jpnn.com - JAKARTA - Hakim Konstitusi Arief Hidayat berhalangan hadir dalam sidang pembacaan putusan dari uji materi UU MD3 nomor 17 tahun 2014 di Gedung MK, Jakarta pada Senin, (29/9). Meski demikian ia sudah menitipkan pertimbangan pendapatnya yang berbeda dari hakim konstitusi lainnya (dissenting opinion).
Perbedaan pendapat Arief ini dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva. Sama dengan Hakim Maria Farida yang juga memilih dissenting opinion, Hakim Arief pun setuju bahwa undang-undang itu layak digugat.
BACA JUGA: Spanduk di Gedung DPR: Tak Ada Rp 5 M, tak Mekar
"Saya menilai mekanisme pemilihan Pimpinan DPR dan alat kelengkapannya yang selalu berubah-ubah dalam setiap Pemilu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum," ujar Arief dalam pertimbangan yang dibacakan Hamdan.
Menurut Arief, pergantian ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf i UU PPP yang salah satunya menyatakan bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas ketertiban dan kepastian hukum.
BACA JUGA: Pensiun dari Presiden, SBY Diprediksi akan Ditinggal Kader
Mekanisme pemilihan Pimpinan DPR dan alat kelengkapannya yang selalu berubah (meskipun hal itu merupakan opened legal policy) telah melanggar asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam pasal itu. Ini, ujarnya, tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat khususnya masyarakatnya yang menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum lembaga perwakilan rakyat tahun 2014.
"Masyarakat pengguna hak pilih tentunya berharap bahwa Pimpinan DPR dan alat kelengkapannya berasal dari partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu lembaga perwakilan. Karena sejatinya partai yang memperoleh suara terbanyak berarti partai tersebut memperoleh kepercayaan dari sebagian besar masyarakat," sambung Arief.
BACA JUGA: JK: SBY tak Punya Legal Standing Ajukan Uji UU Pilkada
Seharusnya, kata Arief, perubahan undang-undang tidak semata-mata didasarkan pada kepentingan yang bersifat pragmatis sesaat sesuai dengan kepentingan sekelompok atau segolongan orang. Tetapi haruslah ditujukan untuk tujuan yang ideal bagi semua orang.
Selain itu, menurut Arief, seharusnya perubahan UU a quo sudah dilakukan jauh sebelum diketahuinya hasil pemilihan umum lembaga perwakilan rakyat tahun 2014. "Ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat, apalagi didasarkan pada selera politik yang sarat muatan transaksional semata," tegasnya.
Arief mengatakan untuk menghindari conflict of interest dan tetap menjaga asas nemo judex indoneus in propria (tidak seorangpun dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri) harusnya ditelusuri dan dipastikan parlemen memutus aturan/ketentuan tentang dirinya sendiri telah melaksanakan prosesnya sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
Termasuk, apakah DPR, ujarnya, menjaga imparsialitas, mengesampingkan kepentingan dirinya dan menempatkan kepentingan publik serta amanat konstitusi di atas kepentingan diri atau kelompoknya. Ini, tegasnya, yang harus ditelusuri MK.
Arief juga berpendapat bahwa UU MD3 dilihat dari perspektif tujuan pembentukannya dan materi muatannya, khususnya terkait kewenangan DPD, sangat lah tidak memperhatikan apalagi mengindahkan Putusan Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013. Putusan itu telah merekontruksi kembali kewenangan DPD sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945.
Namun pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR RI belum mengakomodir materi muatan tentang kewenangan DPD sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah dalam putusan tersebut, sehingga DPD mengajukan kembali pengujian formil dan materil UU MD3 atas permasalahan konstitusional yang sama dan telah diregistrasi dalam Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014, khususnya terkait kewenangan DPD.
"Dengan demikian, menurut saya, UUD MD3 sejak kelahirannya mengalami cacat baik secara formil pembentukannya maupun secara materiil materi muatannya," tandas Arief. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MK Kabulkan Sebagian Gugatan UU MD3 dari Kubu Khofifah
Redaktur : Tim Redaksi