Hilangkan Penyadapan, Ibarat Gelar Karpet Merah untuk Koruptor

Jumat, 19 Februari 2016 – 13:27 WIB
Hamdi Muluk. Foto: Dokumen JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Jawa Barat, Komariah Emong menyarankan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak usah direvisi. 

Menurut Komariah, UU yang ada masih diperlukan agar KPK dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan cepat.

BACA JUGA: Ivan Haz Tersangka? Begini Penjelasan Polisi

Ia pun tak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dipersoalkan. Menurut dia, dengan kewenangan penyadapan selama ini KPK dapat mengungkap lebih banyak kasus suap, gratifikasi. 

"Termasuk perbuatan perencanaan korupsi," tegas Komariah, Jumat (19/2).

BACA JUGA: Profesor dan Akademisi Dukung KPK Tolak Revisi

Ia menambahkan, pengungkapan kasus-kasus suap akhir-akhir ini tidak terlepas dari penelusuran lewat penyadapan. "Hasilnya sangat memuaskan. Instansi lain yang punya kewenangan serupa sampai sekarang masih kurang greget," ujarnya.

Karenanya, sekali lagi ia menegaskan tak perlu direvisi karena KPK masih cukup kuat dengan UU yang ada sekarang. 

BACA JUGA: Agar Dilirik Eropa, Kemenpar Kolaborasi Branding ASEAN di ITB Berlin

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Borobudur, Jakarta, Prof Faisal Santiago mengatakan, yang  perlu menjadi catatan adalah UU KPK merupakan senjata utama KPK.

Menurutnya, penyadapan dan tiadanya kewenangan mengeluarkan surat perintah penghetian penyidikan merupakan senjata utama dan sekaligus memastikan kualitas penanganan perkara KPK. 

"Menghilangkan kewenangan tersebut ibarat menggelar karpet merah bagi koruptor," tegasnya. 

Menurut dia, dengan menghilangkan kewenangan tersebut juga sama artinya memberikan fasilitas dan kemudahan bagi koruptor. Sehingga, kata dia,  merevisi UU KPK dengan menghilangkan atau mengurangi kewenangan penyadapan serta memberikan kewenangan SP3 hanya sebagai upaya mencabut gigi taring KPK dalam membongkar kasus korupsi di Indonesia.

"Semangat melakukan Revisi UU KPK itu secara ideal substansinya juga harus benar-benar memperkuat KPK, tapi kalau faktanya lebih banyak memperlemah KPK sebaiknya tidak usah dilakukan Revisi UU KPK," timpal Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia Prof Hamdi Muluk.

Ia menambahkan, dari  sejumlah usulan krusial dalam Naskah Revisi UU KPK  yang ada baik dari pemerintah maupun DPR, terkesan semangatnya memperlemah KPK.

Dia menyatakan, ada tiga hal krusial yang perlu jadi perhatian. Pertama, independensi KPK harus dijaga, keberadaan dewan pengawas mungkin memgurangi independensi KPK. "Cukup komite etik KPK yang diperkuat," ujarnya.

Kedua,  penyadapan itu kekuatan KPK sehingga jangan dihilangkan atau dihambat. Ketiga,  pengangkatan penyidik di luar jaksa dan polisi perlu didorong, untuk mendukung independensi KPK.

"Tidak ada alasan memperkuat KPK dalam Draf Revisi UU KPK yang ada sekarang," tambah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Prof Saldi Isra.

Menurutnya, rencana revisi ini bahkan dapat dikatakan semacam ancaman sistematis untuk melumpuhkan KPK. Keempat butir revisi yakni kewenangan mengeluarkan SP3, izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik di luar aparat penegak hukum, dan pembentukan Dewan Pengawas, makin berpotensi memperkuat upaya pelemahan KPK.

"Satu-satunya harapan berada pada Presiden Joko Widodo," ujarnya.

Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo pertama-tama harus melakukan konsolidasi semua partai politik pendukung pemerintahan Jokowi untuk menolak rencana Revisi UU KPK. 

Kedua, Presiden Joko Widodo harus memastikan menteri yang mewakili di DPR benar-benar sejalan dengan sikap Presiden. "Ketiga, Presiden harus menolak memberikan persetujuan bersama," tegas Saldi. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kiai Maman Minta Predator seperti Ipul Dihukum Berat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler