Mengapa Bu Risma Tidak Boleh Mundur

Selasa, 04 Maret 2014 – 01:26 WIB
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Foto: dok/JPNN.com

SURABAYA bukanlah kota yang pengecut. Banyak orang Jakarta meremehkan kebersahajaan dan kepribadian yang meledak-ledak pada "Arek Suroboyo".

Sehingga saat walikota Surabaya, Tri Rismaharini (kerap dipanggil "Risma") memiliki momentum – niatan pengunduran dirinya menjadi pukulan keras bagi rencana partai pengusungnya– Ini memperlihatkan seperti adanya skenario yang kompleks dari sebuah kekuatan. 

BACA JUGA: Imlek .

Di satu sisi ada kekuatan pusat, termasuk Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan pimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI-P). Di sisi lainnya, ada kelompok besar masyarakat perkotaan yang paling dinamis  sosial perekonomiannya di Indonesia diwakili oleh Risma.

Tidak seperti kebanyakan warga Jakarta, saya sebenarnya menyukai Kota Pahlawan dengan keterbukaan dan keasriannya. Kota ini sekarang lebih aman, lebih rapi dan lebih sejahtera dibandingkan 12 tahun lalu. Sebagian besar merupakan hasil kerja keras Risma – yang terpilih menjadi walikota wanita pertama di Surabaya.

BACA JUGA: Banjir Jakarta

Risma adalah sosok pemimpin yang tangguh, tak kenal kompromi dan ngayomi –mendedikasikan perhatiannya kepada kepentingan umum warga. Melihat kenyataan bahwa Risma –mantan pegawai negeri sipil yang kemudian terpilih sebagai walikota, ini menunjukkan betapa kedewasaan politik Indonesia terus berkembang.

Di bawah kepemimpinannya, pendidikan gratis dan layanan kesehatan telah disediakan bagi masyarakat miskin. Surabaya jauh lebih hijau, bersih dan dingin: dengan taman-taman di ruang terbuka yang tak terhitung jumlahnya.

BACA JUGA: Kontroversi Kata Allah di Malaysia

Namun Risma tidak bisa terhindar dari persoalan kepentingan, termasuk tidak mudah menghalangi proyek-proyek pembangunan yang diusulkan oleh perusahaan-perusahaan besar di Surabaya. Penolakannya tegas terhadap pembangunan jalan tol tengah kota dan sebagai gantinya ia menginisisasi proyek angkutan massal cepat. Ini adalah salah satu contoh yang menonjol tentangnya.

Lebih lagi, saat serangkaian kematian misterius hewan di Kebun Binatang Surabaya (KBS) mencuat (mengingatkan kita akan misteri pembunuhan hewan di Skandinavia), kemudian mengharuskan pemerintah kota mengambil alih pegelolaan.

Saya sangat gelisah ketika melihat Risma di Metro TV dalam talk show Mata Najwa, dimana pertama kali pembicaraan pengunduran dirinya mengemuka. Mengenal Risma bertahun-tahun lalu, saya sangat terkejut dengan pengakuannya. Kenyataan yang menyedihkan bahwa walikota ini juga mendapat tekanan dari orang dalam.

Penguasa di Surabaya jelas tidak nyaman dengannya. Hanya beberapa bulan setelah terpilih pada tahun 2010, Risma menghadapi upaya pemakzulan yang diusung parlemen daerah karena keputusan menaikkan pajak reklame. Untungnya, gelombang dukungan publik dan intervensi Megawati Soekarnoputro meredakan ancaman tersebut.

Sayangnya, Risma kemudian disandingkan dengan wakil walikota baru, Wisnu Sakti Buana yang menggantikan Bambang D.H –yang maju untuk pemilihan gubernur namun gagal. Ironisnya, Wisnu adalah salah satu yang mengusulkan pemakzulan Risma ketika ia menjabat sebagai Wakil ketua DPRD.

PDI-P secara alami menolak penilaian masyarakat bahwa Risma dan Wisnu saling tidak menyapa. Ada juga isu yang muncul bahwa ini bagian konspirasi untuk melemahkan partai.

Risma belum sepenuhnya membantah kemungkinan dirinya untuk mengundurkan diri. Warga Surabaya saat ini mendukung Risma di jalan-jalan dan publikasi online lewat tagar #SaveRisma.

Apapun kebenaran yang ada di belakang masalah Risma, akan sangat disayangkan jika karir politiknya harus berakhir lebih cepat. Dia adalah simbol yang menunjukkan bahwa politik bukan hanya "cara cepat menjadi kaya" dan juga menunjukkan bahwa perempuan Indonesia bisa menjadi kekuatan yang luar biasa bagi perubahan. Disamping itu, dia bisa menjadi salah satu kisah sukses terbesar PDI-P. Seperti halnya Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, Risma adalah bukti bahwa orang-orang berbakat bisa berperan serta di Republik ini.

Kontroversi yang membelit Risma telah membuka jendela baginya menjadi figur nasional. Tidak mengherankan jika banyak partai politik mengincarnya sebagai kandidat wakil presiden di pemilu nanti. Satu harapan yang PDI-P sadari (selain kekuatan besarnya adalah sumber daya manusia)  adalah betapa berharganya Risma dalam pertempuran politik ke depan.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Urban Villagers


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler