jpnn.com, JAKARTA - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) membeberkan salah satu kesalahan yang dilakukan pasien Covid-19 saat menjalani isolasi mandiri yang berakibat fatal.
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI dokter Daeng M. Faqih menyebutkan hingga saat ini kesalahan terbesar para pasien isolasi mandiri ialah tidak adanya pemantauan dan pengawasan dari tenaga medis.
BACA JUGA: Mendagri Tegur 19 Kepala Daerah, IDI Mengapresiasi
Menurut dia, pasien isolasi mandiri baru mencari pertolongan dokter atau tenaga medis ketika kondisi benar-benar memburuk dan terlambat untuk ditangani.
“Maka dari itu penting untuk konsultasi rutin hingga sembuh, karena kalau terhubung dengan dokter misalnya lewat layanan telemedisin tentu akan lebih baik penanganannya karena ada pendampingan ahli dan ada juga pemberian terapi obat yang lebih terarah,” katanya seperti dikutip dari Antara, Minggu (25/7).
BACA JUGA: Puji Berbagai Terobosan Pak Ganjar, Ketua IDI Teringat Sosok Jenderal Besar Soedirman
Daeng menyarankan pasien Covid-19 isoman untuk setiap hari saat berkonsultasi pada nakes.
Pengawasan dari tenaga medis dan dokter memang dibutuhkan agar angka kesembuhan Covid-19 pada pasien bisa semakin tinggi dan peluangnya semakin besar.
BACA JUGA: IDI Ditantang Gelar Diskusi Terbuka dengan dr Lois Owien, Mau Enggak ya?
“Hal yang utama dalam konsultasi saat isolasi mandiri itu jangan lupa sampaikan perkembangan gejala, serta hasil observasi mandiri ya mulai dari respiratory rate, suhu, dan kadar saturasi oksigen,” kata dokter Daeng.
Dokter Daeng juga menyebutkan selama isolasi mandiri pasien Covid-19 tidak boleh melakukan kegiatan yang menyebabkan kelelahan pada fisik dan mental.
Pasien boleh berolahraga, namun dalam jumlah yang normal dan tidak mengganggu kadar oksigen di dalam tubuh.
Selama isolasi mandiri, pasien Covid-19 pun tidak perlu merasa panik dan sebisa mungkin selalu berpikiran positif dengan berbagai cara misalnya dengan menghubungi kerabat secara virtual atau bisa juga sambil membaca buku.
Pada saat isolasi mandiri, pasien juga harus mampu mengenali ciri- ciri perburukan gejala.
Selain memantau kadar oksigen dan suhu tubuh pasien bisa mengenali gejala perburukan dengan mengecek jumlah hembusan nafas.
Jika respitatory rate sudah melebihi 24 kali dalam waktu satu menit artinya pasien sudah mengalami durasi nafas yang lebih pendek.
"Itu merupakan gejala gangguan nafas yang seharusnya langsung dikonsultasikan kepada dokter," kata dia.
Dia juga berpesan gejala perburukan juga bisa dilihat dari perasaan sesak nafas atau tertekan yang dialami pasien.
"Meski pasien mendapatkan hasil saturasi di atas 95 persen, namun jika mengalami sesak ada baiknya segera menghubungi dokter untuk kemudian dirujuk ke rumah sakit," beber dia.
Tidak hanya itu, perburukan gejala juga bisa dilihat dari ujung tangan, kaki, dan bibir yang membiru atau dalam istilah medisnya dikenal sebagai cyanosis.
Dokter Daeng meminta jika pasien menunjukkan gejala cyanosis meski tidak merasa sesak dan dada tertekan tetap harus mendapatkan perawatan medis.
Pasalnya, hal itu menunjukkan bahwa tubuhnya kekurangan oksigen.
“Hal- hal seperti itu kebanyakan luput, masyarakat banyak yang belum mengetahui gejala perburukan. Maka penting terhubung dan berkonsultasi ke dokter setidaknya lewat telemedisin agar angka kesembuhan bisa meningkat,” ujar Daeng.
Sebelumnya, IDI menilai layanan telemedisin merupakan solusi yang strategis di masa penanganan pasien pandemi Covid-19.
Nakes pun dapat lebih optimal memantau keadaan banyak pasien dan membantu meringankan beban rumah sakit yang masih cukup banyak merawat pasien- pasien bergejala sedang hingga kritis.
"Telemedisin juga membantu penanganan di hulu dengan cara mempersiapkan sistem untuk sentra- sentra vaksinasi Covid-19 agar sesuai dengan protokol kesehatan dan membantu percepatan distribusi vaksin," kata Daeng M. Faqih. (antara/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
BACA ARTIKEL LAINNYA... PB IDI Sebut STR Dr Lois Sudah Kedaluwarsa
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul