jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Divisi Monitoring dan Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyatakan, tindak pidana korupsi yang dilakukan anggota DPR tak mengenal istilah pendukung pemerintah ataupun oposisi. Hal itu juga berlaku pada kasus rasuah e-KTP.
Emerson menyatakan hal itu guna merespons polemik antara PDI Perjuangan dan Partai Demokrat. Sebelumnya, Setya Novanto yang menjadi terdakwa e-KTP menyebut dua elite PDIP di DPR 2009-2014, Puan Maharani dan Pramono Anung menerima uang masing-masing USD 500 ribu.
BACA JUGA: PDIP Tidak Bermaksud Menyudutkan Demokrat soal e-KTP
Namun, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menepis hal itu. Hasto mengatakan bahwa partainya pada 2004-2014 menjadi oposisi bagi pemerintah yang kala itu dipimpin Partai Demokrat.
"Dalam konteks korupsi enggak pernah kenal partai oposisi atau pendukung pemerintah. Semua pihak biasanya dapat rata, kalau enggak rata, pasti ada letupan kecil," kata Emerson dalam diskusi bertajuk Ngeri-ngeri Setnov di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (24/3).
BACA JUGA: Novanto tak Patut Diberikan Status Justice Collaborator
Emerson lantas memaparkan perkara korupsi yang serupa dengan kasus e-KTP lantaran melibatkan semua fraksi di DPR. Kasusnya menjerat mantan anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putra.
Mantan legislator PDIP itu terbukti bersalah karena melakukan korupsi pada proyek pembangunan jalan milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di Maluku dan Maluku Utara. Suap proyek itu ternyata merata ke semua fraksi.
BACA JUGA: Setnov Sebut Puan Terima Uang, Masinton: Bagian dari Drama
"Dalam kasus korupsi proyek Kementerian PUPR di Komisi V DPR itu, menurut Damayanti semua fraksi terima. Ada pembagian antara koordinator fraksi dan anggotanya. Dalam konteks korupsi tidak ada yang terima hanya yang dukung pemerintahan," tandas dia.(tan/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dorong Audit Forensik untuk Membongkar Skandal E-KTP
Redaktur : Tim Redaksi