Impor Catat Rekor Baru

Pengembangan Industri Penghasil Bahan Baku Makin Mendesak

Selasa, 03 Mei 2011 – 03:03 WIB

JAKARTA - Pertumbuhan impor terus melaju kencang hingga mencatatkan rekor baruBadan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor Maret mencapai USD 14,48 miliar atau tumbuh 23,23 persen dibanding Februari sebesar USD 11,75 miliar

BACA JUGA: Industri Migas Siapkan Dana CSR Rp250 M

Itu adalah capaian impor bulanan tertinggi sepanjang masa.

Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan, peningkatan impor terutama didominasi kelompok barang baku dengan porsi 73,93 persen dari sebelumnya 72 persen
Sedangkan kelompok barang modal menurun dari 19,8 persen menjadi 17 persen

BACA JUGA: Pertamina EP Sukses Tingkatkan Produksi Blok Ramba

Untuk barang konsumsi, naik dari 7,2 persen menjadi 8,3 persen.

Rusman mengatakan, peningkatan impor bahan baku makin menunjukkan tantangan bagi industri dalam negeri untuk mengembangkan sektor hilir
"Ini tantangan untuk mengembangkan industri hilir yang memproduksi bahan baku," kata Rusman di kantornya, Senin (2/5).

Seperti diketahui, Indonesia banyak mengekspor bahan mentah hasil sumber daya alam

BACA JUGA: Perumnas Nyatakan Siap Bangun Kota Maja

Bahan mentah seperti nikel, tembaga, dan logam mineral lain tersebut diolah oleh negara lain dalam bentuk bahan baku industriAkhirnya, industri manufaktur produsen barang jadi di tanah air harus mengimpor bahan baku.

Rusman menambahkan, terus meningkatnya nilai impor merupakan konsekuensi dari skala ekonomi yang makin besar"Kue PDB (Produk Domestik Bruto) makin besarIni membuat kebutuhan impor juga makin tinggi," kata Rusman.

Akselerasi nilai impor, menurut Rusman, juga disebabkan pencatatan impor yang lebih baikIa mencontohkan, diterapkannya area perdagangan bebas ASEAN-Tiongkok (ACFTA), membuat impor yang sebelumnya ilegal, menjadi tercatatkan"Sekarang kalau sudah zero (tarif nol persen), buat apa diselundupkan," kata Rusman.

Sepanjang Januari-Maret, Tiongkok masih menjadi negara dengan pemasok barang impor terbesar dengan nilain USD 5,30 miliarNegara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat tersebut menguasai pangsa 17,43 persenNegara pemasok terbesar kedua adalah Jepang dengan USD 4,42 miliar dengan pangsa 14,53 persenPosisi ketiga ditempati Thailand dengan USD 2,58 miliar dengan pangsa 8,5 persenThailand menggeser posisi yang selama ini ditempati Singapura.

Neraca perdagangan Indonesia masih surplus USD 1,81 miliarNamun, tren surplus tersebut terus melambatPada Februari, surplus perdagangan masih mencapai USD 2,4 miliar"Memang ada kecenderungan surplus terus menurun," kata Rusman.

Menurunnya surplus perdagangan dipicu pertumbuhan ekspor yang makin kalah jauh dengan imporJika impor Maret tumbuh 23,23 persen dibanding Februari, ekspor hanya tumbuh 13,03 persen atau senilai USD 16,29 miliar.

Ekspor non migas sepanjang Maret terbesar adalah karet dan barang dari karet sebesar USD 201,4 jutaSedangkan penurunan terbesar adalah pada lemak dan minyak hewan/nabati, terutama CPO (minyak sawit), sebesar USD 559,7 jutaRusman mengatakan, penurunan ekspor CPO tersebut disebabkan oleh upaya pemenuhan kebutuhan domestik.

Staf Pengajar FEB UGM Anggito Abimanyu mengatakan, neraca perdangan dengan Tiongkok tidak masalah mengalami defisit, asalkan total perdagangan masih surplus"Asalkan yang diimpor dari China adalah bahan baku," kata Anggito.

Mengenai implementasi ACFTA, Anggito mengatakan memang ada beberapa kelemahan"Ada 228 pos tarif diklaim dalam skema ACFTAJika tidak renegosiasi bisa kalah bersaing dengan China, lalu terjadi banjir produk hingga ke ritel," kata AnggitoIa mengatakan, selama ini juga memang ada indikasi kecurangan perdagangan seperti dumping dan penyelundupan(sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... SBY Minta Pajak Buruh Dikaji Ulang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler