jpnn.com - Kasus sodomi di Taman Kanak-kanak Jakarta International School (JIS) hanyalah puncak gunung es dari tindakan monster yang bernama paedofil. Orang yang mempunyai selera seksual terhadap anak kecil ini sudah lama hidup dan terus memangsa korbannya.
Setelah di JIS, muncul pula paedofil bernama Emon alias Andi Sobari di Sukabumi, Jawa Barat. Ganasnya lagi, data yang dirilis Polri hingga Selasa (6/5) korbannya sudah lebih dari 100 korban.
BACA JUGA: Inalum Sudah Bisa Lari
Kekerasan seksual yang dialami bocah tak berdosa ini sudah menyebar dihampir seluruh wilayah. Mabes Polri merilis 98 kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi di 16 wilayah hukum Kepolisian Daerah di Indonesia. Terbanyak, terjadi di Riau yakni 64 kasus. Selebihnya ada Polda Kalimantan Selatan 13 kasus, Polda DI Yogyakarta tujuh kasus, Polda Jawa Timur dua kasus serta lainnya masing-masing satu kasus.
Seperti apa sikap Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai lembaga negara yang mengurusi perlindungan kepada anak-anak di Indonesia terhadap ancaman monster-monster paedofilia ini. Berikut petikan wawancara JPNN.com, M. Kusdharmadi dengan Ketua KPAI Asrorun Ni'am Sholeh lewat sambung telepon seluler, Rabu (7/5) malam, di Jakarta.
BACA JUGA: Mereka Preman, Bukan Mahasiswa
Kasus kekerasan terhadap anak semakin marak terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Bagaimana KPAI menyikapinya?
Yang pertama memang KPAI tentunya fokus pada pencegahan, penanganan korban. Memang ketika kasus menimpa anak-anak, akan melahirkan efek setidaknya dua hal.
BACA JUGA: Belum Ada yang Usulkan NIP
Pertama, efek medis. Artinya anak perlu penanganan rehabilitasi medis secepatnya. Kedua, efek psikologis. Ini supaya penanganan pemulihan secara psikologis terhadap anak yang menjadi korban bisa secara cepat dilakukan. Point penting ini darurat dan harus segera dilakukan terhadap korban.
Dalam berbagai kasus termasuk di JIS, KPAI masuk pada awal untuk memastikan korban segera ditangani secara baik. Baik aspek medis maupun psikisnya.
Upaya KPAI seperti apa?
Kita langsung kerahkan sumber daya untuk memastikan apakah ada korban lain atau tidak. Ini segera dilakukan jika ada korban lain langsung dilakukan pemulihan aspek medis dan psikisnya. Ini point pentingnya. Jangan sampai aspek di luar kepentingan anak menjadi lebuh dominan, sehingga mengorbankan kepentingan anak itu sendiri. Misalnya karena malu, menutupi aib dan sebagainya, anak dikorbankan.
Seberapa penting peran orang tua untuk berani melaporkan ketika anaknya mengalami peristiwa ini?
Kasus JIS mulanya tidak terlaporkan. Kemudian, kita juga perlu memberikan apresiasi kepada ibu korban karena berani melaporkan. Karena keberaniannya itu kemudian bisa membongkar kasus ini.
Kepentingannya untuk menyelamatkan korban sehingga bisa membuka kotak pandora akan ada korban lain. Nah, dengan dilaporkan ke kepolisian, pelaku juga tertangkap.
Bisa kita bayangkan, ketika tidak ada keberanian ibu korban melaporkan. Sekarang kita bisa lakukan penegakan hukum dan melakukan terapi terhadap anak hingga tuntas.
Ada anak lain yang menjadi korban tapi tidak terdeteksi sehingga trauma sepanjang hayat. Kemudian ada pelaku masih tetap aman dan akan mengancam anak-anak lain. Jika tidak dilaporkan, pelaku aman dan nyaman dan akan melakukan kekerasan lagi kepada anak.
Karena keberanian melaporkan, kasus ini terbongkar. Ini efek positif pemberitaan juga. Sungguh pun kemudian ada elemen masyarakat khususnya JIS dan beberapa orang tua merasa tidak nyaman. Tapi, semua itu ditempuh untuk memberi perlindungan kepada anak yang lebih.
Bagaimana dengan penegakan hukum kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak selama ini?
Instrumen hukum kita disadari masih cukup rendah. Dalam arti masih memberikan ruang karena rendahnya penghukuman terhadap pelaku kejahatan seksual.
Pasal 82 Undang-undang nomor 23 tahun 2012 tentang Perlindungan Anak, mengatur hukuman minimal tiga tahun maksimal 15 tahun.
Norma itu dipandang belum berimbang dengan kerugian yang dialami korban. Dalam proses penegakannya, jarang sekali diterapkan hukum maksimal.
KPAI mendorong adanya langkah progresif aparat penegakan hukum untuk memberikan tuntutan dan putusan yang berkeadilan bagi korban sehingga memberi efek jera bagi pelaku dalam kasus ini.
Apakah KPAI akan mendorong revisi UU Perlindungan Anak, supaya hukuman untuk pelaku kekerasan seksual bisa lebih berat?
KPAI sudah menyampaikan gagasan ini seketika setelah kasus JIS terjadi. Kita ketemu Pimpinan Komisi VIII yang bermitra dengan masalah perlindungan anak untuk melakukan revisi.
Tidak hanya Pimpinan Komisi VIII, tapi juga Pimpinan Badan Legislasi yang kebetulan di Komisi X.
*Apakah sudah ada rancangan revisi UU PA versi KPAI itu?
Sebelumnya KPAI sudah lakukan kajian akademik, untuk draft naskah akademik revisi itu. Sungguh pun butuh penyempurnaan tapi sudah disiapkan dan dikaji.
Setuju tidak kalau pelaku paedofil ini dihukum mati?
Spiritnya hukuman berat untuk memberikan efek jera. Tapi, konstruksi hukuman didasarkan pada ukuran bersikap rasional, berdasarkan perspektif yang komprehensif, tidak hanya faktor emosi. Begitu terutamanya.
Dari sudut pandang KPAI sendiri, apa penyebab maraknya kasus kekerasan seksual ini?
Disamping lemahnya penegakan hukum, materi pornografi, faktor pengasuhan keluarga. Ada semacam kegagapan di tengah perubahan struktur sosial dari garis masyarakat agraris ke masyarakar urban. Atas tuntutan ekonomi semua bekerja pagi, berangkat saat anak-anak masih tidur, pulang anak sudah tidur kembali. Sehingga anak anak dan orang tua masih sangat miskin sehingga perhatian tidak maksimal.
Perkembangan teknologi juga menjadi pencetus?
Lemahnya penegakan hukum dalam konteks paparan materi pornografi dan cyber crime bagi masyarakat ini memberi kontribusi tinggi dalam kasus-kasus seperti ini.
Pengasuhan yang minim. Apalagi kemudian seringkali sebagai penebus rasa bersalah akibat meninggalkan anak miskin pengasuhan dikompensasi hal yang bersifat material. Misalnya anak ditinggal, diberi game, ipad, seolah cukup untuk kompensasi. Tapi diberikan begitu saja sehingga tidak banyak manfaatnya.
Kebanyakan, kasus-kasus bermula dari facebook. Tidak hanya tayangan pornografi. Tapi, tayangan facebook, dan twitter itu bisa jadi pemicu. Temuan polisi terhadap kasus seperti ini tinggi.
Anak diculik, diperkosa, berawal kenal lewat facebook. Anak kenal, chating, mendapat pujian lalu diajak ketemu dan sebagainya. Padahal saat ketemu perilaku orang sebenarnya tidak sama seperti yang dikenal lewat dunia maya. (**)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Honorer K2 Bodong Ditinggal Saja
Redaktur : Tim Redaksi