BACA JUGA: Harta Karun VOC Jadi Buruan Nelayan Muara Angke
”Sudah dipersiapkan sejak Prof MuladiBACA JUGA: Rayakan Ultah, Korps Marinir Gelar Atraksi
Suami Rika Tolentino Kato itu kemarin diperiksa penyidik Kejagung hampir 12 jam sejak pukul 10.00
BACA JUGA: Sulit, 10 % APBN Langsung ke Desa
Meski direncanakan di era Muladi, sistem tersebut baru diterapkan saat Yusril menjabat menteri kehakiman dan HAMItu terjadi setelah banyaknya kritik atas lambatnya proses pemberian status badan hukum di departemen tersebut.Menurut Yusril, sistem tersebut disusun berdasar draf kerja sama antara Koperasi Pengayoman dan pihak swasta, yakni PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) sebagai provider penyedia jasa teknologi informasi”Tapi dari ketua koperasi mengatakan tidak bisa dilakukan karena tidak ada SK menteri,” kata mantan Mensesneg itu.
Apakah itu berarti ide tersebut berasal dari mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita? Yusril menolak untuk menunjuk individuAlasannya, semua menjadi kebijakan institusi”Ini berada pada tingkat jajaran Dirjen dan koperasi,” terang pemeran Laksamana Cheng Ho ituDemikian halnya dengan penunjukan langsung PT SRDMenurut Yusril, penunjukan itu sudah dibahas pada level Dirjen.
Seperti diketahui, kebijakan Sisminbakum didasari SK Menkeh dan HAM NoM-01.HT.01.01/2000 tentang Pemberlakuan Sisminbakum di Ditjen AHUSelanjutnya, ada SK Menkeh dan HAM selaku pembina utama Koperasi Pengayoman No19/K/Kep/KPPDK/X/2000 tanggal 10 Oktober 2000 tentang Penunjukan Pengelola dan Pelaksana Sisminbakum, yakni Koperasi Pengayoman dan PT SRD.
Surat ketiga adalah perjanjian kerja sama antara Koperasi Pengayoman dan PT SRD No135/K/UM/KPPDK/XI/2001 dan No021/Dir/YW-SRD/XI/2000 tanggal 8 November 2000 tentang Penerapan tarif fee aksesJenis surat yang ketiga diketahui dan ditandatangani oleh Yusril selaku pembina utama Koperasi Pengayoman.
Dalam perjanjian kerja sama, 90 persen dari total fee akses menjadi bagian PT SRD, sedangkan 10 persen sisanya diserahkan Koperasi Karyawan PengayomanDari porsi 10 persen itu, 40 persen diterima oleh Koperasi Pengayoman, sedangkan 60 persen sisanya dibagi-bagikan ke beberapa pejabat di lingkungan Ditjen AHUDi antaranya Dirjen AHU Rp 10 juta per bulan, Sesditjen AHU Rp 5 juta per bulan, direktur Rp 2 juta per bulan, dan kepala subdirektorat Rp 1,5 juta per bulan.
Yusril mengaku baru mendengar adanya perjanjian pembagian 40:60 itu setelah kasus biaya akses ramai disidik oleh KejagungTernyata, kata Yusril, setelah dilakukan pengecekan terdapat perjanjian yang ditandatangani delapan bulan setelah persetujuan antara koperasi dan pihak swasta”Kalau perjanjian antara koperasi pusat (pengayoman) dengan Ditjen AHU tidak bisa dilakukan,” tegasnya.
Yusril tetap pada keterangan semula bahwa biaya akses bukan merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)Menurut dia, biaya akses itu adalah cost yang harus dibayar oleh pelanggan, yakni notaris karena mereka menggunakan jalur IT yang dibangun swasta dan koperasi. Dalam kasus yang merugikan negara Rp 400 miliar itu, Kejagung telah menetapkan tiga tersangkaYakni Dirjen AHU (nonaktif) Syamsudin Manan Sinaga, dan dua mantan Dirjen AHU, Zulkarnain Yunus dan Romli Atmasasmita.
Selain memeriksa Yusril, kemarin Kejagung juga memeriksa dua mantan Komisaris PT SRD, yaitu Rukman Prawirasastra dan SoenartoKemudian diperiksa juga Koeshendarto, dirut PT Bhakti Aset Managemen”PT Bhakti ini yang memberikan modal kerja bagi SRD untuk menyelenggarakan Sisminbakum,” kata Kapuspenkum Kejagung Jasman Pandjaitan(fal/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mendagri Serahkan Pamong Award 2008
Redaktur : Tim Redaksi