Ini Soal Nada, Tekanan Suara, Hingga Gesture Capres di Debat Pertama

Rabu, 11 Juni 2014 – 20:54 WIB

jpnn.com - JAKARTA -- Banyak pihak menilai pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul atas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam debat calon presiden yang berlangsung, Senin (9/6), malam lalu.

Direktur The Indonesia Choir and Voice Production Expert, Jay Wijayanto, mengaku sebagai pelatih vokal, mengamati ada beberapa hal dari debat capres tersebut.

BACA JUGA: Janji Prabowo-Hatta Bentuk Lembaga Tabung Haji Disambut Positif

"Saya meyakini nada, tekanan suara dan gesture mampu menggambarkan maksud-maksud tersembunyi yang tidak muncul di dalam pilihan kata-kata," kata Jay, dalam keterangan yang diterima, Rabu (11/6).

Ia menjelaskan, ketika menjawab persoalan HAM, suara Prabowo terdengar seperti tremor dengan vibrasi tidak stabil sehingga terdengar gemetar yang disebabkan oleh emosi yang bergolak.

BACA JUGA: Janji Prabowo Rp1 M Per Desa Munculkan Ketidakadilan

Suara emosional semacam itu terkadang disertai serak dan perubahan warna suara seperti suara yang tercekat.

"Pencetus utamanya adalah kemarahan atau pernyataan (diduga) bohong sehingga terjadi konflik psikologis internal," ujarnya.

BACA JUGA: Politik Anggaran Jokowi Berpotensi Tabrak Undang-undang

Menurutnya, pita suara adalah instrumen yang ada di dalam tubuh, maka semua gejolak emosi akan terbaca dari nada dan warna suara yang diproduksi.

Pembicara yang berusaha meyakinkan (convincing) orang cenderung memilih register suara atas.

"Ini yang menjelaskan mengapa orang yang bertengkar selalu meninggikan suaranya untuk meyakinkan dirinya lebih benar," katanya.

Sebaliknya Jokowi yang bercerita hal-hal yang dialami dan dilakukannya menggunakan register wajar atau bawah yang memberi efek menenteramkan.

Orang-orang yang percaya diri tidak akan memilih register suara atas, karena dia tidak perlu meyakinkan orang akan narasi yang dibawakannya.

"Maka suara dengan register yang wajar atau bawah adalah ekspresi pembicara yang tegas dan jujur," papar Jay.

Dia menegaskan, pembicara yang menggunakan kata-kata yang mengancam dengan register suara kasar dan keras, adalah eskpresi manusia yang kemampuan berpikirnya dangkal dan hidup dalam kesadaran purbawi.
"Pembicara seperti itu jelas sedang menyembunyikan kelemahan paling esensial sebagai manusia berpikir, dan menarik dirinya ke zaman batu yang setiap ungkapan pikiran digunakan auman dan pukulan," ungkap Jay.

Menurut Jay, sepandai-pandainya orang belajar pidato di John Robert Power dan berbagai kursus presentasi, kejujuran dan kebohongan akan terbaca oleh ahli suara, terlebih ketika ditambahkan dengan variabel gesture dan sorot mata.

"Dunia menjadi telanjang di depan ahli semiotika suara. Orang jujur tidak perlu belajar bicara di depan umum karena kejujuran dan kewajaran selalu membuat orang jatuh hati," pungkasnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Ajak Rakyat Pilih Pemimpin dari Keluarga Miskin


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler