saat ini nilai-nilai kebangsaan tidak mulai dibangun, siapa yang akan menjaga wilayah nusantara tercinta ini?

Oleh karena itu, pendidikan menjadi kunci utama untuk mewujudkannya. Siapa yang bertanggung jawab?

Jawabnya ialah kita semua. Kita adalah pendidik bagi orang di sekitar kita.

Salah satu strategi yang bisa digunakan adalah membangun kembali jiwa persatuan dan kesatuan bangsa dalam momen Harkitnas. Menumbuhkan semangat persatuan, kesatuan, dan memahami makna terhadap wilayah nusantara  harus terus digaungkan, sehingga generasi penerus  mampu sebagai pagar bangsa untuk menjaga Indonesia tercinta.

Bila semua ini bisa diimplementasikan, kita akan menjelang 2045 dengan penuh optimisme karena Indonesia diisi dengan insan generasi penerus bangsa yang cerdas dan sadar arti penting literasi informasi serta memiliki semangat yang tinggi kita akan bangkit dan lebih kuat.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional dan salam literasi.(***)

*Penulis adalah komunikasi pendidikan/dosen senior Universitas Terbuka

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menuju Pendidikan Berkeadaban


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler