Indonesia Butuh Teknokrat

Rabu, 19 Maret 2014 – 21:53 WIB

PADA 31 Januari 2014, Gita Wirjawan yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan mengejutkan banyak pihak dengan pengunduran dirinya. Ini dilakukannya untuk berkonsentrasi pada karir politik yang baru ia rintis.


Gita--seorang investment banker lulusan Universitas Harvard telah mengubah haluan menjadi pejabat pemerintah--kini sedang berlaga dalam konvensi capres Partai Demokrat. Ia juga orang kepercayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

BACA JUGA: Belajar dari Pemimpin Filipina


Ketika Demokrat sedang didera skandal korupsi dan kelelahan memangku pemerintahan, sosok Gita adalah wajah segar yang memiliki integritas dan kebijakan-kebijakan cerdas.


Langkah-langkahnya kemungkinan bisa mengundang reaksi rival-rival politiknya.

BACA JUGA: Mengapa Bu Risma Tidak Boleh Mundur


Memang, Gita bukanlah satu-satunya teknokrat yang sudah memutuskan untuk menggunakan waktuknya secara penuh  untuk politik.


Sesama kandidat Demokrat (kesemuanya adalah teknokrat) Anies Baswedan, Dino Patti Djalal juga telah meninggalkan karir mereka sebelumnya.

BACA JUGA: Imlek .


Meski demikian, mengingat sentimen negatif masyarakat terhadap politisi, maka para teknokrat ini harus mempertimbangakan kembali semua aspek.


Tapi hal ini memang bukan yang pertama. Ketika Suharto menjadi Presiden RI di 1967 (setelah mengambil alih kekuasaan dari Sukarno di 1965) perekonomian Indonesia waktu itu sangat sulit dan negara ini berada di ambang bencana paceklik.


Lalu, Suharto mengambil langkah bagi pemerintahannya dengan menarik ekonom-ekonom Indonesia lulusan Amerika, yang dikenal dengan "Mafia Berkeley" (karna kebanyakan mereka beralmamater sama).


Anggotanya yang menonjol adalah ekonom yang disegani Widjojo Nitisastro, yang kemudian menjadi Menteri Koordinator untuk Ekonomi, Keuangan dan Industri pada tahun 1973. Ada juga Emil Salim yang menjadi Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan 1978-1983.


Di bawah kendali Mafia Berkeley, Orde Baru Suharto menggantikan kebijakan Sukarno sebelumnya yaitu nasionalisasi dan pinjaman besar-besaran dalam mendukung deregulasi, pengendalian inflasi dan memproduksi anggaran yang seimbang.


Kendati sekarang banyak yang menyalahkan mereka karena gagal mengendalikan ekses Suharto, namun di bawah 'tangan-tangan mereka' Indonesia pernah menikmati tiga dekade dengan rata-rata pertumbuhan ekonominya sekitar 6,5% per tahun antara akhir 1960-an sampai 1997.


Hingga hari ini, Indonesia masih membutuhkan setidaknya kehadiran teknokrat yang seimbang.


SBY telah melebur bersama "kelas" teknokrat tersebut secara ekstensif –Boediono, Chatib basri, Dahlan Iskan dan Sri Mulyani Indrawati. Semuanya memainkan peranan penting dalam pengelolaan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global baru-baru ini.


Namun masa jabatan SBY hampir selesai dan yang mengkhawatirkan adalah apabila pemerintahan selanjutnya--siapapun yang akan memimpin--memilih mengedepankan hubungan politik daripada melihat potensi.


Sebab tidak salah jika mengatakan perekonomian Indonesia meski menjanjikan akan menghadapi tantangan besar ke depan.


Inflasi naik 11,35% pada tahun 2013 karena adanya kenaikan harga bahan pokok, termasuk beras.


Ini menjadi tanda bagi kegagalan kebijakan pangan. Indonesia diketahui sangat antusias dalam mengimplemetasikan pembatasan impor untuk produk pertanian demi melindungi petani lokal.


Namun, kebijakan tersebut tampaknya tidak diiringi dengan upaya-upaya yang langsung meningkatkan produksi pertanian lokal.


Hasil yang tak bisa dipungkiri adalah adanya kelangkaan pangan yang bisa membuat harga naik.


Pada saat yang sama, pendidikan di Indonesia performanya juga sangat menurun, meski anggaran sudah digenjot menjadi USD 30.4 miliar (atau 20% dari seluruh APBN) yang telah tersalurkan untuk tahun lalu.


Tahun 2013, sebuah kontroversi besar mencuat ketika diumumkan bahwa lewat kurikulum baru, anak-anak sekolah Indonesia akan menghabiskan lebih sedikit waktu mereka untuk belajar ilmu pengetahuan, Bahasa Inggris dan Teknologi Informasi (IT) dalam mendukung pembelajaran Bahasa Indonesia dan Agama, serta Pembelajaran Kemasyarakatan.


Sangat jelas, pertimbangan politik tidak dikelola dengan baik oleh orang Indonesia apalagi terkait dengan isu pertanian dan pendidikan.


Ini hanyalah dua contoh kebijakan yang Indonesia harus perhatikan di bawah pelaku pemerintahan yang mumpuni dan jujur.


Lebih lagi ketika ASEAN Economic Community 2015 mulai dekat, dan ketika diberlakukan, maka kompetisi regional menjadi sangat intensif dan akan menjadi terbuka dan sangat  bebas. Terlepas kemana masa depan politik membawa Gita, orang-orang seperti dia  yang dapat mengubah negara ini.


Jadi kesimpulannya, Indonesia membutuhkan lebih banyak teknokrat, juga dua kementerian (Pendidikan dan Pertanian) sangat membutuhkan kepemimpinan profesional demi masa depan Republik yang cerah ke depan.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Banjir Jakarta


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler